Selesai membaca buku “Sekolah Apa Ini” yang membuat saya semakin penasaran dan tertarik dengan konsep sekolah alternatif yang diusung Sanggar Anak Alam (SALAM). Saya pun tertarik membaca buku yang sebenarnya terbit sebelum buku “Sekolah Apa Ini”, judulnya “Sekolah Biasa Saja”. Jika buku “Sekolah Apa Ini” lebih banyak bercerita tentang detail teknis kegiatan belajar mengajar di SALAM, buku “Sekolah Biasa Saja” lebih banyak membahas tentang kondisi pendidikan di Indonesia dan konsep-konsep pendidikan yang akhirnya diadopsi oleh SALAM.
Buku “Sekolah Biasa Saja” ini sungguh membuat saya lebih membuka mata tentang pengertian pendidikan dan sekolah yang fundamental, serta semakin tertarik dengan sekolah alternatif. Yuk mari coba kita lihat sekilas apa sebenarnya isi buku karangan Toto Rahardjo ini.
Sekolah dan Pendidikan di Indonesia
Untuk bagian latar belakang, buku ini banyak memberikan informasi tentang definisi dan awal mula terbentuknya pendidikan dan sekolah serta perkembangan pendidikan di Indonesia.
Secara etimologi, sekolah berasal dari Bahasa Latin “schola”, yang artinya adalah waktu luang atau waktu senggang. Dalam Bahasa Inggris, kata ini dikembangkan menjadi kata “school”. Pada awalnya, sekolah dikembangkan dengan konsep kepengasuhan sampai usia tertentu, atau dikenal dengan istilah “scola matterna”. Konsep itu kemudian berkembang menjadi “scola in loco parentis”, lembaga pengasuhan anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua. Sekolah menjadi tempat bagi anak-anak untuk mengisi waktu senggang anak selama orang tuanya bekerja.
Sekolah adalah taman bagi anak-anak untuk bermain dan belajar. Konsep tersebut yang diterapkan SALAM dengan berpedoman kepada 3 guru dunia, yaitu Rabindranath Tagore yang mendirikan Ashram Shantineketan, Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa dengan konsep Tut Wuri Handayani yang mengadopsinya dari Maria Montessori yang berasal dari Italia, serta Julius Nyerere dari Tanzania yang berpandangan bahwa kebun garapan rakyat adalah sekolah bagi rakyat.
Di Indonesia sendiri, perkembangan pendidikan sebenarnya dimulai sejak Gubernur Hindia Belanda, Daendels, membangun sekolah karena melihat rakyat yang tidak bisa baca tulis. Sekolah pertama yang didirikan adalah sekolah ronggeng, dan selanjutnya disusul sekolah bidan. Sekolah bidan didirikan karena melihat tingginya kematian bayi di Batavia.
Berkaitan dengan sejarah tersebut, ada satu pernyataan menarik di buku ini. Jadi, siapakah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang sebenarnya? Penasaran? Baca sendiri biar lebih greget.
Selama perkembangannya, semakin ke sini konsep pendidikan semakin mengalami pergeseran. Sekolah seharusnya menjadi tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria”, belajar menjadi manusia berilmu, berasa bebas menjadi manusia yang diinginkan. Saat ini, sekolah menjadi sebuah tempat yang memaksa anak-anak untuk mengikuti sebuah kurikulum tertentu, yang pada sebagian orang menimbulkan kebencian dan kebosanan untuk belajar.
Sekolah mulai bersifat profit, layaknya perusahaan. Di kota besar, kita dengan mudah akan menjumpai sekolah-sekolah yang uang pangkalnya saja senilai gaji bulanan orang tuanya. Pendidikan seakan menjadi sebuah komoditas. Dengan kurikulum yang sudah ditetapkan, sekolah dibuat sebagai mesin pencetak manusia, layaknya mesin pencetak batu bata. Untuk menjadi manusia yang sukses, harus mendapat nilai yang bagus sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Sekolah menjadi tempat kompetisi saling mengunggulkan diri sendiri. Seorang bisa dianggap berprestasi jika dengan mudah mengalahkan orang lain.
Sekolah Alternatif, Sekolah Biasa Saja yang Sebenarnya Luar Biasa
Kegundahan sebagian orang terhadap pendidikan di Indonesia, mulai dari kapitalisasi pendidikan sampai sistem yang dirasa malah memberatkan, membuat banyak sekolah alternatif bermunculan. Selain, SALAM di Yogyakarta, ada Sekolah Alam Bengawan Solo di Klaten, Sekolah Qaryah Thayyibah di Salatiga, Sekolah Semai di Jepara dan mungkin masih lebih banyak lagi sekolah alternatif di luar sana.
Apa sebenarnya yang membedakan sekolah alternatif dengan sekolah pada umumnya? Sekolah alternatif mempunyai 4 karakter utama sebagai pembeda dengan sekolah umum.
Karakter pertama, sekolah alternatif menjalankan proses pendidikan dari sudut pandang yang lebih humanis. Sekolah alternatif tidak memaksakan sebuah kurikulum yang baku yang menyiksa anak-anak. Pembelajaran bukan untuk mengikuti kurikulum, tetapi pembelajaran dilakuakn untuk membangun anak sebagai manusia yang utuh.
Karakter kedua, sekolah alternatif berorientasi pada anak. Sekolah alternatif menghargai anak sebagai individu, bukan sekadar obyek. Anak adalah individu yang sedang bertumbuh dalam lingkup alaminya.
Karakter ketiga, sekolah alternatif menggunakan pendekatan holistik dalam proses pembelajaran. Topik yang dibahas akan tematik dalam kurun waktu tertentu, dan semua aktivitas yang dilakukan akan berkaitan dengan topik tersebut.
Karakter keempat, sekolah alternatif bukan sekolah otoriter dengan berbagai aturan mengikat, hubungan antar guru, siswa dan orang tua bersifat demokratis.
Nah, selanjutnya bagaimana sebenarnya penerapan konsep pembelajaran di sekolah alternatif? Yuk lanjut.
Belajar di Sekolah Alternatif
Proses belajar di sekolah alternatif tidak hanya dilakukan dengan sekadar menghafal. Proses menghafal hanya akan membuat siswa menjadi tahu tentang sebuah hal yang sebelumnya tidak mereka tahu. Proses belajar di sekolah alternatif mengedepankan cara berpikir, logika dan motorik. Tidak hanya sekadar dari tidak tahu menjadi tahu, proses belajar diharapkan bisa menemukan sesuatu yang sebelumnya belum ada menjadi ada. Proses belajar adalah proses berpikir untuk menemukan gagasan baru yang belum pernah ada. Dalam proses belajar, pengajar berhasil jika mampu mendorong dan mengajak siswa mengerti persoalan dan melampauinya dengan baik, bukan hanya sekadar membuat siswanya mendapatkan nilai 100.
SALAM, sebagai sebuah sekolah alternatif menggunakan panduan proses belajar dalam bentuk kerangka daur belajar. Daur belajar tersebut disusun dari pengalaman yang distrukturkan (structural experiences learning cycle). Layaknya sebuah siklus, proses belajar tersebut akan terus berulang, tanpa henti. Bukannya belajar memang tidak akan berhenti sampai kita terkubur di tanah.
Siklus tahapan belajar lain yang diadopsi oleh SALAM, sebagai sekolah alternatif adalah Experiential Learning Cycle yang dikembangkan oleh David Kolb, seorang filsuf dari Amerika Serikat. Kolb yang beraliran humanisme yang menekankan sisi perkembangan manusia, mengembangkan konsep tahapan belajar yang terdiri dari 4 tahapan belajar dan 4 gaya belajar manusia.
Tahapan dalam Experiental Learning Cycle ala Kolb antara lain :
- Tahapan pengalaman langsung (concrete experience)
- Tahapan pengalaman aktif dan reflektif (reflection observation)
- Tahapan konseptualisasi (abstract conceptualization)
- Tahapan eksperimentasi aktif (active experimentation)
Bagi Kolb, belajar adalah proses menyeluruh dengan setiap tahapan yang saling mendukung. Sangat mungkin memasuki siklus tersebut dari tahapan manapun dan mengikuti urutannya. Kolb juga mengklasifikasikan gaya belajar pada seseorang dalam 4 jenis gaya belajar. Mempelajari gaya belajar ini akan mempermudah guru/fasilitator dalam merancang aktivitas untuk siswanya.
- Converger, kombinasi berpikir dan berbuat (thinking and doing)
- Diverger, kombinasi merasa dan mengamati (feeling and watching)
- Assimilation, kombinasi berpikir dan mengamati (thinking and watching)
- Accomodator, kombinasi merasa dan bertindak (feeling and doing)
Riset sebagai Aktivitas Utama SALAM
Di SALAM, riset/penelitian bukan suatu yang terkesan mewah atau rumit. Sebagai peneliti, saya sendiri merasa bahwa orang-orang terlalu menganggap riset adalah hal yang rumit, padahal riset atau penelitian secara tidak sadar sudah kita lakukan sehari-hari dalam kehidupan kita. Stalking mantan atau gebetan dan mencari harga yang paling cocok di toko online juga merupakan penerapan riset, kan?
Dalam aktivitas belajar di SALAM, riset mulai dikenalkan sejak dini. Dengan melakukan riset, siswa diharapkan bisa lebih kritis terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar serta lebih kreatif dan inovatif terhadap sumber daya yang ada.
Penerapan riset di SALAM, seakan ingin menjawab fenomena kurangnya ekosistem riset yang memadai di Indonesia. Bagi saya yang peneliti, riset di Indonesia hanya dianggap sebagai produk akademik yang tidak banyak benar-benar diterapkan dalam kehidupan. SALAM ingin mencoba menjadikan riset sebagai sesuatu yang sederhana, mudah dipahami, dilakukan dan diterapkan dalam kehidupan dan lingkungan sekitar.
Buku ini juga memberikan banyak contoh tentang riset sederhana yang dilakukan oleh siswa SALAM. Riset di SALAM dimulai benar-benar dari lingkungan sekitar, seperti riset ke angkringan, ke pasar hewan sampai riset di lingkungan kebun mereka sendiri. Riset anak-anak SALAM juga berkaitan erat dengan kejadian-kejadian yang sering dialami siswa atau orang tua, seperti riset tentang perawatan rambut dan obat batuk herbal.
Membaca buku ini membuat pola pikir saya tentang sekolah dan pendidikan mulai bergeser. Pendidikan bukan hanya tentang peringkat, tetapi juga kepedulian terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Satu lagi, membaca buku ini membuat saya malu karena riset saya kalah keren dibandingkan hasil riset anak-anak SALAM.
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply