Seorang anak bergegas turun dari boncengan sepeda motor yang dikendarai ibunya. Sudah pukul tujuh lebih lima menit. Beberapa detik lagi gerbang sekolah segera ditutup oleh satpam. Jika tidak bergegas, catatan karena datang terlambat akan segera menghiasi absensinya.
Hal macam ini terdengar biasa. Pagar tinggi, gerbang yang terkunci dan satpam menjadi hal yang akrab sebagai bagian dari sekolah. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Tapi, jika berkilas pada sejarah sekolah rintisan, perihal pagar, gerbang dan satpam adalah sebuah komedi.
Limapuluhan tahun yang lalu, bapak saya bersekolah di bawah pohon beringin dengan hanya berbekal sabak dan batu kapur. Sekarang, limapuluhan tahun kemudian, hal tersebut juga masih dapat kita temui di pelosok Indonesia. Tidak ada pagar, gerbang, apalagi satpam. Yang ada hanya sebuah keingintahuan yang kuat dari seorang anak, dan hasrat mengajar yang hebat dari seorang guru.
Maka, apabila sekolah menjadi salah satu tempat untuk menuntut ilmu, apakah seharusnya benteng tinggi itu dibangun? Apalagi jika buahnya hanya sekadar ‘absensi’. Karena seorang anak yang haus akan ilmu pengetahuan, pasti akan hadir dalam pembelajaran. Ketidakhadiran dan keterlambatan adalah buah dari pembelajaran yang tidak menarik minat anak. Dan, jika setiap anak adalah insan yang haus akan pengetahuan, tidak seharusnya mereka dipagari tinggi dalam jeruji penjara pendidikan.
Sangat berbeda dengan suasana di SALAM (Sanggar Anak Alam), anak-anak bingung berujung sedih bila sekolah libur — sehari-hari hal biasa kita menyaksikan adegan orang tua yang menjemput ke sekolah, merayu anaknya karena tidak mau pulang — masih ingin berlama-lama di sekolah.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply