Buku “Sekolah Biasa Saja” sebenarnya sudah lama masuk list antrian untuk dibeli. Seingat saya sejak buku ini di posting di akun Instagram Insistpress, 22 Juni 2020. Setelah melewati beberapa bulan di tengah pandemi, akhirnya buku Sekolah Biasa Saja mendarat dengan baik di Depok.
Dengan 195 halaman, dan beberapa kali interupsi oleh Hafshah dan Idris, akhirnya buku selesai saya baca. Bagian yang menarik dari buku ini adalah bagaimana penerapan konsep sekolah di Sanggar Anak Alam (SALAM), di Yogyakarta. Di SALAM, sekolahnya tanpa mata pelajaran, semuanya belajar dari riset. Tapi fungsi belajar disini berjalan dengan baik. Para murid paham dan para guru atau dalam buku ini disebut dengan Fasilitator pun bisa mengikuti sistem itu dengan baik.
Satu bahan riset nantinya akan dikembangan dan selanjutnya dikaitkan dengan beberapa mata pelajaran. Tentunya menarik, karena dengan satu riset, tidak hanya satu atau dua mata pelajaran yang bisa dipelajari. Bisa lebih dari tiga mata pelajaran kadang-kadang.
Di SALAM, peserta didik siswa menjadi pelaku (subject) utama, bukan sasaran perlakukan (object) dari proses belajar mengajar. Hal ini sejatinya berbanding lurus dengan konsep kesadaran dalam hal menerima sesuatu baru, yaitu seseorang bisa mengerti atau paham sesuatu baru jika melakukannya secara langsung atau mengalami sendiri proses itu. Persentasenya cukup tinggi, 90%. Jadi 90% kesadaran manusia dihasilkan melalui dengan melakukannya secara langsung atau mengalami sendiri proses itu.
Buku ini juga menyinggung bagaimana praktik pendidikan di Indonesia. Dimulai dari zaman Hindia Belanda, berlanjut dengan saudara tua sampai Republik ini mengalami reformasi setelah melewati orde lama dan orde baru. Entah sudah berapa kali berganti kurikulum, saya sendiri belajar dengan dua kurikulum yang berbeda. Setiap berganti kurikulum, otomatis berganti pula buku yang akan digunakan, yang harganya tentu cukup memberatkan bagi yang mereka yang nun jauh disana.
Pendidikan di tengah-tengah pohon kayu disamakan dengan di tengah-tengah pohon beton. Padahal, sudah seharusnya dibedakan. Fasilitasnya sudah jelas berbeda, apalagi kalau kita bicara sarana pendukung lainnya. Tentunya sangat menyedihkan. Lalu, perubahan kebijakan pendidikan, contoh kurikulum tadi sangat dipengaruhi oleh selera latar belakang pendidikan para menteri. Jadi setiap kali pergantian menteri, selalu diikuti dengan pergantian ukuran-ukuran baku. Dimana pada akhirnya sekolah dijadikan sebagai uji percobaan.
Pada akhirnya, buku ini sangat cocok untuk para tenaga pendidik yang ingin menerapkan konsep belajar, sebagaimana proses di SALAM, di tempat mereka. Tidak harus sama persis memang, namun ada poin-poin yang bisa dipergunakan. Lalu tentunya bagi para orang tua, yang sedang mencari bagaimana mencari sekolah yang nantinya cocok buat anak-anak, jawabannya ada di buku ini. Sekali lagi, sekolah tentunya tidak hanya di SALAM, cuma kita bisa mendapat sesuatu yang baru, bagaimana seharusnya seorang anak diperlakukan di dalam proses belajar mengajar. []
Sumber : https://ajobudi.wordpress.com/2020/10/19/reviewbuku-sekolah-biasa-saja/
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply