Masak lagi masak lagi. Hmmm mengapa kegiatan sekolah sering diisi dengan memasak? Suatu kali kawan bertanya demikian kepada saya. Cerita kegiatan memasak bersama anak memang sering saya unggah di medsos (meskipun saya tidak pandai memasak) seperti saat memasak cemilan berbahan tahu, membuat tumpeng, memasak bakwan, membuat puding dan lain-lain bersama teman-teman di kelas Gara, anak saya. Sebenarnya saya tidak berpikir macam-macam. Apapun kegiatan yang dilakukan, saya akan berusaha mendorong anak untuk mengikutinya. Karena pertanyaan itu, saya jadi ikut-ikut mencoba memikirkan apa pentingnya kegiatan masak-masak bersama anak di rumah sebagai bagian dari pembelajaran.
Memasak. Saya pikir tanpa fasilitator kelas menjelaskan manfaat dan kebaikan memasak bersama, atau poin-poin pembelajaran serupa capaian dari indikator-indikator sebagai arahan di awal semester, secara natural kita bisa sangat mudah menemukan berbagai “mata pelajaran”, sebuah istilah di sekolah umum yang lebih mudah diterima oleh umum pula.
Yuk coba kita gali bersama. Apa ada “Matematika” dalam memasak? Bagaimana pula dengan “Pendidikan Kewarganegaraan”, atau mungkin “Ilmu Pengetahuan Alam” dan “Ilmu Pengetahuan Sosial”, atau yang lebih modern mata pelajaran “Bahasa Inggris”. Sudah itu saja dulu mata pelajarannya. Banyak-banyak tambah pusing nanti.
Matematika jelas ada. Anak dan orang tua akan berhitung, tentang jumlah bahan yang diperlukan, tentang biaya yang harus dikeluarkan, juga bagaimana membagi makanan yang sudah jadi untuk semua anggota keluarga. IPA dari mana? Tentu dari bahan-bahan yang diperlukan bisa belajar tentang alam, tentang pangan lokal, tentang pengolahan makanan, tentang kesehatan juga. IPS bisa dari bagaimana terwujudnya sebuah hidangan di meja makan, yang ternyata merupakan kerja sama dari banyak pihak, bisa berlanjut lagi menggali profesi orang-orang atau budaya di suatu tempat terkait makanan. PKN juga bisa ditemukan kalau kita mau mencari koneksinya dengan memasak. Kita dapat belajar untuk tahu hak dan kewajiban kita sebagai warga negara yang perlu berupaya menjaga pangan lokal dan berbangga memakai produk asli negeri kita. Bahasa Inggris jelas ada lah. Banyak makanan kemasan yang petunjuknya dibuat dwibahasa, bisa jadi jalan masuk juga untuk belajar bahasa. Soal pelajaran Agama pun tak perlu dipusingkan, sebab sebelum makan anak-anak berdoa dan bersyukur atas rejeki yang sudah diberikan Tuhan lewat tangan orang-orang di sekitar.
Tapi apa ya itu penting merumitkan praktik memasak anak-anak, mengonversinya ke dalam mata pelajaran lalu fasilitator sibuk membuat catatan administratif tentang capaian belajar anak secara kaku. Saya rasa tidak perlu. Maksud saya tidak perlu sekaku itu. Seperti yang selalu saya alami, kami alami.
Kegiatan memasak di kelas 2 yang kami ikuti terakhir adalah saat memasak cemilan berbahan tempe. Tempe itu makanan favorit saya sepanjang hayat. Senang atau susah makanannya tetap tempe, meskipun tempe lebih identik dengan “masak ngirit” sebab harganya memang relatif murah. Anak saya Gara juga jadi suka tempe khususnya tempe penyet, karena keberhasilan doktrin saya selama ini: tempe itu enak, tempe itu enak, tempe itu enak. Hampir selalu ada tempe di dalam kulkas. Jika kebetulan sayur atau lauk di rumah habis, sering kali Gara minta dibuatkan tempe penyet yang kemudian dinamai ulang menjadi “tempe plenet”: tempe digoreng matang, lalu diplenet-plenet dengan bawang putih, garam dan cabe rawit, tinggal tambah lalapan. Itu sudah bahagia sekali jika kami bisa memakannya bersama. Dan Gara sekarang sudah bisa membuat tempe plenet sendiri, paling-paling hanya minta dibantu menghidupkan kompor karena masih agak takut.
Kok jadi cerita tempe plenet ya. Wong saya itu mau menceritakan pengalaman memasak bersama di kelas Gara. Baiklah, kegiatan memasak berbahan tempe ini sejatinya diadakan via zoom hari Jumat lalu. Saya juga sudah menyiapkan semua keperluannya bersama Gara. Namun karena saya di rumah juga ada pesanan mie ayam dan harus keluar rumah untuk beberapa keperluan, saya minta izin tidak bisa mendampingi via zoom. Saya akan mengikuti kegiatan lewat WA saja, artinya saya tidak bisa ikut memasak bersama saat itu juga. Gara juga terpaksa tidak bisa ikut karena ponsel saya pakai dan kompor digunakan untuk memasak pesanan. Bu Wiwin yang memimpin kegiatan pun memberitahukan langkah-langkah membuat stik tempe melalui pesan WA. Beberapa saat kemudian, ponsel saya sudah clunthang-clunthing pertanda pesan masuk. Saya lihat sekilas ternyata foto-foto karya cemilan yang sudah selesai dibuat anak-anak. Wow, saya saja belum kelar urusannya. Belum sempat juga membuatnya. Saya bilang jika sudah “sela“, saya akan menemani Gara praktik memasak stik tempe. Eh ternyata siangnya Gara malah ke rumah simbah sampai sore. Pulang ke rumah sudah maghrib dan enggan memasak. Capek katanya. Lalu keesokan harinya, Gara diajak eyang kakungnya ke Taman Pintar dan bermain di Progo bersama sepupunya. Siang itu rencana batal lagi. Malam harinya, suasana malam minggu yang syahdu membuat kami ingin membuat cemilan seketika, dan terjadilah eksekusi memasak stik tempe bersama sesuai resep Bu Wiwin tadi. Begini resepnya, barangkali teman-teman ingin juga mencobanya:
Bahan: tepung terigu, telur 2 butir, tempe, garam, merica, kaldu bubuk, tepung panir dan minyak goreng.
Cara membuat:
- Potong-potong tempe kotak panjang (tidak tebal-tebal)
- Kocok dua telur lalu beri garam 1/2 sendok teh, merica seujung sendok teh (sesuai selera), kaldu seujung sendok teh (sesuai selera).
- Guyurkan telur di atas tempe, taburi tepungnya, aduk – aduk.
- Gulingkan di atas tepung panir.
- Goreng dengan api kecil.
Nah begitu kira-kira. Mudah kan! Setelah jadi stik tempenya, Gara menambahkan taburan nori atau rumput laut karena dia suka nori. Teman lain juga ada yang menambahkan saos atau mayones. Tidak ditambah apa-apa pun sebetulnya sudah enak kok asal pas takaran garam dan kaldu yang membuat gurih. Masakan kami kemarin sayangnya kurang garam. Tempe yang kami pakai tempe papan yang besar, saya hanya pakai setengah papan. Namun ternyata stik tempe jadi banyak sekali sampai dua wadah, lalu kami simpan sebagian karena tidak habis dalam satu malam.
Tidak perlu kan ya saya konversikan praktik memasak tempe di atas menjadi “mata pelajaran yang dipelajari Gara dan capaian-capaiannya sesuai indikator pembelajaran” ? Saya lebih memilih jepret sana jepret sini dari mulai bahan, proses dan hasil memasak, lalu saya bagikan di grup WA untuk menghargai para fasilitator juga yang sudah menyiapkan kegiatan untuk anak-anak. Sekadar berbagi foto di malam minggu tentu bisa menghangatkan suasana di kala dingin semakin menyelimuti. Bu Wiwin atau fasilitator lain tidak ada yang kesal atau marah jika kami: anak dan orang tua tidak bisa hadir atau mengikuti kegiatan bersama lalu menundanya untuk dilakukan di kesempatan lain. Yang utama bukan WAJIB memasak stik tempe, melainkan BISA membuat cemilan sederhana sendiri, BISA berpikir alternatif daripada jajan makanan yang tidak sehat dari luar, BISA mendekatkan hubungan ortu-anak, BISA berkreasi sesuai imajinasi dan BISA melahirkan kemandirian dalam diri anak, melatih keterampilan tangan khususnya dalam penggunaan alat-alat, BISA menggunakan berbagai indera yang dimiliki untuk semakin peka, baik rasa di lidah maupun rasa di hati. Meskipun tampak sepele, kegiatan memasak cemilan atau makanan lain ini sungguh amat penting bagi perkembangan anak-anak.
Soal memasak ini masih ingin saya bicarakan. Ada perkembangan dalam diri Gara yang saya amati. Saya jadi ingat sejak usia 3 tahun, Gara sudah ingin memegang pisau dan memotong makanan sendiri, lalu saya ajak memotong pisang dengan pisau plastik kemudian melumuri pisang dengan kental manis. Bahkan kami membuat videonya kala itu. Gara memang bukan atau belum menjadi ahli memasak meskipun risetnya di kelas 1 dulu membuat bakwan jagung dan es dawet. Yang saya amati lebih pada kesungguhan sikap saat mempersiapkan sebuah hidangan, juga keinginan untuk bersenang-senang atau menyenangkan orang lain dengan cara memasak sendiri.
Pertama, kejadian suatu hari menjelang pertemuan sekolah minggu via zoom. Jam 3 sore hari itu seharusnya jadwal Gara ikut sekolah minggu, ada pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional yang seharusnya dilakukan via zoom 4 kali. Jam 3 kurang saya sudah mengingatkan Gara untuk bersiap-siap, nonton tv-nya berhenti dulu. Tapi Gara bilang sebentar sebentar. Ya sudah saya tinggal masuk ke kamar ngeloni adeknya, Dek Sangga, yang mau bobok. Ehh kebablasan lah saya. Setengah sadar sudah lebih dari jam 3 sore. Si anak lanang ternyata tidak membuka zoom, juga tidak minta tolong ayahnya. Ternyata dia….MASAK, minta tolong ayah menyalakan kompor.
Saya memilih membiarkan dulu saja mau apa anak ini. Jam 4an saya keluar dari kamar, Gara sudah menyiapkan 2 piring berisi nasi yang dicetak dengan mangkok. Di pinggirnya ada potongan timun dan tomat.
“Bu…ayo makan,” saya menggeleng karena sebenarnya tidak lapar. Lalu Gara bilang lagi, “Sini Bu, aku suapin kalau ga sempet makan,” karena saya sedang menggendong Sangga yang baru bangun tidur. Saya masih enggan sebetulnya tapi melihat kesungguhan anak ini, akhirnya luluh juga. Saya duduk dan disuapi Gara dengan lauk yang dimasaknya: telur dadar. Telur dicampur tepung beras ini memang keras, sepertinya kebanyakan tepungnya. Tapi saya makan sampai habis untuk menghargai usahanya. Sambil menyuapi saya, Gara berkata, ” Aku ga ikut sekolah minggu ya Bu. Masak buat ibu kan juga baik to”
Saya bertanya, “Kenapa ga mau ikut sekolah minggu?” Gara menjawab, “Ya mendingan masak aja. Soalnya aku juga sekalian nglatih otakku.”
“Haaa nglatih otak maksudnya gimana?” Tanya saya.
“Maksudnya kan aku nginget-nginget cara ibu masak. Pake ini pake itu terus langsung takcoba gini. Enak to? Mau nambah Bu?”
“Gak le, cukup segini aja, makasih ya. Kalo telur dadar biasanya ibu ga pake tepung. Pake tepung kan kalo bikin bakwan.”
“Ya gapapa Bu. Bu…..besok kalo ga sempet makan lagi, bilang aku aja nanti aku suapin ya Bu.” Kata Gara dan membuat saya terharu. Saya harus segera mencatatnya sebab ini juga pelajaran berharga buat.
Kedua, saat akan menginap di rumah kawannya, Varo. Gara menyiapkan keperluannya sendiri. Dia juga mengambil buku masak milik saya dan menunjukkan sesuatu yang ingin dibuatnya bersama Varo saat menginap, yaitu sushi berisi nori dan ikan tuna. Karena ikan tuna sulit didapat segera serta harganya lumayan mahal (jika dibandingkan tempe, heheee), maka Gara memutuskan untuk mengganti tuna dengan sosis saja. Baiklah saya setuju. Judulnya memang sedang ngirit. Gara mengajak saya berbelanja. Saya mengantarnya ke toko bahan-bahan di daerah Wirobrajan yang lumayan lengkap. Kami akan membeli nori lembaran. Saya kira nori lembaran itu ya murah lah 5ribuan, eh ternyata 1 wadah harganya di atas 30.000 Rupiah. Wahhh saya lalu meminta Gara bertanya pada mas penjaga toko, berapa harga nori merk A, merk B dan merk C, karena di situ barang-barangnya tidak diberi label harga. Biasanya Gara malas bertanya, karena tipikal anaknya tidak banyak bicara dengan orang asing. Antara malu dan wegah. Namun kali itu, Gara semangat bertanya sendiri. Setelah mempertimbangkan harga, kami putuskan pilih nori instan yang sudah bermicin dengan harga lebih terjangkau, hanya 12.000 Rupiah. Sesuai budget saja tidak memaksakan yang ideal. Saat perjalanan pulang dari toko, saya menyatakan pada Gara bahwa sikapnya hari itu sangat keren karena berani bertanya sendiri dan tidak marah-marah jika harus membeli nori yang tidak sesuai gambaran awal seperti di buku. Nah saat itu saya sadar, ternyata minat Gara pada masak-memasak ini lumayan ada, karena demi mewujudkan keinginan memasaknya, dia mau dan segera melakukan sesuatu yang diperlukan, yang biasanya sulit dilakukannya seperti soal bertanya tadi.
Tampaknya memang kegiatan-kegiatan Gara yang saya unggah di media sosial seperti pamer atau pameran ya. Tapi sebetulnya catatan-catatan yang saya buat bertujuan mulia. Selain saya bisa mengabadikan momen sekolah dan kebersamaan kami di rumah, saya juga berharap tulisan saya bermanfaat untuk orang lain, mungkin ingin melakukan kegiatan serupa atau malah terinspirasi melakukan hal lain, jelas bukan pamer. Apa lho yang mau dipamerkan, wong cuma kegiatan biasa dari anak biasa yang ditemani orang tua biasa, yang sekolah di sekolah biasa saja. Saya sering mendapat ajakan berkenalan dari sesama orang tua di luar kota, baik yang ingin tahu SALAM atau ingin bertanya-tanya seputar kegiatan saya bersama anak. Saya mendapat teman-teman baru. Saya kok ya jadi marketing dadakan sekalipun SALAM tidak membutuhkan marketing sekolah seperti sekolah lain pada umumnya. Buat saya, berbagi cerita itu tetap bermanfaat. Dan cerita masak-memasak kali ini pun saya yakin akan bermanfaat bagi teman-teman yang membacanya.
Oh ya ada dua buku yang ingin saya rekomendasikan kepada teman-teman kecil dan orang tua:
- Buku Seri Anak Memasak-Yuk Masak/ Buku Memasakku Bersama Teman-teman, karya Linda Carolina Brotodjojo, Terbitan Gramedia, tahun 2009. Isinya cukup mudah diikuti dan lengkap. Bahkan ada ide mengadakan Pesta Memasak di rumah. Ada panduan mulai dari persiapan, sebelum, saat dan setelah memasak. Menu yang ditawarkan pun tidak sulit seperti puding coklat tahu, pancakes, es loli dan mini piza. Teman-teman tak harus membeli untuk membacanya. Buku bisa diakses juga melalui aplikasi Ipusnas di ponsel. Saya pun mengaksesnya dari sana.
- Buku Seri Anak Memasak-Yuk Masak/ Buku Memasakku Bersama Ibu, karya Linda Carolina Brotodjojo, Terbitan Gramedia, tahun 2009. Kebetulan buku ini saya miliki dan sering dibaca oleh Gara. Isinya juga menu masakan yang sederhana untuk dipraktikkan anak dan orang tua. Saya suka buku ini karena penjelasannya yang lengkap. Bahkan ada halaman khusus berisi gambar perlengkapan di dapur dan nama-namanya. Lalu di setiap menu juga ada kode keamanan memasak. Ada lingkaran warna kuning, merah atau hijau. Kuning artinya cukup aman tidak memakai alat elektronik atau benda tajam, hijau artinya membutuhkan pisau dan membutuhkan dampingan ortu, merah artinya memakai alat elektronik atau benda panas sehingga sangat membutuhkan dampingan ortu. Buku ini pun tersedia di rumah.
Sebetulnya banyak sumber lain yang bisa digunakan, media youtube pun sering jadi pilihan kami dalam menentukan mau masak apa. Tapi tidak ada salahnya juga jika ingin membuat menu sendiri hasil kreasi anak dan orang tua.
Baiklah tulisan saya sudah mencapai ujungnya. Sebaiknya kita tidak menyepelekan kegiatan memasak bersama, sebab mungkin ada sesuatu yang tersembunyi dan menjadi kejutan suatu hari nanti. Siapa tahu koki-koki kecil yang sejak dini belajar memasak dengan cermat, kreatif dan sepenuh hati akan menjadi koki ternama atau setidaknya selalu terkenang di hati keluarga yang membesarkannya.
“Kegiatan memasak dapat membantu kalian menjadi lebih percaya diri, kreatif dan dapat melatih kemampuan motorik kalian.”
-Linda Carolina Brotodjojo-
Orang Tua Siswa SALAM
Leave a Reply