“Coba ingat kembali sepenggal kalimat UUD 1945, ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa,’ yang ditasbihkan! Pahami dan resapi baik-baik, tentu saja kalimat tersebut bukanlah sebuah janji yang patut untuk ditagih. Kita patut meninjau ulang praktik di lapangan realitas. Sejauh mana para pihak terkait menyelesaikan permasalahan pendidikan? Apakah terjadi penyimpangan? Bagaimana sinkronisasi kebijakan berbagai instansinya? Atau, ada formula yang salah atas praktik pendidikan Indonesia?
Pendidikan dalam bingkai sekolah, Universitas (Perguruan Tinggi) pun menjadi titik pandang wajah pendidikan kita. Melihat konjungsi pendidikan dan masyarakat, mengisyaratkan adanya instansi pendidikan sebagai menara gading yang berdiri di tengah masyarakat, yang menangis atas penderitaannya. Wajib adanya benang merah penghubung pendidikan dan masyarakat.
Imaji Siswa atau Mahasiswa tanpa benang merah dengan realitas masyarakat, saat itu memunculkan anggapan pendidikan tak berguna dikehidupan bermasyarakat. Timbullah solusi perbaikan untuk menambah ruang kelas, ruang praktek siswa, serta pengadaan perpustakaan, sebagai penunjang menengok realitas kehidupan.
Padahal hal penting yang dimaksud adalah meningkatkan kanal-kanal informasi pengetahuan, menarik benang merah antara ilmu dan realitas kehidupan. Titik beratnya ada pada bagaimana kontekstualitas pengajar menyampaikan berbagai informasi kepada anak didik dengan keakraban imaji kehidupan mereka. Dan disinilah kelemahannya—ada hal unik perihal administrasi keprofesian pengajar. Saking capeknya pengajar membawa segudang urusan super ribet administrasi sekolah, menyebabkan mereka tak sempat untuk membuka buku sekadar untuk menyulam informasi yang tercecer. Apalagi mengurai benang merah antara bahan ajar dan masyarakat. Mungkin mereka memilih tidur pulas dengan membawa mimpi buruk administrasi yang menghantui tidurnya.
Sangat jelas, pengajar yang literat merupakan harapan, mampu menjadi samudra ilmu bagi siswanya dalam melihat keadaan bangsa. Karena, sifat dan maksud pendidikan untuk-menyokong kodrat alam anak-anak yang dididik, supaya dapat menumbuh-kembangkan hidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri (1977: 94). Itulah pesan Ki Hajar Dewantara yang termaktub dalam buku kumpulan karaya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Bapak pendidikan Indonesia.
Kebanyakan wali siswa percaya pada mitos pendidikan yang menyebutkan bahwa, guru adalah sosok yang super pintar. Segala ucapananya adalah kebenaran yang kemudian menjadikan mereka menyerahkan anaknya begitu saja. Harapannya tentu saja adalah keluar dari sekolah, anaknya menjadi pribadi yang pintar dan purna dari segala macam. Sayangnya, hal tersebut cukup kontradiktif dengan kenyataan. Alih-alih suatu bentuk harapan, hal itu malah menjadi jurang pemisah antara anaknya dengan masyarakat. Konsekuensinya “mitos pendidikan harus ditebas”. Bukan tak percaya pada instansi pendidikan, tapi sebagai langkah yang melengkapi benang merah imaji anak dengan realitas masyarakat, melalui orang tua siswa yang aktif memberikan pendidikan di lingkungan keluarga.
Melalui pembentukan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diharapkan dapat menyelesaikan yang ada di bidang pendidikan. Hingga, melahirkan kebijakan kontroversial berupa sistem zonasi sekolah dengan harapan, sistem tersebut mampu menepis elitisisme sekolah dan menggalakkan gaung pemerataan pendidikan. Inilah yang akhirnya menguji kompetensi dan dan loyalitas para guru.
Guru harus menerima siswa yang memiliki berbagai latar belakang. Jika, siswa yang terjaring tak seperti harapan, tentu saja para pengajar itu harus kembali menengok tujuan adanya pendidikan “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” bukan “Menampung Anak Pintar Bangsa”. Ranah Perguruan Tinggi pun tak luput dari permasalahan. Jurang pemisah instansi pendidikan-masyarakat terlihat begitu menganga. Dikandung maksud mencetak penerus bangsa yang mencerdaskan warga negara, perguruan tinggi justru sangat berjarak dengan masyarakat. Amanat Tri Darma hanya menjadi formalitas dalam kertas. Permasalahan masyarakat tak serius mejadi kajian untuk diselesaikan.
Para pengajar justru hanya sibuk mengurus hal-hal yang sifatnya di luar urusan mendidik. Urusan keprofesian pun hanya sekadar urusan administratif untuk meningkatkan sertifikasi. Urusan jurnal, penelitian dan pengabdian justru kini menjadi hal yang hanya dipandang dari segi remonerasi. Bukan pada tataran substansi peningkatan kualitas pendidikan.
Keberagaman tingkat pendidikan pun masih menuai masalah. Sistem zonasi sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud sebagai langkah pemerataan pendidikan pun tidak diimbangi dengan keberagaman tingkat pendidikan dalam tataran pascasekolah.
Kemendikbud yang bertaruh atas penebasan mitos sekolah elit dengan mensetarakan semua sekolah, justru di tataran perguruan tinggi terbuyarkan oleh elitisme yang digadang-gadang sebagai kegelamoran instansi perguruan tinggi. Penggenjotan jurnal yang terakreditasi Scopus, penggenjotan rangking Perguruan Tinggi, Hingga wacana ditingkat Perguruan Tinggi untuk mengganti Rektor Asing. Sangat Kontradiktif dengan kebijakan Kemendikbud. Dan lagi-lagi Pendidikan kembali berjarak dengan Masyarakat.
Dalam menyikapi dinamika pendidikan dan masyarakat, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memperkuat hubungan antara keduanya. Pertama-tama, perlu adanya reformasi dalam sistem administrasi keprofesian pengajar. Upaya untuk mempermudah beban administratif bagi guru dapat membuka ruang lebih banyak bagi mereka untuk fokus pada inti pendidikan, yaitu pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, perlu adanya inovasi dalam pendekatan pengajaran agar relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru perlu diwadahi dengan program pelatihan yang membekali mereka dengan keterampilan kontekstual dalam menyampaikan materi pembelajaran. Hal ini dapat menciptakan benang merah yang kuat antara ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah dengan realitas kehidupan masyarakat.
Di sisi lain, partisipasi aktif orang tua dalam pendidikan anak juga perlu ditingkatkan. Program pendidikan keluarga yang mendorong orang tua untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran anak dapat menjadi jembatan yang menghubungkan dunia pendidikan dan lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan holistik yang melibatkan semua unsur dalam kehidupan siswa.
Perguruan tinggi juga memiliki peran penting dalam memperkuat hubungan antara pendidikan dan masyarakat. Keterlibatan perguruan tinggi dalam riset dan pengabdian masyarakat dapat menjadi solusi untuk mengatasi jurang pemisah yang terlihat saat ini. Program-program ini harus tidak hanya difokuskan pada peningkatan reputasi akademis, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat dan pemecahan masalah nyata yang dihadapi oleh mereka.
Adanya dialog terbuka antara instansi pendidikan dan masyarakat juga sangat penting. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk mencari solusi terbaik dalam menghadapi permasalahan pendidikan. Keterlibatan aktif seluruh pihak dalam merumuskan kebijakan dan melaksanakannya dapat menciptakan sinergi yang lebih baik untuk mencapai cita-cita “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.”
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa benang merah antara pendidikan dan masyarakat dapat menjadi lebih kuat dan harmonis. Pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah atau perguruan tinggi, tetapi sebuah usaha bersama untuk membentuk generasi yang cerdas, terampil, dan memiliki keterhubungan yang erat dengan realitas masyarakatnya.[]
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply