Ketika kita melangkah ke dalam dunia ini, kita membawa esensi yang unik dan autentik. Namun, seringkali dalam perjalanan hidup dihadapkan dengan ekspektasi dan harapan orang lain, terutama dari orang tua dan kerabat tercinta. Ironisnya, dalam upaya mereka untuk mencintai kita dan melindungi kita, mereka kadang-kadang tanpa sadar memaksakan keinginan mereka pada kita, seolah-olah itu adalah cara untuk mengungkapkan kasih sayang.
Jim Morrison, seorang seniman yang peka terhadap kompleksitas manusia, pernah mengatakan, “Ketika orang lain mengharapkanmu menjadi yang mereka inginkan, yang sebenarnya adalah mereka memaksamu untuk menghancurkanmu. Ini adalah cara pembunuhan yang sangat halus.” Ungkapan ini menggambarkan fenomena yang tidak jarang terjadi dalam kehidupan kita.
Orang tua adalah salah satu contoh utama dari pelaku “pembunuhan halus” ini. Dalam upaya untuk melindungi anak-anak mereka, mereka sering kali memiliki visi yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai kehidupan yang sukses. Mereka mungkin bermaksud baik, tetapi dalam prosesnya, mereka memaksa anak-anak mereka untuk mengorbankan bagian penting dari diri mereka sendiri. Mereka berharap agar anak-anak mereka mengikuti jejak yang telah mereka rencanakan, tanpa memperhitungkan impian, keinginan, atau keunikan anak tersebut.
Tentu saja, bukan hanya orang tua yang terlibat dalam praktik ini. Kerabat, teman-teman, bahkan masyarakat umum, juga dapat memiliki ekspektasi dan tekanan yang sama terhadap individu. Mereka dapat menilai seseorang berdasarkan norma-norma sosial, budaya, atau agama, dan dengan senyum di wajah mereka, memaksa individu untuk mengorbankan potensi dan autentisitas mereka.
Proses ini dapat menghancurkan jiwa seseorang secara perlahan. Ketika seseorang terus-menerus diminta untuk menjadi apa yang orang lain inginkan, mereka merasa terkekang, kehilangan identitas mereka, dan mungkin bahkan merasa hampa. Itu adalah semacam “pembunuhan yang tidak terlihat,” karena korban biasanya tidak mengalami kekerasan fisik, tetapi hati dan jiwa mereka mengalami penderitaan yang mendalam.
Namun, penting untuk diingat bahwa kita memiliki kekuatan untuk membatasi pengaruh orang lain terhadap kita. Kita bisa memilih untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan diri kita sendiri, dengan menjaga keseimbangan antara ekspektasi orang lain dan pemenuhan diri. Ini adalah perjalanan yang tidak selalu mudah, tetapi dalam mencari kebahagiaan dan autentisitas, kita harus berani untuk menjadi diri kita sendiri.
Dalam menghadapi senyuman yang mematikan ini, penting untuk menyadari bahwa kasih sayang yang sejati adalah memberikan ruang bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan identitas mereka sendiri, tanpa memaksakan ekspektasi atau keinginan kita pada mereka. Ini adalah cara kita dapat menghindari menjadi pelaku “pembunuhan halus” dan, sebaliknya, menjadi penopang bagi kesejahteraan dan perkembangan individu yang kita cintai. Sebab, dalam kesendirian kita dapat menemukan kekuatan dan kebijaksanaan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, sejati dan tak tergoyahkan. []
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply