Menonton film The Most Dangerous Ways to School (Bolivia) garapan Lays Assman membuatku melihat cara pandang yang berbeda tentang sekolah. Film berdurasi 48 menit ini menyoroti dua keluarga miskin di Bolivia dan perjalanan mereka untuk berangkat ke sekolah. Keluarga Lorenza, seorang ibu rumah tangga dan buruh, juga keluarga Ribero seorang petani koka.
Lorenza mempunyai dua anak perempuan dan satu laki-laki. Helen berumur 9 tahun, Mariella 7 tahun, dan adik laki-laki yang masih bayi. Rumah mereka di puncak gunung terpencil, adalah jarak paling jauh ke sekolah daripada teman-teman yang lain. Setiap hari Helen dan Mariella akan bangun jam 5 subuh untuk persiapan berangkat ke sekolah karena mereka harus menempuh waktu 2,5 jam untuk sampai di sekolah.
Pertama, Helen dan Mariella akan melintasi bukit ular yang berbahaya–orang setempat biasa menyebutnya Naka-Naka. Helen dan Mariella mencari sebuah tongkat untuk mengusir ular karena jika tidak sengaja menginjaknya, ular itu akan mengigit mereka dengan bisa berbahaya yang mampu membuat mereka tak sadarkan diri. Mereka berjalan dengan hati-hati karena mereka tahu jika lengah, pertolongan akan terlambat untuk sampai di tengah hutan belantara.
Setelah melintasi bukit ular, perjalanan berlanjut ke lembah menurun yang curam. Mereka beristirahat di batu besar sambil menghisap batang tebu. Tampaknya selain mengetahui bahaya, mereka juga mengetahui harta karun yang berada di hutan. Setelah beristirahat melepas penat, mereka melanjutkan perjalan kembali. 1,5 jam lagi untuk sampai di sekolah!
Di lain tempat, Elmar usia 7 tahun harus melintasi lembah setinggi 200 meter setiap hari untuk sampai di sekolah. Jam 6:30 pagi sang bapak membangunkan Elmar dan adiknya, Pofinio yang masih berusia 4 tahun. Pagi-pagi Elmar akan bantu bapaknya memetik daun koka, kemudian mempersiapkan dirinya dan sang adik berangkat ke sekolah.
Bapak Elmar mengantar ke tepi lembah. Di tepi lembah terlihat bentangan kawat baja usang. Kawat baja itu membentang dari tepi lembah ke tepi lembah seberangnya dan hanya mengandalkan batu alam besar untuk menahannya. Bentangan kawat baja adalah satu-satunya jalan Elmar dan Pofinio menuju ke sekolah. Sang bapak akan mengikat Elmar dengan seutas tali yang melingkari pinggang. Elmar akan melayang melintasi lembah seperti menaiki wahana flying fox. Selesai menyebrangi lembah, Elmar harus menunggu adiknya yang juga akan menyebrang di pangku bapaknya. Satu hari, pernah jari mungil Elmar patah ketika melintasi lembah. Saat itu angin sangat kencang, Elmar panik dan tidak sengaja berpegangan pada bentangan kawat baja yang menyebabkan jari munyilnya cidera. Lalu, Elmar dan Pofinio melanjutkan perjalanan mereka, berjalan kaki masih 1 jam lagi.
Aku melihat betapa berbahaya perjalanan kedua kakak beradik di film itu. Haru dan cemas juga sesekali indah adalah hal-hal yang disajikan di film ini. Tapi film ini bukan hanya sekadar mempertontonkan “kesukaran mereka untuk sampai di sekolah”. Film ini memberi penglihatan usaha mereka menempuh resiko untuk mendapatkan pendidikan. Sekolahnya tak seberapa tapi perjalanan mereka menuju ke sekolah adalah pengetahuan yang berharga.
Siswi SMA Ekperimental SALAM
Leave a Reply