Selentingan akan diadakannya Pertemuan Nasional “Anak Merdeka” sudah lama saya dengar di beberapa group Whastapp orang tua SALAM sejak dini bagian anak-anak Indonesia merasa gembira akan adanya ajang pertemuan tidak biasa ini.
Awalnya nama kegiatannya kalau tidak salah “Pertemuan Nasional Pendidikan Kritis”, lalu berubah menjadi Pertemuan Nasional Pendidikan Alternatif. Rasanya kadang aneh, tetapi pilihan kata ‘alternatif’ memang mewakili dua perasaan : makna baik dan juga sekaligus perasaan aneh. Tapi entahlah, karenaSALAM sebagai ‘host’ rasanya saya tak ingin tulisan ini menjadi polemik yang hanya mendatangkan energy negatif bagisekelilingsaya.
Tulisan ini sebisa mungkin adalah memberikan testimony bagaimana rasanya menjadi orang tua yang berada di rumah alternative pendidikan alias orang tua yang secara sadar menjadikan anak-anaknya dikirim belajar dengan keinginan dan harapan terbaik bagi sang anak dan membunuh segala ambisi dan keinginan keras orang tua. Apa makna gelaran besar pertemuan nasional pendidik ini? Apa pula yang perlu disiapkan menyongsong perubahan dramatis tentang makna sekolah di hari-hari yang akan datang. Jangansampai, anak-anak siap berubah sementara orang tua berusaha mengawetkan car ahidup, berfikir, dan bertindak seperti 150 tahun silam. Jikademikian yang terjadi maka sesungguhnya kita adalah orang tua yang paling konyol se-dunia.
Temu Nasional pendidikan kritis yang diselenggarakan di SanggarAnakAlam (SALAM) pada 21-23 Oktober 2016 adalah event yang sangat langka. Tidaks etiap tahun ada. Di sini kita akan saksiskan bahwa begitu banyak komunitas kreatif, tangguh, maju yang mengajarkan makna pendidikan melalui jalan sunyi dan berdaya tahan sebagai keunggulan Bangsa namun aksi-aksi tidak banyakdisorot media populer. Mereka takpernah lelah berproses memanusiakan manusia seutuhnya.
Dengandemikian, lembaga pendidikan sebagai harapan masih ada. Tetapi, barangkali juga harus diikuti resiko tak terbantahkan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan semakin surutdan mengalami bunuh diri masal.
Mengapa demikian? Kita lihat saja fakta-fakta paling dekat di sekitarkita. Model kendaraan otomotif berubah atau mengalami update sedemikian cepat, tekhnologi komunikasi, kreatifitas manusia, dan sebagainya. Apa yang terjadi dengan ruangan belajar ala sekolah? Sangat tepat, sekolah telah menjadi lembaga modern yang paling konservatif di tengah peradaban manusia yang terusbergerak. Ruang-ruangsempit, batas birokrasi, kualifikasi administrative telah menjadi proses yang jauh lebih penting ketimbang humanisasi di ruang belajar. Orang tua pun menjadi naif, magic atau bahkan sangat pragmatis. Agar anaknya bisa membaca orang tua membawanya ke dukun. Dukun yang tersertifikasi pun banyak menjelma menjadi lembaga bimbingan belajar ala mie instan. Anak-anak, menurut pengetahuan orang tuanya, perlu didisipilinkan dan dididik dengan keras dan terukur agar kelak mendapati pekerjaan yang layakdan sejahtera. Masa depan terbaik versi mereka harus dihitung dengan kemampuan mengeruk sumber penghasil uang.
Bagi saya, kesempatan bergabung di event ini adalah kesempatan terbaik bagi semua orang tua, pendidik, fasilitator untuk saling belajar, saling menguatkan, saling berbagi kisah dan makna demi kemajuan anak-anak didik dan manusia Indonesia. Karenanya, bersatunya ‘stakeholder pendidikanya itu fasilitator, anak didik, orang tua dan lingkungan ekologi masyarakat adalah sebuah keniscayaan dalam memaknai keberhasilan proses edukasi. Setiap orang secara bebas harus dapat memberikan makna atas proses pendidikandan tidak terjebak pada ukuran-ukuran sukses yang orang lain tentukan.
Keberhasilan pendidikan dapat disimpulkan, misalnya, anak-anak bahagia, antusias, dan menjadikan hidupnyaberguna. Misalnya, anak-anak yang peduli pada linkungan, pada sesama, suka berbagi atau dengan gembira membiasakan antri. Itu adalah definisi makna pendidikan yang barangkali sering dipinggirkan. Ada orang tua yang lebih galau kalau anaknya tak bisa sabar menunggu giliran (antri) dari pada anaknya tak bisa menyelesaikan soal-soal matematika darigurunya. Ada juga misalnya, makna pendidikan dilihat dari terbebasnya anak-anakdan fasilitator dari praktik kekerasan baik verbal maupun fisik. Praktik pendidikan yang terlalu result minded (kognitif) dapat mencampakan manusia dan lebih mengakrabkan anak dengan praktik kekerasan. Situasi ini pastilah mahamengerikan di dalam praktik pendidikan ala negara.
Suatu hari sayapernah mendapati cerita dari seorang ahli parenting di Kota Yogyakarta. Praktik kekerasan structural dalam dunia pendidikan memang sudah memungkinkan sebagai alas an dibubarkannya sekolah. Bayangkan, seorang anak harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara potensi buruk anak tersebut merusak rata-rata nilai baik di kelas karena dianggap tertinggal dalam berbagai mata pelajaran ujian nasional. Kebijakan kepala sekolah demikian dibenarkan oleh consensus pendidik tapi secara manusiawi, sangatlah merusak. Bagaimana perasaan keluarga si anakdidik, bagaimana hancurnya perasaan anak tersebut menjadi korban stigma bodoh dan pengucilan secara sosial, bagaimana rasa keadilan mendapati pendidikan? Bagaimana HAM dihancurleburkan di lembaga yang mengklaimmendidikotak? Semua itu benar-benar mengganggu jiwa saya yang tinggal di Kota pelajar yang konon menjunjung tinggi kebudayaan.
Dengan perasaan getir bercampur pahit, saya rasa harapan masih harus disinari sebisa mungkin. Harapan itu ada pada apa yang disebut pendidikan ‘alternatif’ yang akan mencoba menghadirkan kisah-kisah hebat para penyelenggaraan pendidikan kritis, kisah anak-anak yang tak seragam, kisah mendidik komunitas, kisah-kisah yang biasa tapi penuh makna, adalah sekian hal-hal baik yang kita rindukan. Semoga alternatif ini bukan sekadar praktik murahan seperti dukun pengganda uang jajan atau seperti jargon yang keren tapi miskin kenyataan.
Bagi saya, pendidikan alternative haruslah melahirkan manusia-manusia yang kakinya menginjak bumi, dan cipta karsa serta karyanya dipersembahkan untuk menjaga kehidupan manusia seutuhnya serta untuk keberlanjutan hidup yang damai dan tentram untuk semua orang. Karena itu hanya bisa dipenuhi oleh pendidikan berparadigma dan praksis kritis, maka sekolah-sekolah yang kontra atas harapan-harapan ini adalah sekolah-sekolah yang layak dibubarkan. Demikian, semoga menjadi renungan atas keputusan hidup yang sedang dan akan kita jalani.
Orang tua sekaligus murid SALAM. Penggiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Penggiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas.
Leave a Reply