Beberapa informasi umum tentang apa dibalik zonasi sekolah menurut pemahaman saya : Membatasi jumlah siswa: Zonasi sekolah dapat diterapkan untuk membatasi jumlah siswa yang diterima di sekolah tertentu. Dengan demikian, sekolah tidak akan terlalu padat dan guru dapat memberikan perhatian yang lebih kepada setiap siswa. Memastikan aksesibilitas: Zonasi sekolah juga bertujuan untuk memastikan bahwa setiap wilayah atau lingkungan memiliki akses yang setara terhadap sekolah berkualitas. Dengan demikian, tidak ada konsentrasi terlalu banyak sekolah berkualitas di satu wilayah tertentu.Menjaga keberagaman: Dengan menerapkan zonasi, pihak berwenang dapat mencoba menjaga keberagaman sosial, ekonomi, dan budaya di setiap sekolah. Ini juga membantu dalam mencegah sekolah-sekolah yang secara eksklusif dihuni oleh kelompok tertentu, sehingga menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Pengaturan pemanfaatan fasilitas: Zonasi sekolah dapat membantu mengatur penggunaan fasilitas sekolah dengan lebih efisien, karena siswa yang tinggal di dekat sekolah akan lebih mungkin untuk menghadiri sekolah tersebut, mengurangi perjalanan jauh dan kemacetan lalu lintas. Mengurangi segregasi sekolah: Dengan melakukan pembagian zonasi, tujuannya adalah untuk mengurangi segregasi sekolah berdasarkan ras, etnis, atau status sosial-ekonomi. Ini bisa membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan merata bagi semua siswa.Manajemen kapasitas: Zonasi sekolah membantu pihak berwenang mengelola kapasitas setiap sekolah secara lebih efisien. Mereka dapat mengantisipasi dan merencanakan kebutuhan ruang kelas, fasilitas, dan sumber daya lainnya berdasarkan jumlah siswa yang diharapkan dari setiap wilayah zonasi. Harap dicatat bahwa setiap negara, daerah, atau sistem pendidikan mungkin memiliki kebijakan zonasi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan tantangan mereka sendiri (redaksi) . Berikut ini, ada perkembangan informasi dari mas Irwan Adrian, Suara Orangtua Peduli, Jakarta
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Demikian jelas tegas tertulis pada Pasal 31 ayat 2 UUD 1945. Dalam UU Sisdiknas 2003, yang dimaksud dengan “pendidikan dasar” adalah pendidikan SD atau yang sederajat dan SMP atau yang sederajat. “Wajib belajar” sendiri adalah istilah yang sudah dikenal sejak UU Nomor 4 Tahun 1950, UU Pendidikan pertama di Indonesia.
Setelah Reformasi 1998, salah satu agenda prioritas adalah amanat bahwa pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan, yang dikukuhkan lewat amandemen UUD 1945 tahun 2002. Pemerintahan Jokowi mencanangkan pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun yang dimulai sejak Juni 2015, di mana semua anak Indonesia wajib masuk sekolah dan pemerintah wajib membiayai serta menyediakan segala fasilitasnya.
Sistem Zonasi
Sistem Zonasi terdiri atas Zonasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dan Zonasi Mutu Pendidikan. Keduanya bertujuan untuk menjamin pemerataan akses dan mutu pendidikan yang berkeadilan pada setiap zona/wilayah yang ditetapkan dengan mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal peserta didik. (Setjen Kemdikbud, 2018).
Dalam PPDB dengan sistem zonasi bisa dibayangkan suatu peta dengan lingkaran-lingkaran di mana sekolah-sekolah berada sebagai titik pusatnya. Radius lingkaran ditentukan oleh daya tampung sekolah dan jumlah populasi usia sekolah di sekelilingnya. Dengan demikian, akan tergambar mana wilayah yang tidak terliput dalam lingkaran-lingkaran ini. Itulah wilayah yang perlu diperhatikan karena tidak memiliki akses layanan pendidikan. Peta ini akan membantu pemerintah membuat rencana untuk “menambal” zona yang tak terlayani tersebut. Sistem zonasi ini diharapkan memadai untuk menjadi alat ukur tingkat pencapaian “wajib belajar” di suatu daerah.
Wajib Belajar di DKI Jakarta
Perda DKI Nomor 8/2006 tentang Sistem Pendidikan, Pasal 16 menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna penuntasan wajib belajar 9 tahun; dan menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak terlantar.
Bagaimana kenyataannya? Di DKI Jakarta, pada setiap tahun ajaran baru terdapat sekitar 140 ribu anak lulusan SD yang mendaftarkan diri masuk SMP, dan sekitar 150 ribu anak lulusan SMP yang mendaftarkan diri masuk ke SMA/SMK. Dari jumlah ini, hanya sekitar 52% anak lulusan SD yang dapat ditampung SMP Negeri, dan hanya sekitar 33% anak lulusan SMP yang bisa diterima SMA/SMK Negeri. (Smeru, 2020)
Artinya, ada 170 ribu anak lulusan SD dan SMP (58% dari total lulusan) yang harus mencari cara sendiri untuk bersekolah di sekolah swasta. Daya tampung PPDB menjadi masalah karena yang dihitung hanya daya tampung sekolah negeri. Karena keterbatasan ini maka proses PPDB berubah menjadi “proses seleksi”, di mana ada anak yang tertinggal, yang tidak mendapat pelayanan yang sama dari pemerintah, karena mereka gagal masuk ke sekolah negeri.
Padahal daya tampung sekolah swasta dan sekolah negeri di DKI sebenarnya sudah cukup untuk menampung seluruh anak yang bersekolah di jenjang SD, SMP dan SMA/SMK. PPDB Bersama
DKI sejak 2021 berinisiatif melibatkan sekolah swasta lewat “PPDB Bersama” untuk menambah daya tampung sekolah negeri. Anak yang diterima di sekolah swasta melalui PPDB Bersama mendapat pembiayaan dari pemerintah DKI selama 3 tahun. Mereka kurang lebih mendapatkan hak pembiayaan sebagaimana anak yang bersekolah di sekolah negeri.
Pada 2021 terdapat 89 SMA swasta yang ikut dalam sistem penerimaan lewat PPDB Bersama, dengan daya tampung 6.909 kursi. Pada 2022, jumlah sekolah swasta yang berpartisipasi bertambah, menjadi 108 SMA swasta dan diperluas dengan 152 SMK swasta. Sayangnya jumlah daya tampung tidak ditambah, tetap 6.909 kursi. Jumlah SMA dan SMK swasta yang mau bergabung dalam PPDB Bersama ini sudah mencapai angka 30% dari jumlah SMK dan SMA swasta di Jakarta.
PPDB Bersama yang dilakukan di DKI Jakarta memiliki pola pembiayaan yang mirip dengan sekolah piagam (charter school) di beberapa negara. Pemerintah membantu pembiayaan sekolah swasta sehingga sekolah tidak perlu memungut biaya pada peserta didik, tapi mereka tetap memiliki otonomi dan kekhasan sebagai sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Saat ini diperlukan komitmen dari pemerintah provinsi DKI untuk mau meningkatkan daya tampung 6.909 kursi, yang baru memenuhi 4% dari 170 ribu anak yang tidak diterima pada PPDB. Suatu studi sederhana pernah mengusulkan tambahan APBD senilai Rp 4 triliun untuk mencukupi seluruh anak di DKI yang tersisihkan dalam PPDB bisa terpenuhi haknya. (Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta, Juni 2022)
Pemenuhan hak anak dalam proses PPDB yang berkeadilan bukan sesuatu yang bisa ditawar. Kalau DKI Jakarta yang masih menjadi “ibu kota” belum mampu menjadi teladan untuk memenuhi amanat konstitusi yang disebut “wajib belajar”, maka kapan kita bisa pulih dari “amnesia” wajib belajar?
(Irwan Aldrin, aktif di komunitas Suara Orangtua Peduli)
Baca artikel detiknews, “Sistem Zonasi dan Amnesia Wajib Belajar” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6838704/sistem-zonasi-dan-amnesia-wajib-belajar.
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply