Menarik kita simak keluh kesah seorang pramuka tulen Dr Wahyu T Setyobudi (Vice Dean of PPM School Management, Alumni Gugus Depan 06005 Institut Teknologi Bandung). Kita bisa petik pelajaran—sedangka di SALAM, Pramuka yang sejarahnya terkait dengan Kepanduan memang kita jadikan ajang untuk belajar berorganisasi—selain juga untuk membangun kemandirian siswa yang hendak memasuki usia remaja—seperti pengertian awal gerakan Kepanduan yakni sebuah gerakan pembinaan pemuda yang memiliki. Gerakan kepanduan terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan, baik untuk pria maupun wanita, yang bertujuan untuk melatih fisik, mental dan spiritual para pesertanya dan mendorong mereka untuk melakukan kegiatan positif di masyarakat. Tujuan ini dicapai melalui program latihan dan pendidikan non-formal kepramukaan yang mengutamakan aktivitas praktis di masyarakat. ****
DI masa kecil saya, Jumat sore adalah saat yang paling saya tunggu-tunggu, saatnya berlatih Pramuka. Imajinasi khas kanak-kanak mengamplifikasi kegembiraan saya atas pelatihan Pramuka yang dalam benak saya waktu itu sangat keren atau dengan menyitir bahasa gaul masa kini, pecah abis! Semuanya keren.
Baju cokelat dihiasi simbol-simbol gagah menempel di sana-sini. Bendera-bendera regu ditopang formasi tongkat berkibaran memenuhi lapangan, menari senada angin ritmis di bawah cahaya matahari sore. Sungguh pengalaman tak terlupakan yang membekas dalam hingga masa dewasa saya.
Keluarga kami dapat dikatakan keluarga Pramuka. Ibu, dua kakak saya, dan saya sendiri adalah aktivis Pramuka mulai Siaga hingga Pandega dan Pembina. Di kota kami dahulu, aktivis Pramuka yang berhasil dihormati bak pahlawan lokal. Keberhasilan sebagai Pramuka dianggap sebagai proyeksi keberhasilan dalam studi dan karier masa depan.
Lain dahulu, lain pula sekarang. Layaknya orang tua yang ingin pengalaman berkesannya juga dirasakan oleh anak, tampaknya saya tidak boleh berharap terlalu tinggi. Setiap hari Rabu anak saya berpakaian Pramuka. Namun pakaian itu baginya hanya sebatas seragam saja, tidaklah berjiwa.
Baju cokelat itu tidak lebih dari baju-baju lain seperti Senin baju putih, Selasa-Kamis batik, dan Jumat baju bebas. Dalam kesempatan bincang sehari-hari, saya sering menggali-gali seberapa tertariknya ia pada Pramuka. Kembali hati saya menangis karena robotic, science class, futsal, dan berbagai aktivitas luar lainnya ternyata jauh lebih diminati daripada Pramuka.
Harus diakui bahwa Pramuka tidak lagi populer seperti dahulu. Gaungnya samar ditelan riuh rendah euforia sosial dalam menyambut era teknologi yang genit menggoda. Sementara itu organisasi sentral yang diberi amanah untuk mengelola gerakan kepanduan tampaknya belum percaya diri untuk tampil memberi arah yang jelas bagi masa depan gerakan kepanduan nasional. Jadi, quo vadis gerakan kepanduan Indonesia?
Lima puluh enam tahun lalu Gerakan Pramuka dicanangkan sebagai peleburan dari seluruh gerakan kepanduan yang ada pada waktu itu. Perjalanan waktu telah menjadi saksi pasang-surut gerakan ini dan kita memberikan penghargaan yang tinggi bahwa gerakan besar nasional ini telah bertahan melewati berbagai badai zaman.
Walaupun mengadaptasi konsep scouting for boys dari Baden Powell (1876-1910), Pramuka mampu menambahkan kekhasan pendidikan nasional melalui sistem among, in ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, berbasis Pancasila.
Tuntutan untuk melakukan pembenahan mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 yang diharapkan dapat merevitalisasi gerakan Pramuka. Tujuh tahun berlalu tampaknya gagasan revitalisasi tersebut masuk angin.
Hingga saat ini masyarakat Indonesia secara umum dan insan kepanduan secara khusus belum melihat adanya strategi jangka panjang yang jelas mengkristal dan memberi arah bagi gerakan kepanduan nasional. Hal ini tentu penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat koheren membentuk bangunan kuat bagi kiprah Pramuka sebagai pembentuk karakter bangsa di masa depan.
Ambillah sebagai contoh kebijakan standardisasi Gugus Depan. Apakah akan efektif dalam menggerakkan minat berpramuka? Tentu ada pro-kontra. Meningkatnya peran Kwartir menjadikannya seakan-akan tokoh sentral dalam skenario kepanduan nasional. Padahal sejak awal Pramuka dicanangkan sebagai sebuah gerakan yang artinya partisipasi aktif haruslah di tangan masyarakat.
Standardisasi menutup berbagai kemungkinan pengembangan kreatif inovatif yang muncul bottom-up, menggantikannya dengan mesin organisasi yang berorientasi manajemen mekanistis. Pada satu sisi generasi milenial muncul dengan karakter hardwired dasar ”tidak mau diatur”, pada sisi lain arah pengembangan kepramukaan justru dipaksa menuju keseragaman. Tentu walaupun secara kasatmata menggunakan teknologi canggih dan konsep online, secara substansial ini merupakan langkah mundur.
Dalam tulisan ini saya tak hendak menginventarisasi berbagai masalah yang ada, tetapi ingin membangun kesadaran pentingnya insan kepanduan kembali menyalakan api kepedulian. Gerakan kepanduan Asia-Pasifik telah mencanangkan pertumbuhan anggota kepanduan sebesar 38,9% hingga tahun 2023. [Koran Sindo Senin, 14 Agustus 2017]
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply