“Kenapa kamu nangis, Dy” “I feel lonely.” Sejujurnya percakapan singkat itu benar-benar mematahkan hati saya dari sekian hari saya dan Dydy bersekolah di rumah sejak pertengahan Maret tahun lalu. Beberapa waktu kemudian, hati saya makin patah melihatnya antusias melakukan chat dengan sesama gamer yang sedang online. Saya mencoba memperhatikan arah percakapan itu, mengingatkan bila ada ucapan yang kurang pantas dan Dydy mengulangi dengan mengatakan kepada teman chat-nya, “Mamiku bilang nggak boleh omong-omong kayak gitu. Kita ngomongin game-nya aja ya.”
Sedih yang sesungguhnya melihat anak-anak ini, yang seharusnya mereka berinteraksi tidak terbatas ruang, jarak dan waktu, yang mana usia mereka tugas perkembangannya adalah bermain dan berinteraksi secara nyata sebanyak-banyaknya.
Lain hari,
“Dy … nanti jam sekian ada zoom, ya!” Anak itu hanya mengiyakan, tetapi enggan mengikuti atau kabur di tengah-tengah sesi. Terhitung dari awal kelas satu sampai sekarang, mungkin keikutsertaan anak ini bisa dihitung jari. Sampai akhirnya saya hanya memberitahu tanpa memaksanya duduk manis di depan laptop untuk mengikuti.
Berbeda dengan kakaknya yang autistik “Jahit …. jahit ….”
Itu seruan Arsa menyampaikan keinginan menjahit kepada ayahnya. Ucapan itu bisa memberi dua vibes. Senang karena anak ini ingin berkegiatan, tetapi bisa jadi menyesakkan hati, karena seperti mengingatkan. Seharusnya pertengahan tahun 2020, ia memulai magang di sebuah rumah produksi. Namun, lagi-lagi … karena pandemi menjadi tak bisa. Pengurangan karyawan, rumah produksi juga tak banyak menerima pesanan.
Dydy dan Arsa adalah kedua putra saya yang bersekolah di Sanggar Anak Alam Yogyakarta. Sejak 2009, ketika itu Arsa berusia 6 tahun dan Dydy belum lahir, sebenarnya ada keinginan yang besar agar Arsa bisa belajar banyak hal di sekolah ini. Sayangnya kondisi mental dan finansial kami belum benar-benar siap, usai Arsa diperlakukan kurang baik di sekolah umum di kota lain.
Keinginan itu baru bisa terwujud tujuh tahun kemudian. Arsa masuk ke kelas 1 SMP dan adiknya Dydy masuk ke kelas Kelompok Bermain.
Sebenarnya tujuan kami memasukkan Arsa ke sekolah ini lebih karena inklusinya. Bukan hanya metode, kurikulum atau SDM, yang menurut saya bersifat teknis dan bisa dibuat, mampu diupayakan oleh sekolah mana pun yang ingin mengusung konsep inklusi. Namun adalah semangatnya, atau lebih tepat jiwa inklusinya.
Dengan jiwa ini, perbedaan, keunikan satu sama lain, mulai dari siswa hingga orang tuanya pun bukan menjadi bahan ghibah atau tertawaan. We’re different, we’re unique but everyone is OK.
Seperti Arsa, bahkan teman-teman adiknya yang masih balita pun diperkenalkan oleh semangat itu. Roh untuk menerima bahwa setiap individu berbeda, dan bukan hal yang muskil untuk bisa mengapresiasinya.
Lalu, apakah tidak terjadi perundungan, saling mengejek semacamnya? Tentu ada. Sebuah komunitas dengan interaksi yang saling silang satu sama lain, perselisihan tetap saja ada. Anak-anak yang saling bertengkar, antar orang tua yang saling berseteru, termasuk ketidaksetujuan di tengah proses pembelajaran.
Namun, baiknya dalam komunitas Sanggar Anak Alam ini, kita diberi pilihan untuk dewasa menyikapi. Mau seperti anak kecil yang terus berseteru atau belajar dewasa mencari jalan keluar permasalahan. Walau kenyataannya, beberapa orang memilih ‘keluar’ sebagai jalan ketidaksepakatan dengan komunitas ini.
Waktu berlalu seiring kedua anak saya bertumbuh. Si kecil Dydy mulai meninggalkan masa bermain dan belajar dengan cara menyikapi peristiwa. Melihat perubahan ulat menjadi kupu-kupu, mengamati mengapa air di selokan tidak mengalir seperti biasanya, menyaksikan dan mengalami peristiwa demi peristiwa sehari-hari, termasuk mengikuti semaraknya pesta panen, mencoba Sego Wiwit, belajar berjualan ala pasar kreasi Salam sendiri, menikmati alunan gamelan yang hanya dibunyikan saat Sekaten tiba, serta beramai-ramai menikmati naik transportasi kereta api Jogja – Solo.
Sang kakak, tak kalah serunya. Keseruannya dari kemah ke kemah, lalu juga mengikuti live in. Kesibukannya dengan proyek-proyek individual, pameran, ikut pertunjukan dan menampilkan berbagai karya yang dikerjakan di sekolah, termasuk menjadi aktor utama dari film dokumenter proyek beberapa mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah.
Melalui perjalanan mendampingi keduanya di Sanggar Anak Alam sebelum pandemi sesungguhnya memperkaya jiwa saya dan juga suami baik sebagai orang tua maupun sebagai guru sesuai dengan latar belakang profesi dan pendidikan sebelumnya.
Sekian tahun pandangan kami terbentuk oleh konsep pendidikan seperti orang tua umumnya, di mana kadang terlalu ikut campur dan kurang memercayai anak-anak. Di Salam, kami jadi belajar untuk menahan diri dan percaya untuk membiarkan (lebih tepatnya) memberi waktu untuk mereka belajar dengan caranya sendiri.
Ketika pandemi ini ‘memaksa’ aktivitas belajar kebanyakan di rumah, juga makin memberi warna pada jiwa saya dan suami. Bahwa ada hal-hal yang tetap bisa menjadi bahan pelajaran. Ada aspek-aspek yang tetap bisa memperkaya diri anak-anak. Dydy, misalnya entah berapa macam sayur yang kini bisa disantap olehnya, dibanding sebelumnya. Arsa pun beberapa kali mengerjakan proyek jahit pribadi, makin mahir menggunakan mesin jahit bahkan sempat ikut pameran karya difabel.
Akhirnya saya menarik kesimpulan. Dua puluh satu tahun usia Salam, dua belas tahun sudah mengisi benak lalu memperkaya jiwa kami; sejatinya adalah masa sebuah perjalanan dan proses yang sangat personal untuk dimaknai. Terutama ketika pandemi covid-19 ini yang tak juga kita ketahui kapan akan kembali normal lagi.
Bisa survive, mampu bersyukur dan sanggup memaknai apapun proses yang dilakukan sehari-hari sebagai bentuk BELAJAR, sehingga tidak melulu memarahi situasi serba terbatas ini, yang kita sendiri tidak tahu kapan berakhirnya.
Selamat Ulang Tahun SALAM
Tetaplah menjadi dirimu dengan jiwa merdeka, dan segala kebersahajaannya.
Ortu SALAM
Leave a Reply