Belum lama ini, saya ikut diskusi yang pemateri diskusi nampaknya seorang psikolog Anak yang membidangi perkembangan dan pendidikan anak. Saya ingin membagi salah satunya regulasi emosi anak. Saya sarikan sedikit isi diskusinya :
Disadari atau tidak, banyak orang tua yang mengelola emosi sang anak dengan mengabaikan rasa dan ekspresi yang muncul. Misalnya ketika jatuh dan menangis, orang tua kerap meminta anak untuk menahan tangisnya. Padahal emosi itu layaknya sungai yang sudah semestinya dibiarkan mengalir deras.
Biarkan anak menemukan solusinya sendiri. Emosi adalah kesempatan bagi anak untuk belajar dari sebuah kesedihan atau kekecewaan yang dirasakan, degan pengalaman itu anak bisa membuatnya memahami dan menemukan solusi atas perasaannya.
Emosi merupakan respons terhadap suatu situasi. Respons yang muncul secara psikologis misalnya saja tangan menjadi dingin. Atau bisa perasaan yang muncul dibarengi dengan detak jantung deg-degan atau berdebar-debar. Ada beberapa tipe respons orang tua terhadap emosi anaknya.
Pertama, mengabaikan emosi tersebut. Misalnya ketika sang anak marah, orang tua akan diam saja sampai kemarahan si anak mereda sendiri. Kedua, tidak menyetujui atau melarangnya. Misalnya ketika sang anak jatuh dan menangis, orang tua meminta sang anak untuk menghentikan tangisnya. Respons ketiga adalah membiarkan tanpa batas. Ketika anak menginginkan sesuatu, orang tua akan menurutinya setiap saat. Sedangkan yang keempat adalah meregulasi emosi anak. Yakni melatih anak memahami apa yang dia rasakan.
Lantas apa sih regulasi emosi itu? Ina menjelaskan, untuk sampai ke tahap regulasi emosi, orang tua harus memahami apa yang dinamakan emosi. Emosi itu sifatnya subjektif. Emosi memengaruhi perngambilan keputusan. Juga menciptakan makna dari informasi lain, dan mengenali adanya suatu kebutuhan. Misalnya saja kebutuhan untuk dihargai. Nah regulasi emosi ini memengaruhi kecerdasan emosi anak. Regulasi emosi, lanjut Ina, bisa diterapkan ketika anak masih berusia dua tahun.
Regulasi emosi bisa dilakukan dengan cara menyadari emosi yang muncul. Kemudian menerima adanya emosi tersebut. Langkah selanjutnya mendengarkan ungkapan emosi dengan empati atau meneguhkan emosi yang dirasakan sang anak. Misalnya, jika sang kakak merasa kesal karena diganggu oleh si adik, maka orang tua bisa mengungkapkan juga rasa kesal yang pernah dialaminya. Itu namanya meneguhkan emosi yang dirasakan oleh anak, bahwa tidak hanya si anak saja yang pernah mengalami perasaan itu. Kemudian, bantu si anak untuk memberi nama emosi yang muncul dengan kata-kata. Misalnya perasaan kesal, marah, sedih, kecewa, dan lainnya.
Langkah selanjutnya adalah menentukan batas-batasnya sembari membantu anak memecahkan masalahnya. Kadang saat melihat kakak adik yang bertengkar, orang tua akan langsung menyalahkan sang kakak kenapa memukul adik. Diharapkan sang kakak ditanyai dulu sebetulnya emosi apa yang dia rasakan hingga memukul sang adik. Terkadang orang tua juga harus bisa memberikan waktu untuk si anak menenangkan diri. Baru kemudian dibicarakan setelah emosi yang dirasakannya itu mereda.
Setelah mereda, barulah si anak diajak untuk diskusi. Selama diskusi berlangsung, orang tua bisa sesekali melakukan interaksi dengan sentuhan. Misalnya orang tua menepuk dengan lembut pundak si anak sembari bertanya apa yang sebetulnya dia rasakan. Menurutnya, sentuhan ringan bisa menimbulkan hormone oksitosin yang membuat nyaman.
Dengan regulasi emosi yang baik, bisa mepengaruhi kesehatan fisik yang lebih baik. Anak pun akan terbiasa mengungkapkan perasaannya, dan membantu anak untuk mudah bergaul. Dengan begitu anak tidak akan mengalami masalah perilaku. Bagi yang memiliki anak yang sudah agak besar bisa dibantu dengan membuat jurnal emosi. Misalnya anak diajak untuk menuliskan diary dan menulis atau menggambarkan emoticon sesuai dengan apa yang dirasakan. Bisa juga dengan membacakan cerita dan ajak anak untuk mengenali perasaan yang dirasakan oleh si tokoh utama.
Sebaiknya kita menghindari beberapa hal, yakni tidak menghina dan memberi label negatif terhadap anak. ”Jangan melabeli nakal, malas, dan label negatif lainnya,” Jangan pula memaksakan pemecahan masalah atau solusi yang diambil orang dewasa kepada anak.
Biarkan anak menemukan solusinya sendiri. Emosi adalah kesempatan bagi anak untuk belajar dari sebuah kesedihan atau kekecewaan yang dirasakan, degan pengalaman itu anak bisa membuatnya memahami dan menemukan solusi atas perasaannya. Dengan catatan, jika orang tua bersedia menemani sang anak berproses dalam meregulasi emosi tersebut. ***
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply