Seorang kawan yang sedang belajar menulis, bertanya pada saya suatu kali: Mbak, gimana kalau saat menulis tiba-tiba tulisanku melenceng dari judul? Meski pertanyaan ini sederhana, namun membawa saya dalam renungan panjang. Saat itu saya menjawab spontan: Menulis dulu saja, judul belakangan.
Prakteknya, memang itu yang saya lakukan saat menulis. Sejak masih remaja dan gemar menulis puisi-puisi manyun, hingga sekarang saya jarang sekali membuat judul di awal. Akibatnya folder di pc saya penuh file tanpa judul yang berisi draft tulisan yang campur aduk. Saya hanya memberi judul setelah tulisan jadi, atau setidaknya 90% jadi.
Ketakutan melenceng dari judul ini juga seringkali menjadi ‘kendala’ saat fasilitator di SALAM membimbing riset anak-anak. Pengalaman anak saat bersentuhan langsung dengan pasar tradisional ketika berbelanja bahan kebutuhan riset, misalnya, tidak direspon lebih jauh khawatir melenceng dari judul. Padahal persentuhan ini bisa menjadi materi pembelajaran yang menarik. Mulai dari mengidentifikasi jenis pasar, apa perbedaan pasar tradisional dan modern, bagaimana pola transaksi di pasar tradisional, dan sebagainya.
Judul, sepertinya berpengaruh pada cara berfikir sekaligus cara bekerja seseorang.Bisa jadi, ‘judul’ juga membelenggu kita sebegitu rupa. Belenggu yang makin menjauhkan kita dari kemampuan serta kemauan untuk mengembangkan pola berpikir. Judul, yang seharusnya merangkum konten,berakhir menjadi jebakan. Judul, apapun itu, seharusnya cukup menjadi ‘halte’, pemberhentian sementara sambil mencari berbagai kaitan dan jurusan untuk melanjutkan pencarian keterkaitan yang lain. Namun kita kerap terjebak menjadikan ‘judul’ sebagai ‘stasiun’, pemberhentian akhir dari struktur berpikir manusia. Ibarat seorang lelaki rimba pergi ke hutan sejak dari rumah dengan ‘judul’ mencari rotan. Seluruh perhatiannya terkunci pada tujuan utama: rotan. Tentu saja lelaki itu bisa saja bertemu banyak hal yang lebih menarik andaikata tidak terlalu terbelenggu oleh ‘judul’ saat ia mengawali perjalanan.
Bukannya sedang playing victim, tapi membuat judul di awal, tidakkah terdengar familiar?
Ya. Tugas akhir, skripsi, tesis, adalah tulisan-tulisan ilmiah yang menuntut judul di awal. Tak sedikit mahasiswa tingkat akhir yang menghabiskan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan hanya untuk selesai pada tahap pertama: membuat judul. Jika ditarik lagi ke belakang, dalam tradisi sekolah, judul menjelma menjadi mata pelajaran.Belajar di sekolah dalam pengalaman murid adalah menghadapi sekian banyak judul dalam sehari.Mata kuliah, mata pelajaran tak ubahnya wujud ‘penjudulan’ yang mengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan. Jika ada seorang siswa bertanya ‘siapa nama ibu si Budi?’ di pelajaran bahasa Indonesia, bisa jadi sangat tidak relevan. Padahal anak itu sedang mempertemukan logika berpikirnya dengan ilmu pengetahuan. Tapi hingga saat ini, tak banyak penduduk Indonesia yang tahu siapa nama ibunya Budi.
Bukannya judul tidak penting. Namun pengkotak-kotakan cabang keilmuan dalam beragam judul pada kenyataannya membuat manusia lupa pada kesatuan ilmu pengetahuan itu sendiri yang sesungguhnya bersumber pada humaniora. Tiba-tiba, matematika tidak ada kaitannya dengan agama, ilmu sosial tidak ada hubungannya dengan sains. University, yang makna awalnya adalah berkumpulnya sekian banyak orang ke dalam satu tubuh, yaitu ibu pengetahuan, diiris-iris menjadi fakultas. Diiris lagi menjadi jurusan. Dan ketika manusia sibuk berkutat dalam ‘kotak’ nya masing-masing, para motivator datang sambil berteriak: “Keluarlah kalian dari kotakmu! Berpikirlah out of the box!” Lalu motivator-motivator itu tiba-tiba bertarif mahal hanya dengan bermodal cocot.
Kita telah terasuh oleh pola belajar yang memenjarakan diri dibalik jeruji ‘judul’. Sehingga ketika metode yang kita pilih adalah dengan memberi judul belakangan, bahkan untuk sepotong artikel singkat, kita langsung dirundung rasa bersalah. Padahal bisa jadi editor dan redaktur merubahnya begitu saja. Entah supaya lebih sesuai, atau sekedar lebih sensasional. Satu baris judul yang begitu kita taati dengan sungguh-sungguh saat menulis alinea-alinea di bawahnya selama berjam-jam (bahkan berhari-hari), dirubah dalam hitungan detik.
Tiba-tiba saya teringat satu saat di bangku SMA. Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia. Guru saya, pak Bambang, meminta seluruh murid membuka satu halaman di Lembar Kerja Siswa (LKS). Di halaman tersebut ada sepotong cerita pendek. Pendek sekali. Judul cerpen itu saya ingat betul: Jakarta. Seluruh siswa diminta membuat puisi berdasarkan cerpen itu. Dan semua kawan, kecuali saya, membuat puisi dengan judul yang sama: Jakarta. Sementara saya memilih ‘Sepotong Asa Semu’ sebagai judul, tepat setelah puisi selesai saya buat. Seorang kawan berujar “Nggak salah kamu kasih judul?”
Lucunya, sekian banyak penonton televisi di Indonesia tetap saja melahap acara-acara yang tidak terkait sama sekali dengan judul. Misalnya, acara bincang-bincang yang lebih cocok jika diberi judul ‘Laptop Bertanya’ atau ‘Ea-Ea’, malah diberi judul ‘emp*t mata’. Sementara itu, banyak lukisan dan lagu bagus yang saking kerennya sampai-sampai sang kreator tidak mampu merangkai kata untuk judul, dan menyerah dengan menjudulinya ‘untitled’. Om Iwan Fals saja santai bikin album yang judulnya ‘Belum Ada Judul’. Menurut saya, kegiatan memberi judul adalah hal yang paling tidak penting sekaligus paling penting dalam membuat karya. Ia tidak penting untuk dilakukan di awal, namun sekaligus pemberi roh saat karya itu menjelang tuntas.
Urusan memberi judul ini sebenarnya tidak berhenti saat kita menyelesaikan skripsi dan tesis. Selama manusia masih menghela dan menghembus nafas, kita selalu disibukkan dengan urusan satu ini. Saat memilih jurusan di bangku kuliah, umpamanya, adalah momentum awal dimana kita ingin ‘memberi judul’ bagi entitas kita sebagai manusia. Ada yang ingin berjudul dokter, maka masuklah ia ke kedokteran. Ada yang ingin berjudul pelukis, maka pergilah ia ke kampus seni. Dan seterusnya. Namun ihwal ‘apa judul kita yang sebenarnya?’ hanya waktu, nasib dan jalannya kehidupan yang menentukan.
Maka jika dulu kita belajar filsafat dan berakhir menjadi penjual buku, atau belajar seni dan berakhir jadi produsen kopi, atau belajar apa saja dan berakhir menjadi ibu rumah tangga, bukan karena kita sedang salah jurusan. Kita hanya bersikap masa bodoh dengan ‘memberi judul di awal’. ***
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply