Sejak masa pemerintahan Orde Baru, penderitaan yang menimpa rakyat Indonesia telah menjadi sebuah kenyataan tak terelakkan, dan ironisnya, tampaknya menjadi takdir sosial yang abadi. Pada awalnya, negeri ini diperebutkan dengan semangat oleh sekelompok kecil intelektual yang dengan tulus berdiri bersama rakyat, merasakan dengan langsung beban derita yang mereka tanggung. Intelektual ini bisa dianggap sebagai kekuatan nurani rakyat, memadukan pendidikan dan posisi sosial mereka untuk memahami dan merasakan lapisan-lapisan penderitaan yang terjadi. Mereka bukanlah orang-orang yang menutup mata terhadap realitas sosial yang miring, tetapi dengan tekad yang mantap, mereka terjun ke medan perjuangan dengan memimpin langsung.
Namun, sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan intelektual-intelektual ini berjajar dalam barisan yang lebih panjang, meskipun dengan peran yang berbeda. Mereka tidak jarang memberikan dukungan fanatik kepada rezim imperialis modal, dengan tindakan ini, tampaknya mereka telah terlambat dalam memetik pelajaran berharga dari sejarah dan bahkan mungkin berupaya menghindari pengalaman derita yang dirasakan oleh rakyat.
Artikel ini menjadi sebuah panggilan untuk merefleksikan kembali peran penting cendekiawan di tengah masyarakat yang merasa terpinggirkan. Ini juga menegaskan kembali tanggung jawab suci yang melekat pada para intelektual, yaitu melindungi dan mempertahankan martabat rakyat dari ancaman kolonialisme modal.
Peran intelektual dalam dinamika sosial tidak boleh diabaikan. Mereka memiliki kemampuan untuk menganalisis, mengkritisi, dan mengartikulasikan ketidakadilan yang ada di masyarakat. Ketika intelektual memilih untuk mengabaikan peran ini dan justru mendukung rezim yang merugikan rakyat, maka mereka mungkin telah kehilangan akar nurani yang pernah mereka wakili.
Kita harus selalu mengingatkan diri kita sendiri akan mandat yang diemban oleh para intelektual. Mereka harus tetap menjadi suara kritis yang mendorong perubahan positif. Mengabaikan tanggung jawab ini hanya akan menghasilkan lebih banyak penderitaan bagi rakyat dan lebih banyak keuntungan bagi mereka yang memegang kendali ekonomi dan politik.
Dalam menghadapi tantangan zaman, intelektual harus belajar dari sejarah dan tetap teguh pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Mereka memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan yang berarti, tetapi hanya jika mereka tetap setia pada perjuangan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penindasan ekonomi dan politik. Dalam perjalanan ini, warisan nilai-nilai dan tugas suci seorang intelektual harus dijaga dan diperjuangkan demi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. []
pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply