Blog

Sore Yang Tidak Hujan

“Catatan ini saya rangkum untuk membuktikan kebenaran apa yang diucapkan Paulo Freire: “The educator has the duty of not being neutral”. Saya kira, begitulah yang saya terapkan selama penugasan di lapangan. Di Mumugu Batas Batu, di Taman Nasional bukit 12, Jambi dan di tempat-tempat lain tempat saya pernah bertugas. Saya harus berpihak. Dan keberpihakan saya jelas untuk anak-anak dan komunitas tempat anak-anak belajar bersama saya.”

Fawaz – Yang Menyublim di Sela Hujan

Membaca tulisan Fawaz memang selalu menarik bagi saya. Beberapa esai ringan di media online yang pernah dia tulis sejalan dengan ‘iman’ saya tentang pendidikan. Untuk itu ketika muncul rencana untuk membedah buku karyanya di SALAM, hati saya mendadak gembira. Tentu saja buku ‘Yang Menyublim di Sela Hujan’ belum pernah saya baca sebelumnya. Buku tersebut memang baru saja terbit dan lembar-lembar kertasnya masih hangat oleh tinta ketika beberapa eksemplarnya dibawa untuk bedah buku tempo hari.

Buku Yang Menyublim di Sela Hujan; front cover.
Buku Yang Menyublim di Sela Hujan; front cover.

Karena buku ini (beneran) baru, maka dari sekian banyak yang hadir, hanya Karunianingtyas dan Gemak Budi saja yang sudah membacanya. Dua-duanya karena tuntutan peran, sebagai pembahas dan moderator acara. Beruntung Fawaz hadir dan turut menjadi narasumber dalam diskusi kali ini. Jika tidak, mungkin bedah buku akan berlangsung seperti pembacaan dongeng di kelas anak saya.

Pak Gemak selaku moderator yang sudah membaca separuh buku, membuka dengan ulasan singkat tentang sebuah bab yang berkaitan dengan ‘teologi pembebasan’, sebuah topik yang diulas penulis di salah satu bab. Teologi pembebasan adalah sebuah topik yang akrab di telinga umat atolik, terutama yang memperdalam ilmu teologi di jenjang sekolah tinggi. Bagaimana penulis yang seorang muslim dapat memahaminya dengan baik? urai Fawaz, konsep ini sudah lama ia kenal dari sumber-sumber bacaan tentang konflik di Amerika Latin. Namun praksisnya benar-benar ia alami langsung di Sokola Asmat bersama para misionaris seperti pastor Hendrik dan para biarawati yang bertugas di sana.

Dari situlah cerita kemudian mengalir deras dari si penulis buku. Tentang awal cerita bergabungnya ia bersama Sokola, pengalaman di Sokola Rimba, hingga keterlibatannya di Sokola Asmat. Seperti yang diungkap di sampul belakang buku, aktivitasnya di Sokola Asmat yang tepatnya berlangsung di Mumugu Batas Batu, terkait dengan program literasi terapan. Sementara program pendahulunya, literasi dasar, sudah berakhir beberapa bulan sebelumnya. Literasi terapan di silabuskan dengan harapan murid-murid dapat mengapikasikan kemampuan baca-tulis-hitungnya dalam kehidupan nyata, lewat pengalaman hidup sehari-hari.

Dalam pembahasan Karunianingtyas, perempuan yang juga aktif terlibat sebagai fasilitator di SALAM, buku ini sangat menarik. Konsep pendidikan yang kontekstual dan tidak mengasingkan siswa dari keseharian hidupnya adalah sebuah praktek pendidikan yang langka. Namun buktinya, Fawaz dan rekan-rekannya mampu mengaplikasikan konsep tersebut.

Selanjutnya mbak Tyas, membahas garis besar kandungan buku tersebut. Buku yang membagi muatannya dalam 3 bab besar ini secara khusus berkisah tentang pengalaman si penulis di Sokola Asmat. Bab pertama adalah tentang kisah perjalanan berangkat menuju lokasi penugasan, yaitu kampung Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua. Bab kedua berkisah tentang Mumugu Batas Batu itu sendiri, baik tentang geografisnya maupun karakteristik masyarakatnya. Sementara bab terakhir adalah tentang renik pengalaman belajar bersama murid-murid di sana. Bisa Anda bayangkan sejauh apa Mumugu Batas Batu itu. Bahkan untuk mengisahkan perjalanan berangkatnya saja memakan sepertiga bagian buku. Meskipun dari segi jumlah halaman, tetap bab terakhirlah yang paling banyak. Menurut pembahas, melewatkan bab kedua untuk langsung menuju bab ketiga, seperti yang ia lakukan saat membaca buku ini, adalah sebuah kesalahan yang perlu dihindari. Karena bagaimanapun juga, pengalaman belajar yang banyak diungkap di bab terakhir sangat erat kaitannya dengan apa yang diungkap penulis buku di bab sebelumnya.

***

Banyak yang menarik dari diskusi kali ini. Salah satunya ketika Fawaz berkisah bahwa anak-anak yang hidup di masyarakat adat seperti di Mumugu Batas Batu, tidak siap dengan tradisi ‘tanam pantat’ di bangku sekolah. Sekolah menjadi sebuah konsep pembelajaran yang harus bersifat cair dan dapat berlangsung di mana saja. Hampir semua yang hadir tergelak geli dengan istilah baru ini. Fasilitator SALAM yang banyak hadir sore itu seolah mendapat diksi baru untuk mendefinisikan anak-anak SALAM yang juga gemar sekali belajar di tempat-tempat yang tak sewajarnya. “Berarti anak-anak saya itu ogah tanam pantat,” celetuk seorang fasilitator.

Beberapa pertanyaan juga memunculkan jawab yang mampu memberi kedalaman bagi pemahaman kami tentang proses belajar mengajar di Mumugu Batas Batu. Beberapa fasilitator SALAM yang hadir sore itu bertanya perihal banyak hal. Seperti Sabeth yang bertanya bagaimana menyamakan visi kedisiplinan dengan pihak gereja yang menjadi pihak yang meminta hadir di Mumugu Batas Batu, sementara banyak orang tahu bahwa pendidikan di sekolah yayasan Katolik cukup identik dengan kedisiplinan. Sementara Sumi yang juga seorang fasilitator belajar di SALAM, bertanya tentang bagaimana membangun kesepahaman dengan orangtua dalam membagi waktu antara sekolah dan bekerja membantu keluarga.

Bedah Buku "Yang Menyublim di Sela Hujan"
Bedah Buku “Yang Menyublim di Sela Hujan”

Pendekatan, proses asesmen yang tepat, menjadi kunci keberhasilan belajar di masyarakat adat. Meskipun proses ini tidak banyak dikisahkan secara rinci dalam buku karena sebagian besar pengalaman Fawaz lebih pada tahap literasi lanjutan, namun ruh nya tetap terasa. Assesmen menjadi jembatan yang terus menerus dibangun, diperbaiki, lalu kemudian dipertahankan untuk tetap berdiri kuat. Satu pesan kuat yang disampaikan baik dalam buku ini maupun hasil diskusi pekan lalu, bahwa kita harus menghindari pikiran untuk ‘menghakimi dini’ atas apapun yang tidak sama dengan kita. Baik itu cara hidup, cara berpikir maupun cara berperilaku. Dalam simpul bahas mbak Tyas, hendaknya kita melepas ‘kacamata’ kita saat bertemu masyarakat baru agar tidak melihat segala sesuatu dalam bangunan ideal yang tumbuh dalam diri kita.

Beberapa pertanyaan terkait kehadiran negara dalam program-program literasi ini juga muncul. Beberapa diantaranya seperti yang diungkap Dodi, seorang peserta diskusi: Apakah kurikulum yang disusun Sokola Asmat memungkinkan siswa-siswinya mengikuti UN? Sebagaimana layaknya sekolah tak formal lain, keputusan tersebut diserahkan langsung pada peserta didik. Diskusi ini juga sedikit menyentil tentang program pemerintah, SM3T (Sarjana Mengajar Daerah Terpencil, Terluar dan Tertinggal) ketika Tores, salah satu peserta diskusi dari Flores, bertanya tentang hal ini. Tentang bagaimana pendidikan di Indonesia menjadikan Jawa sebagai standar ideal, sementara daerah terpencil seakan dijadikan objek keterbelakangan. Perkara ini, Fawaz berujar “Bukan Jawa, bang. Lebih kacaunya, Jakarta. Jakarta yang selalu dijadikan standar ideal pendidikan Indonesia.” Sepertinya cerita miris-miris begini bukan hanya terjadi di babak pendidikan saja. Lucunya, penyeragaman memang tampaknya masih jadi satu-satunya solusi yang bisa digagas negara. Tidak ada lainnya.

Satu pertanyaan yang benar-benar saya ingat jawabannya, muncul di penghujung acara. Pertanyaan dari Tores ini kurang lebih bunyinya: “Apa bedanya Sokola dan SALAM?” Memang, bagi saya mengamati praksis Sokola dan SALAM ini rasanya banyak miripnya. Mungkin yang banyak membedakan adalah demografi masyarakatnya. Namun jika menilik sejarah SALAM di desa Lawen, Banjarnegara, hembusan nafas tentang keberpihakan terasa sama kuatnya. Perihal ini, Fawaz menjawab bahwa SALAM ini bisa dibilang pihak yang membantu terbentuknya Sokola. Konsep belajar SALAM inilah yang diadopsi untuk kemudian diterapkan ke masyarakat adat yang diampu Sokola. “Bahkan, pak Toto Rahardjo  (penggagas SALAM) banyak membantu Butet Manurung ketika menginisiasi Sokola Rimba” Ujar Fawaz.

Sore mulai beranjak. Snack potluck yang terbagi dalam piring-piring rotan mulai tandas, pindah ke lambung. Gelas-gelas yang tadinya berwarna coklat karena terisi teh juga mulai menampakkan kilau aslinya, bening. Matahari makin turun. Menyejajarkan diri dengan dinding terbuka ruang TA yang menghadap Barat. Sebelum sinarnya benar-benar menyorot silau para peserta diskusi yang bersandar di dinding Timur, diskusi sepakat di akhiri.

***

Buat apa datang bedah buku kalau tidak beli bukunya lalu segera membacanya. Ya to? Maka saya pun segera membeli satu eksemplar buku itu lalu buru-buru masuk antrian untuk minta tanda tangan. Meski cukup terganggu dengan pesan Fawaz yang ia tulis di halaman depan sesaat sebelum membubuhkan tanda tangan, namun buku itu tandas saya baca dalam dua hari. Membaca buku ini seperti mendengar si penulis bercerita, mengalir ringan dan jernih.

Buku yang serupa catatan harian ini mengingatkan saya pada buku yang ditulis pendahulunya, Butet Manurung, yang berjudul Sokola Rimba. Buku ini juga membawa saya pada sebuah kesimpulan bahwa berpikir terlalu makro atas segala permasalahan di muka bumi ini tidak akan menemukan ujung pangkalnya jika kita tidak pernah memulai untuk berpikir mikro, yang ada di depan mata. Bermimpi tinggi boleh saja, namun satu-satunya hal yang patut dilakukan sesudahnya adalah memulai aksi. Apa yang dilakukan Butet, Fawaz dan para relawan dalam pendidikan ini adalah hal-hal mikro yang mungkin tak pernah terjamah atensi negara. Namun jelas bahwa kemikroan ini membawa kebaikan dalam komunitas adat di mana mereka bergerak. Ibarat butterfly effects, saya yakin laku-laku mereka akan membawa sesuatu yang besar, yang jika dirangkum dalam satu kata maka kata tersebut adalah: PERUBAHAN.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *