salamyogyakarta.com tertarik menurunkan tulisan Eresia, “Perempuan Itu Musik” untuk menyambut dua perhelatan: Hari Perempuan Internasional dan Hari Musik Nasional, yang sama-sama pada tanggal 9 Maret 2018.
Judul di atas bukanlah ambiguitas. Perempuan adalah musik, dari segi apapun. Tulisan ini mudah-mudahan sejalan dengan dua hari peringatan yang masing-masing cukup penting bagi peminatnya: 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional, dan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional.
Kalau soal pemaknaan, dua hari ini tentu berbeda, terutama yang terjadi di tahun ini. Lihat betapa ramainya perayaan Hari Perempuan Internasional yang sebelumnya diawali gerakan-orasi beberapa hari silam di pusat kota Jakarta dengan nama Women’s March Jakarta. Baik perempuan dan laki-laki berkumpul menyuarakan suara batinnya: hak-hak perempuan yang seringkali tercoreng akibat ketidakadilan sistem dengan narasi patriarki. Di sosial media, ramai diwarnai dengan posting gambar kupu-kupu , simbolisasi dari sebuah kesadaran bersama tentang perlunya menghentikan pelecehan seksual pada perempuan.
Hari Musik Nasional punya agenda yang berbeda. Tak ada pesan-suara marjinal yang hendak dikumandangkan. Netizen paling banyak meramaikan dengan postingan mereka saat bermusik dengan tagline berbau dukungan kepada musik lokal dan semacamnya. Dimensi kemanusiaannya jelas tak bisa dibandingkan dengan Hari Perempuan Internasional. Tapi bagaimanapun itu, keduanya adalah seremonia atas masing-masing nilai yang hendak dipikul.
Polimerisasi antara perempuan dan musik merupakan sebuah wacana yang barangkali jarang disadari tapi sesungguhnya sudah menjadi realitas yang sublim. Musik tak akan pernah bisa melarikan diri dari keberadaan perempuan.
Kalau bicara dalam perspektif sejarah tentu sulit melihat posisi perempuan dalam histriositas jagad kesenian ini. Sebutlah komposer musik-musik era klasik di Eropa, mayoritas komponisnya adalah laki-laki. Tapi toh fenomena ini juga kronis di bidang-bidang lain. Karena seperti yang kita ketahui, baru ketika gerakan feminisme barat muncul yang menjadi awal pergeseran dominasi lelaki.
Perlahan, memasuki abad 20, perempuan mulai muncul dalam dunia musik, nama-nama seperti Billie Holliday, Ella Fitzgerald, Dorothy Fields, Abbey Lincoln, Janis Joplin tercatat dalam sejarah musik abad ke-20. Atau menjelang pergantian milenia, pop star bermunculan: Madonna, Britney Spears, Jennifer Lopez, Spice Girls, Celine Dion, Mariah Carey, Whitney Houston, dan masih banyak lagi.
Dunia musik perlahan menjadi dunia yang tak lagi asing bagi perempuan. Laki-laki tak lagi jadi pusat alam semesta dalam jagad musik. Tapi lagi-lagi pertanyaan kritis dapat dimunculkan: benarkah musisi perempuan sungguh diakui eksistensinya berkat bakat dan keseriusan mereka, atau jangan-jangan karena eksploitasi kecantikan dan kemolekan, atau ada hal lain?
*
Tak ubahnya seperti tren musik populer di Eropa, musik Indonesia pun kebanjiran talenta-talenta dari banyak perempuan. Seiring zaman muncul nama-nama seperti Titiek Puspa, Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Krisdayanti, Agnes Monica, Joy Tobing, Andien, Raissa, Eva Celia dan musisi lainnya.
Jadi jelas, perihal kontribusi perempuan dalam dunia musik Indonesia dan internasional adalah sebuah kemutlakan, bukan imaji. Tapi pertanyaan saya masih sama seperti sebelumnya: apakah perempuan dihargai karena murni bakatnya, atau karena hal lain?
Saya cukup terkejut ketika beberapa waktu lalu, seorang perempuan diundang ke acara televisi hanya karena ia piawai memainkan lagu-lagu metal di gitar elektriknya. Lebih lagi, ia mengenakan jilbab. Kalau harus jujur, permainan gitarnya tak istimewa; yang saya maksud, semua gitaris metal memang wajar bermain seperti itu. Adakah wacana eksotisme pada diri perempuan yang bermusik membuatnya nampak menjual untuk dieksploitasi dalam acara televisi?
Sungguh, pada tahap ini saya masih melihat betapa dunia musik masih menjadi dunia lelaki, dan ketika ada perempuan masuk ke dunia itu, ia akan dianggap luar biasa. Beberapa tahun lalu ada sosok Prisa–seorang gitaris perempuan muda–berhasil mencuri perhatian manakala menjadi gitaris band metal Deadsquad dan sering memainkan lagu-lagu rock di Youtube. Atau ketika ada band yang seluruh personilnya perempuan, seperti Band SHE. Saya seperti merasakan ambivalensi moralitas atas hal ini. Pertama merasa kecewa karena dekade 80-an dan 90-an yang dipenuhi musisi perempuan ternyata tak mengubah persepsi atas kapabilitas perempuan untuk bermusik. Kedua, merasakan bahwa dunia musik begitu luas, perempuan hanya berhasil menyelaraskan diri dalam kategori penyanyi; sementara di kategori lain seperti pemain instrumen musik-band dan bidang teknis musik lainnya, perempuan masih terasing.
Tapi terkait masalah instrumen musik pun, di banyak chamber orkestra dan ensambel, pemain instrumen banyak diisi oleh perempuan; namun tak menimbulkan kehebohan, dianggap biasa saja. Ataukah jangan-jangan segregasi malah berasal dari dunia musik itu sendiri. Antara musik orkestra-klasik versus industri musik-band. Tapi saya tak akan membicarakan dua hal ini lebih lanjut.
Adakah masa depan yang cerah untuk perempuan dan musik? Seharusnya ada. Mengingat sebagai sebuah proses belajar, bermusik tak lagi memiliki sekat gender. Baik itu menjadi teknisi musik, pencipta lagu, musisi, instrumentalis, manajer, produser. Pendidikan musik formal dan non formal membebaskan siapapun untuk berparitispasi. Satu-satunya penghalang adalah stereotip atas musik yang dilegitimasi sejarah. [Menjadi penyanyi perempuan adalah tempat terbaik bagi perempuan di dunia musik.]
Tapi beruntungnya stereotip ini tak begitu laku di jagad musik non-mainstream. Banda Neira, Marco Marche, Scaller, Endah’n Resa, HEALS, dan beberapa band lainnya, menempatkan perempuan tak cuma sebagai penyanyi, tapi juga pengisi instrumen musik; dan situasi ini tak menimbulkan kegaduhan seperti pada produk industri musik mainstream.
*
Sebagai bonus, saya lampirkan lirik lagu dari band Naif yang berjudul “Lagu Wanita” sebagai bahan refleksi untuk ditafsirkan secara kritis (meskipun bagi beberapa pihak, penggunaan kata perempuan lebih tepat dibanding wanita secara maknawi; tapi mari simpan perdebatan itu untuk lain hari)
Selama ada wanita
Hidup kan terasa indah
Jikalau tiada wanita
Hidup kan terasa hampa
Ku lahir dari wanita
Tak bisa hidup tanpanya
Jikalau tiada wanita
Cintaku untuk siapa
Tiada lelah ku berucap
Terima kasih Tuhan
Engkau ciptakan wanita
tuk jadi pasangan jiwa
Oh… wanita…
(Eresia)
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply