Tak terasa sebentar lagi kita sampai kepada penghujung akhir tahun 2018. Di sepanjang tahun 2018 pun negeri kita masih banyak terjadi kasus-kasus intoleransi umat beragama. Mulai dari penyerangan terhadap ulama di beberapa daerah, kasus serangan teroris di Jogja dan Surabaya, serta baru-baru ini kasus perusakan ritual sedekah laut di Bantul dan Banyuwangi pada awal bulan November.
Pemerintah pun mengakui bahwa indeks kerukunan beragama semenjak tahun 2015 mengalami penurunan. Wiranto, Selaku Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengatakan bahwa pada tahun 2015 indeks kerukunan beragama mencapai 75,36 persen, sementara di tahun 2017 turun menjadi 72,2 persen (nasional.tempo.co). Tentu jika tidak segera ditangani, hal ini akan menjadi malapetaka bagi bangsa Indonesia.
Maraknya kasus intoleransi sebenarnya bermula dari ketidakmampuan umat beragama dalam memahami kepentingan dan pandangan umat beragama lainnya. Ketidakmampuan tersebut berasal dari minimnya interaksi antar umat beragama. Maka dari itu institusi pendidikan seharusnya menjadi wadah agar generasi muda antar umat beragama dapat berinteraksi dan berbagi pandangan satu sama lainnya.
Pendidikan yang mengarahkan siswa-siswi terbiasa berinteraksi dengan komunitas etnis yang berlatar belakang agama lain disebut dengan pendidikan inter-religius. Siswa-siswi yang terbiasa berinteraksi dengan umat lintas agama diharapkan akan dapat menumbuhkan sikap toleransi.
Toleransi adalah kemauan untuk mengorbankan sebagian haknya agar umat beragama lain dapat menjalankan hak-hak nya. Sayangnya model pendidikan seperti ini tidak diperhatikan dengan serius dan cenderung dianggap tabu oleh sekolah karena dikhawatirkan dapat merusak keimanan siswa-siswinya.
Model Pendidikan Agama di Indonesia
UU No. 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional menyebutkan bahwa :“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU tersebut, salah satu tujuan pendidikan nasional adalah menjadikan peserta didik sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan memperoleh pendidikan di bangku sekolah, diharapkan peserta didik dapat mengamalkan ajaran agama yang dianutnya secara baik dan benar, serta dapat menerapkan nilai dan norma dari agama yang diyakininya.
Kemudian setelah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, diharapkan mereka akan menjadi warga negara yang cerdas, berakhlak baik, mandiri, penuh tanggung jawab, serta demokratis (Yusuf, dan Sterkens 2015). Selanjutnya dalam pasal 12.1 poin a disebutkan bahwa tiap-tiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan yang dianutnya dan diajar oleh seorang pendidik yang seagama.
Di pasal 30.1 juga disebutkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan oleh Pemerintah atau kelompok masyarakat yang berasal dari pemeluk agamanya. Kedua pasal UU di atas mencerminkan bahwa pendidikan agama di Indonesia bersifat mono-religious yang artinya model ini membawa kepada konstruksi identitas agama yang berdasarkan tradisi agama sendiri (Yusuf, dan Sterkens 2015).
Dalam model ini, seorang peserta didik akan mendapatkan pemahaman agama yang mendalam serta identitas diri yang kuat. Selain mendapatkan pemahaman agama yang mendalam, peserta didik juga akan bertambah iman kepada agamanya dan merasa lebih terikat kepada komunitas yang spesifik (Yusuf, dan Sterkens 2015).
Model pendidikan agama di atas cenderung menekankan kepada internalisasi nilai-nilai dan norma-norma agama, namun mengesampingkan dialog antar agama dan critical thinking. Dalam negara republik yang demokratis, apalagi yang mengakui 6 agama seperti di Republik Indonesia, sudah sewajarnya dialog antar agama diterapkan. Dialog antar agama seharusnya bukan hanya ada di kalangan para cendekiawan tetapi juga merembet kepada masyarakat umum.
Pelajaran agama di sekolah-sekolah umum Indonesia kurang mengarahkan siswa-siswi untuk belajar berinteraksi dengan umat beragama lain. Ambil contoh pelajaran pendidikan agama Islam. Mata pelajaran tersebut hanya membahas tentang fiqih, hukum syariah, dan hafalan beberapa ayat Al-Quran. Murid pun hanya sekedar menghafal ayat tersebut tanpa bisa mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.
Ditakutkan kedepannya, generasi muda kurang dapat menerima perbedaan keyakinan dan pandangan umat beragama lain. Hal ini akan menjuru kepada tindakan anarkisme dan intoleran serta membawa kehancuran Bhinneka Tunggal Ika.
Internalisasi Nilai-nilai inter-religious ke dalam Pelajaran Sekolah
Indonesia merupakan negara yang populasi penduduknya didominasi oleh umat muslim, yakni 87,18 persen (BPS, 2010) . Maka dari itu tidak mengherankan jika kebanyakan siswa-siswi Indonesia beragama Islam. Terlebih lagi sekolah-sekolah swasta berbasis agama yang semakin banyak bermunculan seolah-olah membangun dinding pembatas bagi generasi muda untuk berinteraksi lintas agama.
Meskipun demikian bukan berarti siswa-siswi Indonesia tidak bisa belajar berinteraksi dengan umat beragama lain dan mengkritisi isu-isu intoleransi. Pada level struktur, pemerintah harus mau mengubah undang-undangnya agar dialog antar agama juga dilibatkan, namun sejatinya pendidikan inter-religius juga dapat diterapkan melalui pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran bahasa Inggris, atau pelajaran agama.
Caranya adalah dengan mengadakan latihan debat di kelas tentang suatu perkara keagamaan. Peran guru di sini adalah sebagai moderator yang memimpin jalannya debat, dan di akhir forum, guru memberikan bimbingan tentang bagaimana cara menyikapi isu yang menjadi tema debat secara bijak.
Contohnya isu tentang Ahmadiyah. Guru akan membagi dua kubu di dalam kelas, yakni kubu pro Ahmadiyah dan kubu kontra Ahmadiyah. Contoh lain adalah tentang ritual sedekah bumi, di mana terdapat kubu pro sedekah bumi dan kubu kontra sedekah bumi. Dengan demikian murid akan merasakan bagaimana rasanya berada di kelompok minoritas sehingga menambah pemahaman mereka tentang etnis lain yang memiliki perbedaan pandangan dan keyakinan.
Model pendidikan seperti kurang didukung oleh pihak sekolah karena ditakutkan akan merusak keimanan muridnya. Namun, penulis berargumen justru dengan memahami pandangan umat beragama etnis lain maka akan menambah keimanan sendiri. Hal ini karena seseorang akan memahami ajaran agamanya sendiri dengan perspektif yang lebih luas.
Tentu hal ini perlu dibimbing oleh guru yang berpengalaman dan bijak terhadap isu-isu yang dijadikan topik. Hal ini juga perlu diimbangi dengan latihan berpikir kritis dengan menyajikan diskusi-diskusi terkait topik yang diangkat. Maka dari itu pelatihan pendidikan inter-religius juga perlu diterapkan kepada guru-guru yang menjadi pembimbing dan pengarah agar tidak menjerumuskan murid-muridnya kepada tindakan intoleran. []
Salam Bhinneka Tunggal Ika!
https://geotimes.co.id/opini/saatnya-mengubah-model-pendidikan-agama-kita/
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply