Blog

Ritme Belajar (Tidak Biasa) Semester Ini

Buat yang terbiasa dengan ritme ‘sekolah formal’ yang ditandai dengan adanya hari masuk sekolah dan liburan, SALAM tentu terlihat aneh. Di waktu masuk sekolah, tidak jarang sebuah kelas hanya terisi setengahnya karena banyak yang memberi kabar bahwa mereka akan melakukan riset sendiri di rumah. Hari sekolah rasanya tidak berbeda jauh dengan hari libur. Sebagai gantinya, di semester ini, tepatnya sejak orang tua diajak untuk mencari sumber belajar di sekitar tempat tinggalnya, justru liburan-lah yang akhirnya ikut disulap menjadi waktu untuk belajar. Kalau kita mempercayai bahwa ‘Semua Orang Adalah Maha Guru’ yang artinya kita bisa belajar dari siapa saja, wajar bila belajar pun bisa kapan saja dan dimana saja, bukan?

Foto: dok. SALAM

Ritme lain ‘sekolah formal’ yang akan diganggu dengan mekanisme baru SALAM semester ini adalah ritme belajar satu semester yang mana anak selama 4-5 bulan akan diajak untuk menyerap informasi dan kemampuan, lalu diujikan di akhir semester dalam bentuk ujian tertulis maupun praktek. Dengan meminta jurnal riset ditulis dan dikumpulkan ketika ia menempuh suatu langkah pembelajaran, fokus pembelajaran bukan lagi soal ‘berhasil’ atau ‘gagal’ risetnya di akhir semester, namun kepada apa yang dipelajari setelah melalui setiap langkah yang ada. Proses evaluasi ada bukan di akhir semester, tapi di setiap ia melangkah di proses belajarnya. Produk yang gagal tidak sama dengan pembelajaran yang gagal.

Mungkin bingung membayangkannya bagi kita (orang dewasa) yang sudah terbiasa dengan ritme sekolah pada ‘umumnya’. Oleh karena itu, di bawah ini, akan dibahas mengenai alur belajar yang dibayangkan akan terjadi di semester ini.

Mengenali Lingkungan Sekitar

Yang sering di salah pahami, kegiatan mengumpulkan sumber belajar dianggap sebagai sebuah keharusan atau prasyarat untuk memulai proses belajar. Padahal, di tahap ini pun, sebenarnya proses ‘belajar’ sudah dimulai. Yang penting di proses ini bukanlah informasi yang disetorkan, melainkan proses pemilihan sumber belajar tersebut.

Proses yang dimaksud berhubungan dengan pencarian hal menarik di sekitar kita yang akan dijadikan topik pertanyaan melalui perubahan cara pandang. Jika sebelumnya referensinya hanya dari dalam, yaitu minat anak, sekarang mereka diajak untuk menjadi mencari hal menarik dari hal-hal yang di sekitarnya. Apakah itu artinya kita memaksakan dan berusaha mempengaruhi anak? Jawaban-nya ya, tentu ini usaha untuk mempengaruhi. Tapi apakah mempengaruhi itu merupakan hal yang salah? Namanya manusia, selama hidup kita itu selalu akan dipengaruhi. Bila bukan oleh orang dewasa, kita pun selalu terpengaruh oleh iklan, berbagai informasi dan tren, mau bentuknya sehalus apapun. Kegiatan mencari sumber belajar ini merupakan usaha ‘penyeimbang’ untuk mempengaruhi anak-anak agar tertarik dengan apa yang ada di sekitarnya.

Berhasil atau tidaknya praktik ini ditentukan di prosesnya, yaitu ketika berjalan-jalan mencari sumber belajar, orang tua perlu belajar untuk bernegosiasi dengan anak, bukannya memaksakan kehendak. Selain itu, anak-anak juga diajak untuk bernegosiasi dengan dirinya sendiri: apakah hal yang ia minati akhirnya dapat terhubung dan bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya? Harapannya, proses ini tidak dianggap selesai ketika sudah menentukan sumber belajar dan mengumpulkannya. Usaha untuk mengenali lingkungan sekitar dan posisi kita di tempat itu merupakan pertanyaan yang perlu terus menerus diolah.

Foto: dok.SALAM

Membuat rancangan riset & orientasi riset

Setelah menentukan tema belajar tersebut, anak beserta fasilitator kelasnya akan berdiskusi untuk menentukan pertanyaan awal dan rancangan risetnya masing-masing. Karena diskusi ini mungkin akan bersifat personal, fasilitator  akan memainkan peran ganda, yaitu sebagai mentor. Mentor ini yang bertanggung jawab untuk berproses dengan seorang anak dalam menjalankan risetnya. Di waktu ini, ia akan bekerja sama dengan anak yang dimentori untuk menghasilkan rancangan riset awal. Bila sebelum-sebelumnya proses ini akan berakhir di presentasi pra-riset di dalam jenjangnya sendiri (SD Kecil, SD Besar, SMP, atau SMA), kali ini rancangan riset tersebut akan diminta untuk dikumpulkan dengan mengisi jurnal digital yang nantinya bisa diakses oleh fasilitator jenjang lain maupun Pak Toto dan Bu Wahya.

Sebelum anak mulai melangkah untuk melakukan riset, ada satu tugas lagi yang perlu dikerjakan oleh mentor, yaitu merancang orientasi riset. Orientasi riset adalah rancangan fasilitator untuk membayangkan pertanyaan riset anak tersebut dapat berkembang sampai ke titik mana. Sebagai analogi, ketika merancang sebuah riset, seorang anak mungkin terpaku untuk menjawab satu pertanyaan yang ada di depannya. Ketika melakukan riset, ia akan fokus dalam berusaha untuk membuka pintu pengetahuan tersebut untuk mendapat pengetahuan baru. Mungkin, setelah pintu tersebut terbuka, anak akan menganggap risetnya ‘sudah selesai’. Padahal, mungkin saja banyak pintu-pintu lain yang ada di sebelah pintu pertama tersebut, namun luput dari perhatian anak yang fokus untuk menjawab pertanyaan yang ada di depannya. Peranan mentor-lah yang diharapkan mampu membayangkan pintu-pintu lain yang dapat ditunjukkan untuk mengembangkan riset tersebut. Sebagai contoh:

Orientasi ini perlu dipikirkan sejak awal agar riset yang dijalani anak akan terus berkembang, tidak sampai ‘macet’ karena kehabisan pertanyaan, topik atau pengembangan. Namun, pada praktiknya, bukannya orientasi tersebut perlu ‘dipaksakan’ untuk dijalani oleh anak-anak sampai tuntas. Mentor perlu menyesuaikan dengan perjalanan harian yang dialami untuk menentukan pintu mana yang mau ditunjukkan. Orientasi awal ini penting sebagai persiapan untuk mengantisipasi langkah-langkah yang akan dialami oleh anak-anak.

Umpan Balik & Tim Penggerak Diskusi

Baik rancangan riset awal maupun orientasi riset mentor ini nantinya akan diproses oleh Pak Toto Rahardjo dan dibantu oleh 12 orang tua yang telah bersedia untuk ikut menyusun dan mengantarkan feedback kepada mentor maupun orang tua anak yang melakukan riset. Bentuk umpan balik yang akan diberikan dapat berupa saran-saran tentang pintu orientasi yang lain, referensi yang dapat menjadi tambahan informasi, ataupun rekomendasi tentang kegiatan yang bisa dilakukan atau tempat yang bisa dikunjungi.

Umpan balik ini tidak akan hanya dikirim secara personal, namun akan dibawakan oleh 12 ‘kurir’ yang bertujuan agar umpan balik tersebut diproses melalui dialog dan diskusi. Berbeda apabila hanya dikirim lewat email atau pesan pribadi, mungkin sekali rekomendasi itu hanya terkubur atau sekadar lewat. Jangan kaget apabila di semester ini, akan ada ajakan untuk berkumpul dari beberapa orang tua yang tujuannya bukan untuk sekadar bercengkrama tentang hal-hal sehari-hari, tetapi justru membahas proses belajar di SALAM. Harapannya, mentor maupun orang tua juga akan ikut belajar mengenai proses belajar yang akan dilalui anak-anak, bukannya hanya terima hasil jadi. Harapannya, umpan balik ini tidak dianggap seperti ‘perintah’ atau ‘paksaan’, namun sebagai bahan bagi fasilitator dan orang tua untuk melakukan refleksi.

Proses pembahasan umpan balik ini akan terjadi setelah anak-anak menentukan tema dan mentor membuat orientasi, dan juga ketika riset masing-masing sudah berjalan. Ketika anak-anak melakukan risetnya secara mandiri, ketika terjadi suatu penemuan (maupun itu dianggap ‘gagal’), anak dan mentor akan diminta untuk melaporkannya dalam jurnal riset digital tersebut, agar dapat direspon. Setiap riset akan diberikan respon sendiri-sendiri tergantung langkah riset yang telah dijalani. Atau, apabila selama beberapa waktu tidak ada data yang masuk dari riset seorang anak, maka dapat dicurigai bahwa ada ‘kemacetan’ dalam proses riset anak tersebut. Di situasi itu, feedback pun dapat diberikan untuk mencoba mencari cara lain untuk mengatasi ‘kemacetan’ tersebut. Orang tua yang dimintai tolong kemudian akan mengkompilasi respon tersebut sebelum dibawakan untuk diskusi dengan mentor dan orang tua. Tentunya, perihal pelaksanaannya akan tergantung kesepakatan setiap pihak.

Adanya umpan balik yang berkala dan dihadirkan di setiap langkah riset anak juga merupakan usaha agar riset ini dilihat sebagai proses belajar, bukannya berorientasi pada ‘hasil’. Artinya, yang penting adalah anak-anak terus berproses dan merefleksikan pengalamannya selama melakukan riset. Sering mereka berproses selama risetnya lebih penting dibanding mengejar ‘keberhasilan’ menampilkan hal keren di akhir riset. TIdak apa-apa bila jurnalnya dipenuhi oleh kegagalan demi kegagalan. Lebih baik Pak Toto dan tim mendapat 10 jurnal berisi ‘kegagalan’ selama proses ini, dibanding hanya mendapat 2 jurnal meskipun di akhir semester ia ‘berhasil’ membuat sesuatu yang bisa dipamerkan. Jurnal yang banyak itu merupakan tanda dari banyaknya usaha dan kesempatan belajar yang diperoleh anak-anak, bukannya sesuatu yang perlu dianggap sebagai aib yang memalukan. Bahkan akan lebih baik bila di presentasi akhir yang ditunjukkan justru ‘kegagalan-kegagalan’ atau kekagetan yang terjadi dan momen penemuan apa yang mereka alami di saat itu, bukannya berlomba-lomba untuk sekadar memamerkan karya.

Apakah ada resiko bahwa mentor dan fasilitator akan mengejar-ngejar pengumpulan jurnal yang berujung pada memaksa anak? Disinilah mengapa diharapkan keterlibatan banyak pihak yang paham dari makna dari perubahan alur belajar ini. Bagaimana anak, mentor, orang tua, dan tim pembawa umpan balik berperan untuk saling memberi dukungan dan sama-sama belajar untuk memantik proses belajar semua pihak yang terlibat. Ketika ada satu pihak yang mulai ‘melenceng’ dari tujuan, misalnya dengan mengisi jurnal hanya sebagai formalitas agar tidak ‘ditegur’, diharapkan pihak lain yang akan saling mengingatkan tentang esensi dari proses pembelajaran ini.

Harapan

Ujung dari seluruh mekanisme ini adalah harapan agar pendidikan yang ada di SALAM bersifat kontekstual dan kritis. Kontekstual berarti belajar ‘dari dan untuk masyarakat sendiri’, karena pada akhirnya kita akan hidup di masyarakat nantinya. Sementara kritis yang dimaksud adalah perihal cara berpikir yang fokusnya bukan untuk sekadar mengulang apa yang sudah ada, melainkan terus mencari kenapa dan kenapa hingga terus merasa curiga sampai ke ujung serabut akarnya. Pada akhirnya (menurut saya) orang yang ‘berhasil’ bukan sekadar orang yang memiliki jabatan atau menemukan alat canggih yang menghasilkan banyak uang, melainkan mereka yang peka terhadap lingkungannya sendiri yang masih belum ideal dan terus berusaha untuk bermanfaat bagi ‘tempat’ ia berada. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *