Blog

TUL KOK JAENAK

Kalau Mick Jagger, Bob Dylan, Yon Koeswoyo, Woody Guthrie, Waljinah atau Ummi Kaltsum ikut Pop Singer Contest di manapun di seluruh belahan bumi, menjadi Juara Harapan III pun tak akan. Dunia dikuasai oleh orang pandai. Peradaban ummat manusia dikendalikan oleh ‘Parameter Akademis’.

Koes Bersodara

Suara yang bagus itu begini, bernyanyi yang enak itu begitu, bermusik yang bermutu itu begono. Lima contoh legenda dunia dan Indonesia itu tidak memenuhi syarat untuk menang lomba nyanyi. Baik jenis dan warna suaranya maupun kemampuan menaklukkan nada, cengkok, vibrasi, sèlèh, ghoyah.

Karena mereka berlima adalah karakter. Adalah manusia. Adalah tajalli percikan keindahan Maha Pencipta mereka. Mereka bukan penyanyi. Bahkan mereka bukan bernyanyi atau menyanyikan. Mereka menjalani diri mereka, melakoni kehidupan mereka. Penyanyi mengatur-atur dirinya, mengga-gayakan nyanyiannya, membatasi diri, mengikat dan menjerat kedaulatannya.

Penyanyi tidak merdeka seperti Woody Guthrie, tidak “rimba raya” seperti Bob Dylan, tidak “kearifan lokal” seperti Waljinah, tidak “hati orang banyak” seperti Yon Koeswoyo. Ummi Kaltsum sedikit beda: ia bisa menang lomba nyanyi asal mau “mengalah”. Sebab lagu-lagu yang tersedia untuk manusia di dunia adalah panggung yang terlalu sempit bagi kiprah “dlouq”-nya.

90 persen Ummi Kalstum live recording, setiap lagu rata-rata satu jam, berdiri memegang sapu tangan, vokal dan energinya konstan, tanpa fals satu tel pun. Ummi Kaltsum men-cakrawala, orkestra mengikuti jejak pengembaraan keindahannya, bukan musik membuntutinya. Musik berada di Ummi Kaltsum, bukan Ummi Kaltsum menjadi bagian dari musik.

Waljinah menerobos pagar aturan “akademis” musik: tembang “Walang Kèkèk”-nya bertengger di puncak tangga lagu-lagu pop nasional. Woody Guthrie yang “mencangkul” tanah sejarah untuk menanam benih “American Folk Revival” di pesawahan luas “Civil Right Movement” dan “Free Speech Movement”. Kemudian Bob Dylan kenapa dengan suara sengau itu jadi legendaris, ia menjawab “The answer, my Friend, is blowing in the Wind”. Dan Orkestra London hanya merumuskan Mick Jagger sebagai “The Magic”.

Yon Koeswoyo, “Abu Sab’in”, usia kepala tujuh hampir delapan puluh, membawakan 25 lagu tanpa jeda di panggung, tanpa minum. Suaranya tidak gagah, tidak hebat, tidak canggih, jauh dari setiap gagasan “kebesaran” kebudayaan modern. Yon bukan penyanyi yang menyuguhkan nyanyian untuk menghibur. Yon melagukan keindahan otentik yang sudah bersemayam di hati kebanyakan orang.

Koes, Bersaudara maupun Plus, tidak mempertandingkan diri, tetapi mereka “pilih tanding”. Mereka tidak membandingkan diri dengan siapapun lainnya, tetapi mereka tak terbandingkan. Karya mereka, terutama Mas Tony, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan. Semuanya enak, semuanya sedap, semuanya nyamleng, karena semua karya mereka adalah jiwa orisinal semua pendengarnya. Setiap orang yang baru mendengar lagu Koes Plus, merasa sudah pernah mengenal bahkan menghafalnya.

Dari Padepokan Koeswoyo disebar piweling, indzar atau warning kepada bangsa dan Negara Indonesia: “Tul jaenak jaijatul jaeji. Kuntul jare banyak ndoge bajul kari siji…”. Wahai bangsaku, terutama wahai orang-orang yang berani-beraninya memimpin bangsa besar. Kita ini bangsa Banyak atau Angsa yang indah. Yang datang itu bukan Banyak, tapi Kuntul. Tul jaenak, Kuntul kok katanya Banyak. Bahkan itu Kuntul samaran, aslinya mungkin Musang, Beruang atau Naga. Menyamar jadi Kuntul supaya legal kalau mencucuk dan menelan telur-telur. Hati-hati kamu sedang dirampok. Buaya-buaya ternakmu kini telurnya tinggal satu…*

 

Jakarta, 6 Januari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *