Bebrayan Agung Mahasiswa Baru Yogyakarta. Tradisi tahunan Kembali digeliatkan perguruan tinggi di Indonesia untuk membuka pendaftaran mahasiswa baru. Sejumlah program studi berduyun-duyun menyiapkan paket unggulan guna menarik atensi. Etalase prestasi juga disodorkan ke muka publik dalam rangka keterbukaan informasi sekaligus ketercapaian sebuah lembaga termutakhir. Kontestasi itu dialamatkan, pertama dan terutama, untuk calon mahasiswa. Sedangkan kedua, antara lain, menjadi simbol legitimatif kemapanan suatu universitas di tengah kancah persaingan akademik.
Kendati calon cendekiawan sudah mempunyai gambaran opsional di mana mereka hendak melanjutkan studi, promosi infografis tetap digeliatkan universitas lewat media sosial sebagai ajang diseminasi rekam jejak otentik. Dengan kata lain, manakala demonstrasi program digencarkan, selain diperuntukkan bagi jamak orang, ia juga meneguhkan arti keramahan visual. Di sini letak persiangan antarlembaga pendidikan. Di luar dinding seleksi mahasiswa baru yang meniscayakan peserta terpilih dan tersisih, khalayak acap menafikan suatu transformasi sosial yang kasat mata, terutama menyangkut soal posisi mahasiswa baru dan—semisalnya—Yogyakarta sebagai tempat perantuan akademik.
Gambaran sederhana dan jelasnya dapat ditelisik melalui kondisi kemacetan di sepanjang kampus. Motor berpelat non-AB memenuhi tiap sudut meski ia belum tentu mahasiswa baru. Namun, di sana terdapat generalisasi betapa mahasiwa baru bukan berpenduduk Yogyakarta memiliki identitas nomor kendaraan yang berbeda. Yang menarik diulas dan acap disepelekan adalah sejauh mana kuantitas mahasiswa baru berbanding lurus dengan jumlah kelulusan mahasiswa di sebuah universitas. Andai kata jumlah mahasiswa yang masuk lebih banyak ketimbang mahasiswa yang keluar, kegelisahan masyarakat Yogyakarta terbukti benar. Dampak dari problem ini adalah kemacetan masif sekaligus ledakan besaran perantau di kota pelajar. Meskipun begitu, tulisan ini tak menyoal kondisi di lapangan dan kausalitas di belakang meja yang menjadi persoalan universitas, tetapi cenderung menyoroti sejauh mana kuantitas pelajar itu melakukan interaksi sosial (membaur) di masyarakat.
Pembauran Personal
Pernah terbesit suatu pemeo di kalangan masyarakat sekitar kalau mahasiswa kini jarang srawung (bergaul) dengan penduduk asli. Penanda keaslian itu tentu dibuktikan dengan khalayak Yogyakarta yang secara administratif tinggal di bumi Mataram. Mereka mengeluhkan keacuhan mahasiswa baru ketika diajak untuk bersemuka dalam kegiatan masyarakat seperti kerja bakti. Keadaan ini jelas bersifat kasuistik yang tiap wilayah memiliki kesan beraneka rupa, namun setidaknya menyiratkan suatu kekhawatiran yang komparatif: perbandingan mahasiswa sekarang dan mahasiswa lampau.
Tak jelas berapa ukuran baku mahasiswa lampau yang dimaksudkan penduduk Yogyakarta itu. Sekilas perbandingan, menurut masyarakat, mahasiswa generasi 80-an masih bersedia diajak kegiatan dusun. Ketika akhir pekan, alih-alih mereka mengurung diri dengan kegiatan individu, mereka malah menawarkan tenaga untuk membantu program desa. Situasi ini membuat masyarakat girang karena di satu sisi mendapat bantuan tambahan, sedangkan di sisi lain ikatan antarkeduanya berjalan harmonis.
Wujud nilai kerja sama berjalan dialogis selama anak kos dan masyarakat sekitar saling berkomunikasi secara intens. Keduanya mencitrakan simbiosis mutalisme yang bagi anak kos juga serupa pendidikan empiris pra-KKN. Mereka telah mengaktualisasikan wujud KKN terpadu meski program perkuliahan lapangan itu belum diambil. Tarik-menarik saling memperkaya pengalaman tersebut dapat dikatakan ekspresi bebrayan agung—hidup di atas kebersamaan—yang telah mengakar di masyarakat Yogyakarta selama berabad-abad.
Menjatuhkan masalah hanya sebatas perilaku mahasiswa baru tentu bukan sikap bijaksana. Sekalipun mereka tak mengejawantahkan sikap sama sebagaimana generasi-generasi sebelumnya, keadaan ini sedemikian rumit ditelisik akar penyebabnya. Variabel seperti tantangan sosial hari ini yang mengondisikan kawula muda sebagai pihak yang eksklusif dan tertutup pada persoalan kolektif-kultural niscaya menarik didedah.
Dengan kata lain, kawula muda semacam itu tentunya tak terelakan dari anak zaman. Sementara itu, anak zaman sekarang, pada perspektif lain, memang diposisikan serba mengalienasikan diri di ranah sosial.
Wujud menarik diri dari wilayah sosiologis adalah potret masa yang dewasa ini dikeluhkesahkan banyak orang. Sisi positif dari realitas tersebut antara lain generasi sekarang cenderung mandiri sehingga ketergantungan sosial diminimalisir habis-habisan. Apakah kemandirian menegasikan nilai bebrayan agung itu soal lain yang mendesak untuk diteliti secara fenomenologis.
Masyarakat mesti melakukan edukasi berbasis kontekstual supaya problem sosial mahasiswa baru yang digelisahkan bukan hanya buah bibir semata, melainkan rekonstruksi nilai berbasis laku. Di samping masyarakat, perguruan tinggi sebagai tempat penempaan mahasiswa baru, juga didorong untuk turut ambil andil melalui proses pembelajaran di kampus.
Itu semua dapat berhasil selama kerja sama di antara mereka berjalan koordinatif. Calon sarjana, dengan demikian, harus memposisikan diri pula sebagai subyek dan obyek aktif dalam rangka pembelajaran soft skill di masyarakat. Pola pendidikan nonformal demikian baru bisa dipetik selama kontiuasi tersebut berjalan konsisten dan penuh tanggung jawab. [] bersambung
Peneliti Pendidikan, Penulis Buku Genealogi Hoaks Indonesia
Leave a Reply