Banyak cerita menarik dari pengalaman yang dijalani anak-anak SMA Sanggar Anak Alam (SALAM) di Delanggu, Klaten akhir pekan lalu. Selain direncanakan dalam kurun waktu yang cukup singkat, acara yang awal mulanya hanya akan menjadi kunjungan singkat (home visit) selama 1-2 hari, berubah menjadi acara live in yang lebih menantang.
Sebab musababnya sederhana, karena tuan rumah yang akan kita kunjungi adalah Mas Eksan Hartanto, kakak ipar salah satu anak kelas 11, Rere. Mas Eksan sehari-hari aktif sebagai penggerak di Sanggar Rojolele. Sanggar yang ia inisiasi bersama kawan-kawan muda di Dukuh Kaibon, Delanggu ini merupakan ruang kolektif yang menampung kreatifitas anak-anak muda di Dukuh Kaibon. Berbagai kegiatan belajar non formal, seperti latihan tari, workshop, hingga penyelenggaraan event budaya bertajuk ‘Mbok Sri Mulih’ adalah hasil gagas mereka.
Tidak heran jika rencana kunjungan ini ditanggapi dengan sangat serius oleh Mas Eksan dan kawan-kawan dari Sanggar Rojolele. Bahkan beberapa hari sebelum keberangkatan, Mas Eksan telah mengkomunikasikan tentang rangkaian acara yang akan kami jalani selama di Delanggu. Salah satunya adalah tentang tawaran bagi anak-anak SALAM memberi workshop untuk ibu-ibu dan anak-anak di Dukuh Kaibon. Anak-anak tampak antusias. Sebagai fasilitator yang baik sekaligus kurang piknik, saya pun juga antusias ingin segera nyengklak bis.
Namun ada sedikit kekhawatiran di benak saya ketika membaca susunan acara. Dalam rangkaian itu, tampak begitu banyak relasi sosial yang harus dijalin oleh anak-anak dengan warga sekitar. Mulai dari tempat tinggal yang berpencar, workshop yang harus diselenggarakan, hingga acara ramah tamah di penghujung acara. Maka di rapat koordinasi terakhir, saat kami memutuskan tentang workshop apa yang akan diberikan di sana, saya mengusulkan agar selama live in, anak-anak puasa gadget.
Usul yang lebih berupa tantangan ini ditanggapi positif. selama berada di Kaibon, kami sepakat untuk melepas gadget beserta fitur-fitur pendukung riset seperti kamera dan voice recorder. Gadget diserahkan ke fasilitator sepanjang hari hingga usai makan malam, dan dipakai seperlunya selepas jam 8 malam untuk mengirim kabar ke orangtua dan membalas pesan lain-lain. Jika terpaksa, gadget boleh dibawa tidur dan dikumpulkan kembali esok harinya.
Puasa Hari Pertama
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah keduabelas anggota rombongan tiba di Kaibon, seusai menempuh kurang lebih 2 jam perjalanan dengan bus dan 1 jam berjalan kaki, semua gadget berkumpul di satu kantong yang disimpan fasilitator. Petualangan dalam membangun ruang komunikasi dengan warga Dukuh Kaibon pun dimulai. Setelah kulonuwun dengan para sesepuh desa sembari makan siang bersama, anak-anak kelas 10-11 SMA SALAM berpencar menuju 5 rumah yang berbeda. Sementara saya dan Pak Candra masih di rumah Mas Muksin yang dijadikan posko.
Karena tak ada gadget, Happy dan Foni yang tinggal di seberang posko, kemudian mengajak saya berkeliling mencari rumah-rumah yang ditinggali anak-anak yang lain untuk memudahkan koordinasi. Saat itu sudah ada Bila, remaja yang sekaligus tuan rumah Happy, turut menemani. Sementara Pak Candra berbincang dengan Mas Warsito, salah satu pemuda penggerak Sanggar Rojolele, saya dan yang lain bermain game ‘sambung kata’ usulan Tata di pinggir sawah. Sementara Raykhan dan Rico, mulai menghilang. Rupanya mereka bergabung dengan remaja-remaja cowok di tempat lain.
Sore harinya, kami dundang untuk menyaksikan gladen (latihan tari), yang digelar di pelataran sanggar. Rere dan Happy tampak sibuk berkoordinasi untuk membuat game untuk dimainkan bersama anak-anak Kaibon yang akan dilangsungkan seusai gladen. Suasana makin riuh ketika Happy mulai memimpin game dan memberi intruksi untuk ketiga kelompok yang telah terbagi acak. Anak-anak dan remaja yang terlibat di permainan itu tampak sangat menikmati game ‘urutkan berdasar’ gagasan Happy. Permainan baru benar-benar usai beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang.
Malamnya, lagi-lagi karena tak ada alat komunikasi, anak-anak kembali berkumpul di posko. Setelah mengecek pesan, beberapa anak kembali mengumpulkan gadget ke dalam ‘kandang’. Happy dan Rere bahkan memutuskan untuk meneruskan puasa gadget hingga kegiatan di Dukuh Kaibon berakhir. Kali ini Raykhan dan Rico sudah tampak akrab dengan pemuda-pemuda yang malam itu memang sengaja berjaga malam di posko. Hingga saya berangkat tidur, mereka masih asik mengobrol. Sepertinya topiknya tentang horor-horor.
Puasa Hari Kedua
Keesokan harinya, sejak pagi anak-anak sudah berpencar untuk mencari narasumber tentang topik-topik yang akan mereka tulis. Saat berkeliling, saya melihat Happy sibuk membantu salah seorang warga memotong spon ati untuk dibuat dompet. Sementara Rere sedang mewawancara seorang pelaku usaha kerajinan di dapur rumahnya. Tata yang memilih tema ‘ramah tamah’ sebagai tema tulisan, saya usulkan untuk menulis lagu tentang Dukuh Kaibon. Sementara saya berkeliling, beberapa remaja Kaibon, diantaranya Shinta dan Lia, turut menyertai dan berperan sebagai tour guide.
Seusai makan siang, kami kembali berkumpul di posko untuk mempersiapkan alat, bahan dan sampel untuk workshop ecoprint yang akan digelar sore nanti. Namun tanpa gadget, waktu berlalu sangat lama. Berhubung ada gitar, saya mengusulkan pada anak-anak untuk mengisi spontanitas di acara ramah tamah dengan membawakan beberapa lagu. Saat anak-anak berlatih, hampir semua anak Kaibon berkumpul di posko untuk menyaksikan.
Tepat pukul 16.00 WIB, workshop ecoprint dimulai. Tak lama setelah Rere memberi arahan, mulai terdengar suara palu menumbuk kain dalam sebuah ritmis. Workhop yang diikuti 30-an anak dan remaja itu berlangsung seru dan penuh tanya jawab. Di kelompok remaja laki-laki saya bahkan melihat mereka mulai membuat ecoprint dengan bermain pola.
Sementara di dapur rumah Mas Muksin, terlihat ibu-ibu mulai berkumpul untuk memasak. Malam ini memang kami akan dua kali makan malam. Makan malam pertama di rumah masing-masing, sementara makan malam kedua akan digelar lebih larut di penghujung malam ramah tamah. Sepertinya sepulang dari Delanggu, saya harus menghindari timbangan selama beberapa hari.
Mas Eksan, selaku bos geng, malam itu berbincang sejenak dengan kami untuk berkoordinasi perihal kegiatan hari terakhir. Awalnya kami berencana untuk melakukan river tubing, namun karena pertimbangan cuaca, kami memutuskan untuk berenang saja di umbul. Awalnya kami memilih Umbul Ponggok sebagai tujuan. Namun karena pertimbangan lokasi yang akan cukup padat di hari libur, Mas Eksan mengusulkan Umbul Sigedang sebagai tempat tujuan berenang. “Selain itu, kalau ke Umbul Sigedang, ibu-ibu di sini pasti senang dan bisa turut serta karena retribusinya murah meriah,” imbuh Mas Eksan. Wah, bakalan seru nih besok.
Malamnya kami berkumpul kembali di pelataran Sanggar Rojolele. Saya terharu melihat banyaknya warga yang hadir. Selain bapak-bapak dan sesepuh desa, ada juga ibu-ibu PKK berseragam dan anak-anak yang beberapa di antaranya sudah bersiap dengan kain batik dan setagen untuk menari. Dengan layar putih yang tertancap di sudut pelataran untuk media pemutaran film, suasana malam itu terasa seperti suasana layar tancap yang pernah saya alami dulu sekali di rumah kawan bapak saya di Bekonang.
Malam ramah tamah berlangsung formal. Sambutan dari sesepuh desa, sambutan dari Pak Aji selaku fasilitator SALAM, dilanjut pentas seni oleh teman-teman dari Sanggar Rojolele dan SALAM. Malam itu Tata juga membawakan lagu ciptaannya, “Desa yang Indah” yang ia ciptakan beberapa jam sebelumnya. Sebelum berangkat, Kenar dan Rachel telah mempersiapkan sebuah kenang-kenangan berupa ilustrasi grafis bertuliskan “Sanggar Rojolele-Sanggar Anak Alam”. Malam itu kami saling bertukar kenang-kenangan dengan warga Dusun Kaibon. Sembari menyaksikan film dokumentasi tentang acara ‘Mbok Sri Mulih’, santap malam mulai diedarkan. Menu malam itu sungguh lezat, nasi hangat dengan lauk trancam dan ikan asin.
Puasa Hari Terakhir
Minggu, 17 Maret 2019 adalah hari terakhir dalam rangkaian acara live in kali ini. Namun tampaknya warga Dukuh Kaibon yang super ramah itu benar-benar belum ingin berpisah dengan kami. Dengan kereta kelinci milik warga setempat yang telah disediakan oleh kawan-kawan dari Sanggar Rojolele, kami berpiknik bersama menuju Umbul Sigedang. Saking banyaknya warga yang ingin turut serta, beberapa dari mereka, umumnya para remaja laki-laki, terpaksa mengeluarkan sepeda motor dari garasi karena kereta kelinci dua gerbong itu tak muat lagi. Hingga saat itu, belum ada yang menagih gadget untuk dikembalikan. Semua sibuk berbincang dan bersendau gurau.
Hingga acara piknik benar-benar usai, baru semua gadget dalam ‘kandang’ kembali ke pemiliknya. Dengan mengendarai kereta kelinci, kami diantar warga menuju Pasar Delanggu. Titik itu adalah titik terdekat yang bisa dicapai oleh kereta menuju tempat pemberhentian bis Solo-Jogja. Setelah itu semua turun untuk saling bersalaman dan berpamitan, sementara kereta kelinci berhenti di ujung sebuah gang. Meski sempat membuat sedikit kemacetan, bagaimanapun hal itu cukup mengharukan.
“Bu, aku tuh sekarang rasanya jadi pengen ngobrol terus tiap ketemu orang,” ujar Foni saat kami berada di bus Trans Jogja selepas turun dari bus antar kota. Saat itu kami sedang menguping pembicaraan 4 orang remaja SMP yang sedang duduk di depan kami. “Ternyata enak juga ya, puasa gadget beberapa hari,” lanjutnya.
Berbeda dengan Foni, Rico yang sehari-hari pendiam, sempat beropini saat kami nongkrong malam-malam di depan rumah Mas Muksin. “Enak ya pemuda-pemuda di sini, mau pada ngumpul. Aku baru kali ini lho ngumpul dengan pemuda di kampung,” ujarnya. Lha di rumah kamu nggak nongkrong po, Co? “Enggak. Pada sibuk sendiri-sendiri,” sahutnya.
“Ternyata enak, ya, live in-nya,” celetuk Raykhan di grup kelas beberapa hari seusai live in. Rupanya acara bagi-bagi foto dari kamera fasilitator membuat mereka susah move on dari keseruan live in.
Di bus antar kota dalam perjalanan menuju kembali ke Jogja, saya menguping dua ibu-ibu paruh baya yang duduk di sebelah saya. Dari obrolan mereka, saya yakin keduanya adalah orang asing bagi yang lain. Tapi saat itu, mereka sudah mencapai topik pembicaraan yang membahas tentang anak-anak mereka. Salah satunya kemudian membuka galeri di hp sambil berkata, “Lah, niki lho, Bu. Niki anak kulo.” Perbincangan mereka terus mengalir hingga kisah jual beli tanah dan sebagainya. Pembicaraan itu saya yakin tidak akan terjadi jika salah satu dari mereka, atau dua-duanya adalah anak muda.
Kemampuan sosial-emosional tiap orang memang berbeda. Pada beberapa orang, hal itu hadir alami secara genetikal. Saya selalu mengagumi kemampuan almarhum bapak saya yang bisa berbincang dengan mudah dengan siapapun, mulai bakul angkringan sampai dalang. Hanya dalam sebatang-dua batang rokok, ia bisa tahu berbagai informasi mulai di mana mereka tinggal, berapa anaknya, sampai bagaimana sistem bagi hasil sewa gerobak angkringan.
Namun semenjak saya menjadi fasilitator di SMA SALAM, saya menyadari, kemampuan itu tidak datang begitu saja. Perlu pengasahan insting, penajaman unggah-ungguh, dan penguatan mental, bahkan untuk sekedar menanyakan arah jalan saat kita tersesat. Bagi anak-anak generasi milenial, pengasahan kemampuan itu makin menantang dengan hadirnya teknologi. Selama ada paket data atau sinyal wifi, kita bisa mencapai sebuah tempat ter-embuh tanpa bertanya pada satu manusia pun di jalan.
Kegiatan live in kali ini, bagaimanapun juga menjadi sebuah media pembelajaran yang paling dekat dengan realita. Tanpa perlu teori psikologi sosial muluk-muluk, hanya dengan semudah puasa gadget, anak-anak belajar langsung tentang bagaimana menbangun ruang bicara-ruang dengar dengan sesamanya. Jadi, para orang tua, atau setengah tua, apakah Anda juga ingin melakukan hal yang sama? Mari kita mulai dengan sederhana: matikan gadget Anda, dan dongakkan kepala.[]
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply