SALAM dikenal sebagai sekolah dengan menjunjung tinggi konsep pendidikan yang memerdekakan siswa. Sayangnya, konsep tersebut sering disalahpahami oleh mereka yang berada di luar SALAM sebagai kebebasan tanpa batas bagi para siswa. Beberapa stereotip yang telah melekat pada SALAM seperti sekolah tanpa seragam, sekolah tanpa aturan, dan sekolah tanpa buku pelajaran terkadang membuat orang di luar SALAM memberi penilaian negatif pada sebagian orang tua SALAM.
Tak jarang, orang tua dari siswa SALAM yang turut “kecipratan” pandangan negatif karena memilih menyekolahkan anak di SALAM. Beberapa orang tua SALAM bahkan pernah bercerita, telah terbiasa menerima cemooh tentang keputusan mereka untuk bergabung dengan SALAM. Sebenarnya, perihal pandangan negatif tersebut jelas bukan hal yang wajib untuk diluruskan. Usaha menangkis cemooh dari pihak yang sudah antipati seringnya hanya akan menjadi pemborosan waktu, abab, kata, tenaga, pikiran, serta sumber daya dalam diri. Tapi, saya pikir tak ada salahnya sedikit menuliskan tentang hal ini, sebagai ajakan untuk berkontemplasi bagi para orang tua SALAM.
Mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak di SALAM, bukanlah hal yang mudah. Setiap orang tua yang akhirnya memilih bergabung di komunitas SALAM pasti sudah mengalami proses pencarian serta perenungan mendalam. Jarang ada yang memilih menyekolahkan anak di SALAM hanya karena biayanya yang terbilang murah dibandingkan dengan sekolah yang dianggap sejenis atau hanya karena jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal. Saat orang tua menjatuhkan pilihan pada SALAM, artinya ia dengan sadar sudah memutuskan untuk hidup secara kolektif, mau belajar bersama-sama dengan anaknya.
Orangtua sebagai Pendidik Pertama dan Utama
Seperti kita ketahui bersama, di masa pandemi ini anak-anak sekolah pada umumnya terbeban dengan tumpukan tugas. Orang tuanya pun menjadi heboh, karena merasa dibebani tanggung jawab untuk mendidik anak full time di rumah. Kita pun tahu, bahwa sebelumnya, pendidikan anak sempat dianggap sebagai tugas dan tanggung jawab guru di sekolah. Semua terlihat kaget. Semua riuh berteriak. Semua heboh menyalahkan sistem. Banyak yang lupa bahwa orang tua punya peran sebagai pendidik pertama dan utama.
Sementara itu, bagi orang tua SALAM, pandemi justru menjadi kesempatan untuk benar-benar hadir dan mendampingi proses belajar anak secara utuh di rumah masing-masing. Pandemi seakan menagih pembuktian dari orang tua SALAM tentang kesediaan mereka untuk menjadi teman belajar bagi anak-anak. Konsep sekolah keluarga yang selama ini diterapkan di SALAM, menjadi semakin relevan dalam situasi yang dialami di masa pandemi.
Di tingkat PAUD (Kelompok Bermain dan Taman Anak), setiap hari anak-anak diberi stimulan lewat video dan percakapan dalam grup untuk memantik proses belajar mereka. Sedangkan untuk kelas yang lebih besar mendapat stimulan berupa percakapan dalam grup serta kegiatan riset. Pada setiap proses, orang tua mempunyai peran menjadi fasilitator sekaligus teman belajar anak di rumah. Sementara itu, fasilitator tetap mendampingi dari jarak jauh. Mereka menjadi kawan diskusi orangtua dalam merancang atau “menangkap” peristiwa, serta menstrukturkannya menjadi proses belajar yang bermakna.
Pandemi nyaris tak mengubah konsep apapun dalam cara belajar siswa SALAM. Toh, sejak awal sudah disepakati bersama bahwa pendidikan anak bukan beban guru semata. Uang SPP yang dibayar tiap bulan tak lantas membuat orang tua membebankan pendidikan anaknya pada guru atau fasilitator. Menjadi orang tua SALAM memang seakan berat, karena harus ikut berperan aktif dalam setiap proses belajar anak. Namun karena cara belajar di SALAM yang mudah dan tidak ruwet, berproses bersama anak justru menjadi hal yang menyenangkan.
Di SALAM, pelaksanaan proses belajar yang ada sungguh nggak ndakik-ndakik. Tak akan sampai membuat orang tua mumet saat pendidikan “dikembalikan” dengan paksa ke rumah akibat pandemi. SALAM menggunakan metode riset dalam proses belajar para siswanya. Metode ini dikenalkan sejak jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dengan cara paling sederhana, yaitu melakukan pengamatan. Setelah anak naik ke tingkat selanjutnya barulah anak dikenalkan dengan metodologi penelitian yang lebih kompleks, sesuai dengan perkembangan kemampuan anak.
Riset anak-anak SALAM bukanlah riset seperti yang dilakukan oleh mahasiswa saat mereka menulis skripsi. Bukan pula tentang mencari literatur lalu memindah, meng-copy-paste, atau bahkan menyalin buah pikir orang lain. Riset di SALAM dimaknai sebagai proses penyelidikan, pengamatan, atau pencarian yang seksama untuk memperoleh data, fakta serta informasi yang kemudian menjadi dasar untuk menyusun pengetahuan baru, dan diterapkan sesuai pemahaman barunya tersebut.
Belum Sembuh dari Racun Pendidikan Konvensional
Saat ini, akhir semester ganjil 2020/2021 sudah di depan mata. Artinya, sebentar lagi anak-anak tingkat SD hingga SMA di SALAM akan mulai mempresentasikan hasil risetnya. Di SALAM memang tak ada ujian semacam Penilaian Akhir Semester (PAS). Tapi jangan salah, bagi para orang tua kelas 1 SD dan sebagian kelas 2 SD, presentasi riset kadang masih menjadi hal yang bisa bikin deg-deg-ser, mendebarkan. Walau tidak ada penilaian yang dikompetisikan, kecemasan para orang tua tetap saja hadir sebagai dinamika yang tak terelakkan.
Perlu disadari bahwa sebagian besar orang tua SALAM adalah produk dari model pendidikan konvensional. Dulunya, para orang tua biasa dididik dengan mengedepankan semangat berkompetisi. Walau orang tua SALAM sudah memilih untuk meninggalkan model pendidikan konvensional untuk anak-anak mereka, namun tak semudah itu men-detox racun yang telah lama menggendap. Maka, tak heran saat kadang masih saja timbul rasa cemas akibat sifat kompetitif yang tak disadari muncul ke permukaan. Ada kalanya orang tua tergoda untuk membandingkan anak dengan teman sekelas yang progress risetnya terlihat lebih menonjol. Hal ini menjadi awal mula dari perasaan sedang dalam kondisi berkompetisi. Padahal, anaknya sih kebanyakan santai saja.
Kecemasan orang tua juga dapat timbul akibat kurang percaya dengan kemampuan anak. Harus saya akui bahwa ini hal yang paling sering terjadi pada diri saya. He-he-he. Padahal, ketidakpercayaan orang tua pada anak adalah akar dari gap komunikasi antara orang tua dan anak. Anak tentu bisa merasakan getaran negatif dari orang tuanya. Entah saat orang tua mengomel atau bahkan saat diam saja dan hanya sekadar mengeluarkan helaan napas. Kadang, orang tua lupa bahwa anak-anak sudah terbiasa titen sejak bayi. Mereka bisa tahu saat orang tuanya merasa kesal, kecewa, gembira atau saat bangga. Maka apa yang terjadi saat anak-anak tahu bahwa orang tua meragukan kemampuan mereka? Biasanya, ya terjadilah persis seperti yang ditakutkan orang tua.
Walau SALAM dikenal sebagai sekolah yang santai, ada saatnya juga orang tua SALAM bisa merasakan hawa kemrungsung. Seringnya sikap kemrungsung pada orang tua muncul saat menganggap anak kelewat santai dalam mengerjakan riset. Perilaku tak terlalu baik ini dapat muncul karena orang tua masih hidup dalam bayangan masa lalu yang penuh dengan aneka tenggat tugas ini dan itu. Kadang hingga tercetus kalimat tak berguna seperti,”Sekolahmu enak lho nggak kayak sekolah bapak ibu dulu.” Padahal, seringkali anak-anak tidak membutuhkan perasaan dikejar-kejar deadline seperti yang pernah dialami orang tuanya dulu untuk bisa mengerjakan tahapan-tahapan risetnya. Mereka tahu persis kapan harus bersiap. Mereka hanya butuh didampingi, diberi kepercayaan, dan difasilitasi sesuai kemampuan mereka.
Untungnya, di SALAM, anak-anak punya mentor yang sering kali dapat menunjukkan kepada orang tua akan kemampuan dan kelebihan anak. Tak jarang, justru mentor seakan lebih mengenal anak dari pada orang tua anak itu sendiri. Bagi saya, hal ini menjadi “fasilitas” mewah dari SALAM. Fasilitator akhirnya tak hanya berperan sebagai pendamping anak dalam belajar di sekolah, namun juga sebagai rekan bahkan kanca sambat para orang tua SALAM.
Untungnya lagi, SALAM tidak pernah lelah menemani para orangtua untuk belajar. Lewat inisiasi yang diadakan setiap tahun ajaran baru, SALAM juga berusaha menumbuhkan kesadaran mendasar pada kami bahwa setiap anak unik, setiap anak istimewa, setiap anak berhak merasa gembira dalam proses belajar di masa pertumbuhannya. Memilih SALAM sebagai tempat menyekolahkan anak bukanlah hal yang sulit untuk diputuskan, namun juga bukan hal yang paling mudah untuk dijalani. Salah satu alasan saya memilih SALAM adalah untuk menciptakan memori yang indah bagi anak-anak soal sekolah. Bagaimana dengan Anda? {}
Orang Tua SALAM
Leave a Reply