Tahu. Bukan tahu bulat digoreng dadakan. Tahu yang merupakan kata dasar dari kata ‘mengetahui’ dan ‘pengetahuan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memilik arti sebagai berikut:
tahu /ta.hu/ mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami: ia—bahwa saya yang menolongnya; perkara mesin, dia lebih — daripada saya; kenal (akan); mengenal: ia tidak—akan sanak saudaranya lagi; mengindahkan; memedulikan: ia sudah tidak mau — lagi kepada anaknya; mengerti; berpengertian: siapa yang—apa maksud tanda ini?; pandai; cakap: sedikit-sedikit saya—juga tentangmesin; insaf; sadar: dia tidak — akan kekurangannya; tak pernah: petinju itu tidak—menang ;adikku tidak—membolos;di asin garam, banyak pengalaman — makan—simpan, dapat menyimpan rahasia baik-baik;
Dari definisi di atas, maka “tahu” berkaitan erat dengan pengalaman langsung dan bersifat indrawi. ‘Melihat’, ‘mengalami’, ‘mengenal’, ‘mengindahkan’ dan ‘mengerti’ melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman yang kemudian diolah oleh akal hingga menjadi pengetahuan.
Lalu pernahkah Anda berpikir: mengapa Tuhan menciptakan keterbatasan pada kelima indra di tubuh kita? Telinga manusia, misalnya, hanya bisa menangkap frekuensi bunyi yang berkisar di 20 Hz-20KHz. Begitu juga mata manusia memerlukan cahaya dan jarak pandang dalam sudut yang tepat untuk sekedar mengenali bentuk dan warna sebuah objek visual.
Bayangkanlah jika telinga kita mampu mendengar suara dalam frekuensi yang jauh lebih pelan. Bisik-bisik tetangga yang 1 km jauhnya pun bisa terdengar. Suasana guyub rukun hidup bertetangga tidak bisa lagi dibayangkan wujudnya. Apa pula jadinya jika sudut tangkap dan kebutuhan cahaya pada mata manusia melebihi lazimnya. Manusia bisa melihat jauh dibalik cakrawala tanpa kehadiran cahaya.
Singkatnya, jika semua batas indra manusia melebihi kodratnya, maka bionic woman dan Steve Austin –si-manusia-enam-juta-dollar-tak lagi kisah fiksi belaka. Tak perlu pula berharap DOS berkembang menjadi Windows. Segala pertumbuhan teknologi macam yang berkembang dewasa ini pun turut teranulir.
Meski tulisan ini tidak melalui tahap wawancara untuk konfirmasi kepada Sang Pencipta, paling tidak keterbatasan indra ini menjelaskan satu hal. Bahwa mungkin Tuhan memang menghendaki manusia untuk mengetahui hal-hal yang terbatas jumlahnya. Tidak harus tahu semua hal, Maka banyak hal di luar batas tangkap indra dan ingin diketahui lantas menjelma menjadi keingintahuan.
Bumi bulat, misalnya. Tak sekonyong-konyong diketahui manusia begitu saja. Apa yang ada dibalik cakrawala? Mungkin itu pertanyaan awal para penjelajah samudera. Maka dimulailah ekspedisi menerjang lautan karena lautlah batas semua daratan. Dimana ujungnya? Pertanyaan itu muncul berganti ketika daratan lain tak kunjung muncul di batas cakrawala.
Keingintahuan menggiring manusia pada beragam pertanyaan. Terjawabnya pertanyaan menjelma menjadi pengetahuan. Maka, ilmu pengetahuan yang kini dikantongi oleh manusia modern adalah sejatinya hasil ribuan pertanyaan yang berhasil -atau-sedang-akan-berhasil dijawab oleh para peneliti dan ilmuwan.
Media sosial, Internet dan Manusia
Internet awalnya adalah program departemen pertahanan Amerika yang mulai diinisiasi pada medio 1960 an. Ide awalnya adalah mengamankan data intern negara. Sejak itu internet terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada 1990 ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang mencetuskan world wide web (www) hingga memungkinkan komputer satu dan yang lain saling menjelajah data.
Pertumbuhannya yang pesat hingga hari ini, menjadikan internet sebagai kebutuhan primer diluar sandang, pangan dan papan. Secara masif internet menggeser segala bentuk media konvensional mulai dari informasi, komunikasi, hingga sosialisasi. Kantor pos,perpustakaan, dan koran dinding menjadi old fashion dalam sekedip mata.
Meski kemudian hidup manusia menjadi sedemikian mudahnya, namun muncul gagap sosial yang luar biasa. Rasan-rasan yang dulunya dilakukan sambil petan (mencari kutu rambut) tanpa sepengetahuan yang dirasani, kini menjadi nyaring terbaca dalam status media sosial. Tak ada lagi sembunyi-sembunyi. Tak perlu lagi berlagak petan di teras depan.
Begitu pula media. Jika dulu kita harus berpikir panjang dalam memilih koran yang akan dilanggan, kini siapapun bisa membuat media. Mengisi sendiri beritanya. Bahkan dalam tataran tertentu, berita dan opini bias dalam satu tulisan yang selesai dibaca dalam satu kali duduk.
Ketika keingintahuan terjawab dengan begitu cepat, ‘bertanya’ menjadi kehilangan tempat. tidak ada ruang untuk mempertanyakan lebih mendalam, lebih jauh tentang suatu hal yang ingin diketahui. Kebenaran menjadi milik halaman pertama mesin pencari semata.
Internet telah menumbuhkan paradigma berpikir instan, praktis pada manusia. Mengikis sikap kritis atas segala hal. Hingga manusia-manusia tumbuh menjadi ahli bagi dirinya sendiri, bahkan menjadi ‘hakim’ atas sesamanya manusia. Media sosial yang awalnya hanya sebagai ajang untuk tetap terhubung, kini menjadi udara tempat segala umpatan melayang-layang di dalamnya.
Hal-hal yang Belum Diketahui
Mari kembali ke tahu. Lagi-lagi bukan yang digoreng dadakan.
‘Tahu’ sepertinya memang dikehendaki Tuhan agar sedikit saja kita punya, agar kita terus bertanya. Semakin sedikit yang kita ketahui, semakin banyak pertanyaan yang kita miliki. Untuk itu hal-hal diluar pengetahuan, hal-hal yang tidak diketahui hingga saat ini, bukan berarti tidak ada. Bisa saja karena justru sama sekali belum dipertanyakan oleh manusia.
Karena sesungguhnya semua manusia yang masih menghela nafas di bumi ini adalah murid-murid kehidupan. Beberapa diantaranya masih kaya akan keingintahuan, beberapa yang lain mulai tidak lagi bertanya karena merasa sudah mengetahui segalanya. Namun hakikat manusia sebagai murid belumlah genap hingga hembusan nafas yang terakhir, karena pertanyaan kodrati dari kehidupan adalah: ada apa sesudah kehidupan?
Manusia hidup yang masih terus saja berdebat tentang surga dan neraka tidak akan pernah menemukan ujungnya. Tentu saja. Karena masih hidup. Begitu pula manusia hidup yang masih gemar menyebut hina sesamanya, dan sekonyong-konyong berusaha menggantikan peran Tuhan sebagai Pengadil Sejati, cukup dianggap basa-basi. Karena orang bijak berkata: “sesama murid dilarang saling memberi raport”.
Foto-foto By. Yanuar Surya
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply