Dalam salah satu artikelnya, Bill Drayton, pendiri Ashoka, organisasi kewirausahaan sosial global, mengemukakan paradigma baru dalam pendidikan dan perkembangan anak. Di era ketika perubahan menjadi sedemikian pesat, Bill menyatakan bahwa setiap orang perlu menjadi pembaharu (changemaker). Kemampuan menjadi pembaharu harus dilatih sejak kecil.
Orang tua dan para pendidik wajib memastikan agar setiap anak menguasai skill untuk melakukan perubahan, yang meliputi empati, kerja sama, kepemimpinan, dan penyelesaian masalah. Tujuannya agar anak tumbuh menjadi seorang changemaker, mampu beraksi nyata membuat perubahan positif di masyarakat.
Gagasan serupa saya jumpai setelah menghabiskan waktu beberapa pekan bersama Ibu Sri Wahyaningsih, aktivis pendidikan alternatif. Bu Wahya, begitu ia biasa disapa, adalah pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) yang berlokasi di daerah Nitiprayan, Yogyakarta. Melalui SALAM, perempuan kelahiran Klaten, Desember 1961 ini, menggagas dan mengembangkan model sekolah kehidupan yang menaruh fokus pada kemerdekaan belajar serta sikap sosial anak sejak dini.
Di sanggar ini, siswa diajarkan agar mampu berpikir secara merdeka, belajar dari alam dan akar sosial budayanya, serta menemukan sendiri bakat dan minat yang mereka sukai. Motto SALAM adalah “mendengar saya lupa, melihat saya ingat, melakukan saya paham, menemukan sendiri saya kuasai”. Melalui adagium ini, SALAM mendidik setiap anak untuk berorientasi pada aksi nyata. SALAM juga tumbuh menjadi laboratorium pendidikan dasar bagi para edukator untuk merancang sekolah merdeka.
LATIH JIWA YANG PEKA SEJAK MUDA
Bu Wahya adalah anak ketiga dari 8 bersaudara. Orang tuanya merupakan pedagang sukses di Klaten, Jawa Tengah. Meski berasal dari keluarga berada, Bu Wahya dididik untuk hidup dalam kesederhanaan, untuk hidup komunal dan tidak pernah membeda-bedakan orang. “Belajarlah untuk hidup komunal. Jika Anda adalah orang tua, ajarkan anak Anda untuk hidup komunal sejak kecil. Saat mereka besar nanti, empatinya akan lebih terasah. Jika Anda adalah seorang remaja, hal ini akan menjadi kesempatan bagi Anda untuk belajar dan melatih kepekaan diri guna menjadi seorang changemaker.”, tegas Bu Wahya.
Nilai empati yang menggebu, diakui Bu Wahya merupakan hasil olah rasa, nasehat orangtua, serta pengalamannya hidup bersama ‘orang kecil’. Sejak remaja Bu Wahya sudah terbiasa peka pada permasalahan sosial yang ia temui sehari-hari. “Waktu masih muda, saya selalu merasa sedih melihat gelandangan di jalanan, mereka hidup di tempat tak layak dan tidak mampu makan. Saya selalu bertanya pada diri sendiri, apa yang dapat saya lakukan untuk menolong masyarakat yang bernasib kurang beruntung? Berangkat dari kejadian-kejadian tersebut, saya tergerak untuk melakukan sesuatu. Karena hanya dengan bertindak, kita bisa saja mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik.”
Terpanggil jadi pembaharu masyarakat, memotivasi Bu Wahya untuk menimba pengalaman dari banyak hal. Di sekolah, ia menjadi pengurus OSIS saat SMA, ia turut serta dalam kegiatan remaja kampung, aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa saat kuliah, dan menjadi pengurus Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) di almamaternya, Universitas Duta Wacana. Pengalaman ini membentuknya menjadi pribadi yang vokal dan kritis. Ia berani mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus yang tidak sesuai dengan keadaan mahasiswa pada saat itu.
SEKOLAH HARUS DEKATKAN ANAK PADA REALITA
Pada tahun 1986, Bu Wahya menikah dengan seorang aktivis bernama Toto Rahardjo dan kemudian pindah ke Lawen, Banjarnegara, kampung halaman suaminya. Selama tinggal di Lawen, ia melihat begitu banyak anak yang putus sekolah. Kondisi miris ini terjadi karena para orang tua di Lawen menganggap sekolah sebagai sebuah ‘barang’ mahal. “Mereka menilai pendidikan tidak memberi perubahan secara cepat, karena saat tamat sekolahpun, anak-anak masih harus bersaing untuk mendapat pekerjaan. Sementara dengan membantu orang tua di sawah atau di ladang, anak-anak sudah dianggap bisa bekerja, tidak perlu susah-susah bersaing lagi dengan orang lain. Selain itu, menurut mereka sekolah justru menjauhkan anak-anak dari realita. Jika orang tua adalah seorang petani, maka si anak enggan turun dan membantu orang tuanya di sawah karena takut akan mengotori seragam sekolah mereka.”, kisah Bu Wahya tentang kenyataan di Lawen.
Permasalahan di Lawen tak sebatas itu saja, banyak juga anak yang berhenti sekolah karena pernikahan dini. Ini memicu dampak lain seperti angka kematian ibu yang tinggi akibat kehamilan di usia terlalu muda.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, Bu Wahya merasa perlu memberi pemahaman pada orang tua tentang konsep dari pendidikan atau pembelajaran. “Padahal belajar itu tidak hanya duduk di sekolah saja. Di ladangpun sebenarnya mereka bisa dikatakan belajar juga.”, tutur Bu Wahya. Ia mencoba membuat perkumpulan remaja yang digelar sepulang sekolah. Mereka dilatih banyak hal, belajar dari alam. Dari sinilah asal-usul lahirnya nama Sanggar Anak Alam (SALAM). Tahun 1988, Bu Wahya resmi mendirikan Sanggar Anak Alam pertama yang berlokasi di Lawen, Banjarnegara.
SINERGI ANTARA KELUARGA, MASYARAKAT DAN SEKOLAH
Setelah berhasil mengubah mindset para orang tua di Lawen tentang pendidikan yang mendekatkan anak pada realita, akhir tahun 90-an Bu Wahya dan Pak Toto, suaminya, pindah ke daerah Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Di kampung seni ini, dia dipercaya masyarakat menjadi Ketua RT. Dekat dengan warga membuat Bu Wahya banyak mengetahui permasalahan di daerah setempat. Ternyata putus sekolah juga menjadi kendala di Nitiprayan. Bu Wahya kemudian merintis kelompok remaja dengan berbagai kegiatan belajar seperti jurnalistik, kesenian, fotografi dan bercocok tanam. Kelompok ini jadi cikal bakal lahirnya Sanggar Anak Alam ke-2 di Nitiprayan, yang terbentuk pada tahun 2000.
Hampir 2 dekade berdiri, kini SALAM telah membuka kelas mulai dari Kelompok Bermain (PAUD) hingga SMP dan berencana segera merambah jenjang SMA. Kurikulum di SALAM sangat berbeda dengan kurikulum pada sekolah formal. SALAM mendampingi anak dalam berekspresi melalui sumber-sumber yang ada di lingkungannya, serta memfasilitasi anak bereksplorasi di alam. Anak-anak belajar dari realita yang dekat dengan mereka, belajar dari apa yang mereka sukai. SALAM juga membebaskan anak untuk tidak berseragam ketika pergi ke sekolah. Tempat belajar mereka ada di tengah hamparan sawah. Dari alam mereka belajar kehidupan, menemukan jati diri dari akar sosial budayanya sendiri.
Pendidik di Sanggar Anak Alam disapa dengan sebutan ‘fasilitator’, bukan guru. Namun sistem pembelajaran di SALAM tidak hanya melibatkan anak dengan fasilitator saja. SALAM mengajak orang tua untuk berpartisipasi menjadi fasilitator di rumah, atau dengan kata lain, orang tua juga turut belajar. Sampai saat ini, SALAM berhasil membangun ekosistem pendidikan partisipatif, melibatkan lebih dari 400 orang, terdiri dari siswa, fasilitator dan orang tua. “Dengan ekosistem seperti ini, pada akhirnya seluruh pihak sadar bahwa belajar itu tidak ada habisnya. Anak belajar dari orang tua dan fasilitatornya, orang tua belajar memahami dan menuntun anak serta menerapkan masukan dari fasilitator. Fasilitator belajar dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan anak, serta memberi masukan kepada orang tua untuk memfasilitasi kebutuhan belajar anak di rumah.”, papar Bu Wahya.
Menurut Bu Wahya, pendidikan inti untuk anak seharusnya berawal dari keluarga. Orang tua memiliki peran yang besar dalam perkembangan anaknya. “Orang tua juga seharusnya dapat menuntun anak untuk mencapai apa yang mereka diinginkan, bukan mentah-mentah menyerahkan anak pada lembaga pendidikan. Kenyataan saat ini, banyak pihak sepertinya cenderung menjadikan sekolah sebagai mesin penghasil uang. Ada label sekolah unggulan atau sekolah bertaraf internasional, membuat orang tua berlomba-lomba memasukkan anak dan berharap mereka dapat menjadi yang terbaik. Padahal orang tualah pendidik yang pertama dan utama. Pendidikan yang ditanamkan orang tua akan melekat pada anak sampai ia dewasa.”
SEKOLAH KEHIDUPAN BAGI SEMUA
Dalam perkembangannya, SALAM juga bergerak untuk pendidikan bagi kaum remaja dan orang dewassa. Dibantu sejumlah relawan, SALAM mengadakan pendampingan belajar untuk sejumlah aktivitas, antara lain: program lingkungan hidup seperti pembuatan kompos, beternak, daur ulang kertas dan briket arang. Ada pula perpustakaan anak, serta kegiatan seni dan budaya mencakup teater, musik dan tari. SALAM juga melatih kemampuan jurnalistik pada anak melalui media Halo Ngestiharjo dan Bulletin SALAM.
Berkat kerja sosial merintis pendidikan alternatif bagi masyarakat pedesaan, tahun 1991, Ashoka memilih Bu Wahya sebagai salah satu Fellow. Ia juga terpilih sebagai Insan Permata oleh Bank Permata pada tahun 2004. Ia terus mengusung impian mulia, menghadirkan sekolah kehidupan bagi semua orang Indonesia, pendidikan yang membebaskan, yang memampukan tiap individu menjawab permasalahan hidup*** []
Mahasiswi Technopreneurship Surya University
Leave a Reply