Berikut adalah catatan diskusi yang disarikan oleh Maria Grasiella tentang pendidikan alternatif yang dilangsungkan pada Kamis, 26 November 2020. Diskusi dilangsungkan dalam kelas Pedagogi Kritis di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Catatan diskusi ini dikerjakan oleh Maria Grasiella, dengan melakukan sejumlah penyuntingan agar lebih mudah terpahami lewat media teks. Sebagai pemantik diskusi, kami mengundang Toto Rahardjo, seorang (tokoh) praktisi pendidikan, penulis, sekaligus pendiri sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) yang berlokasi di Nitiprayan, Yogyakarta. Pak Toto mengusulkan agar diskusi dimulai dengan pertanyaan dari peserta yang berjumlah sekitar 40 orang. Diskusi berdurasi satu setengah jam ini dimoderasi oleh Gustomo Wahyu Nugroho lewat menyajikan pertanyaan santai yang membuat obrolan makin serius.
Gustomo Wahyu Nugroho: Kami tertarik untuk mendengarkan kisah Pak Toto, sebetulnya dari mana sih asal-mula gagasan mendirikan SALAM?
Toto Rahardjo: Kalau Anda sudah mendalami pemikiran-pemikiran Paulo Freire (pemikir dan praktisi pendidikan asal Brazil-red) mengenai pendidikan yang membebaskan, hal utama dari pengetahuan bukanlah hal yang diperoleh dari mendengarkan ceramah (guru-dosen) atau mungkin menghafalkan tulisan (buku). Pengaruh pengalaman masing-masing orang adalah yang paling utama. Termasuk saya, seandainya saya menjadi orang yang rajin sekolah, mungkin (saya) tidak akan mendirikan SALAM dan nyaman hidup dalam ruang itu (sekolah pada umumnya-red). Pengalaman saya yang drop out dan tidak betah sekolah justru mengantarkan saya ke Sanggar Anak Alam. Saya kira membangun SALAM bukan semata-mata karena saya memiliki ilmu tetapi karena ada peristiwa tertentu yang mengantarkan saya ke situ. Background-nya seperti itulah.
Gustomo Wahyu Nugroho: Menurut Pak Toto, kenapa mendirikan model pendidikan seperti SALAM dirasa penting?
Toto Rahardjo: Saya rasa bila Anda mendalami pendidikan populer (popular education atau pendidikan kerakyatan-red), kesadaran yang dirumuskan (oleh) Freire ada 3 macam, yakni kesadaran magis, naif, dan kritis. Kesadaran tidak semata-mata bermula dari sebuah pengetahuan, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh peristiwa yang dialami oleh setiap manusia. Namun, jangan lupa bila ada sistem dan struktur kehidupan sendiri yang membawa manusia ke sebuah kesadaran. Kalau ada pihak yang diuntungkan (oleh sistem dan struktur) pasti mereka akan cenderung mereproduksi (sistem dan struktur tersebut), sehingga kesadaran yang muncul ialah tidak perlu adanya perubahan.
Institusi-institusi pendidikan mungkin saja berada dalam sistem yang menguntungkan sehingga diam-diam juga menjadi bagian yang “melanggengkan” sistem dan struktur yang tidak adil bagi setiap manusia. Setiap jenjang pendidikan, saya kira menjadi bagian yang melanggengkan sistem dan struktur tertentu. Maka tidak heran, bila institusi pendidikan tidak suka para peserta didik menjadi kritis. Nah, saya memperkirakan tampaknya tidak mungkin terjadi sebuah perubahan yang hanya turun sebagai hadiah dari negara atau pemerintah itu, (sangat) tidak mungkin. Maka dari itu, saya dan beberapa orang yang memiliki kegelisahan ini muncul gagasan; ya sudahlah bikin sendiri saja, daripada menunggu perubahan dari luar.
Gustomo Wahyu Nugroho: Lalu, apa yang hendak ditawarkan oleh SALAM?
Toto Rahardjo: Apa yang kami lakukan bukan semata-mata hanya mentransfer pengetahuan dari sekolah ke para peserta didik, tetapi kami meyakini bila yang utama adalah ekosistem yang ada. Karena kami tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi ekosistem besar yakni Negara Indonesia, jadi ya sudah kami mencoba membangun ekosistem kecil yang ada di sekitar kami untuk sama-sama menjadi subyek pendidikan. Bukan hanya sekadar menjadi obyek dari penyelenggaraan pendidikan atau sekolah.
Berdasarkan apa yang saya alami, saya akan coba gambarkan secara lebih terstruktur mengenai ekosistem yang berusaha dibangun di SALAM.
Sebagai pengantar, saya kira, kita perlu mencoba melihat sebetulnya fenomena yang terjadi saat ini seperti apa sih? Mungkin sejak sebelum tahun 1960-an pemikiran liberalisme itu sudah mulai bertarung dan saya rasa puncaknya itu pada masa Orde Baru. Ketika Presiden Soeharto sudah menandatangani apa yang disebut Letter of Intent (LoI) itulah yang menjadi gerbang masuknya neoliberalisme di Indonesia—yang berwujud globalisasi sebagai kendaraannya.
Bila kita membedah globalisasi, menurut saya akan ada kaitannya dengan visi pendidikan yang saat ini dianut. Globalisasi punya 3 cara kerja. Pertama, dia bekerja memengaruhi bagaimana agar produk-produk regulasi atau kebijakan (berbentuk undang-undang dan sejenisnya) yang diproduksi oleh negara (diperuntukkan) bagi aparatus globalisasi yang pro-pasar (neoliberalisme). Ketika masa pasca-reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengubah undang-undang yang disebut deregulasi. MPR yang saat itu dipimpin oleh Amien Rais melakukan perubahan besar-besaran. Tapi intinya, pada saat MPR telah ditunggangi oleh gagasan/kaum neoliberal supaya undang-undang ini pro pasar. Tidak heran apabila ada banyak ruang yang termasuk dalam di Undang-Undang pasal 33 kalau bisa dijadikan private sector. Kira-kira dari urusan regulasi itulah semua bidang diliberalisasikan, dibikin (menjadi) pasar bebas, dan juga diprivatisasikan. Kalau Anda mendengar good governance, sebetulnya good governance adalah pemerintah yang tidak ikut campur banyak hal, serahkan saja pasar! Kira-kira begitulah.
Kedua, globalisasi bekerja memengaruhi cara berpikir bahkan hingga selera. Intinya, bagaimana manusia di dunia ini sebaiknya menjadi konsumen saja. Oleh karena itu, banyak medium yang bekerja memengaruhi cara berpikir manusia ini. Bahkan pendidikan atau agama diam-diam menjadi bagian itu semua, yakni bagaimana membentuk gaya hidup global dan identitas serta budaya global. Kita seringkali tidak sadar. Apakah sebetulnya kita merdeka? Itu nggak jelas, wong urusan menyisir rambut saja sudah tidak merdeka kok. Maka bila kita membicarakan pendidikan yang memerdekakan, kalau pakai kerangka (yang berlaku) seperti saat ini ya Anda tau sendirilah ya.
Ketiga, sebetulnya terjadi sebuah perebutan antara modal, negara, dan komunitas. Hal yang menjadi persoalan, bahwa negara yang diwakili oleh pemerintah dan perangkat-perangkatnya serta masyarakat seperti kita semua, diam-diam telah menganut sudut pandang yang dimaui oleh globalisasi itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah kita sudah merdeka? Bila kita memakai kerangka (neoliberal) ini, saya rasa jadi jauh lebih berat dibanding jaman Belanda dulu. Dibanding ketika Ki Hadjar Dewantara mencetuskan bagaimana memanusiakan manusia, saya kira agak jelas penjajahnya; dulu secara fisik berbeda tetapi kalau sekarang agak sulit mendeteksi (penjajah) ini. Wong, bisa aja kita jadi musuh dari diri kita sendiri.
SALAM memahami situasi (ekosistem besar, Negara Indonesia) ini sehingga tidak ada cara lain selain membangun visi-nya sendiri. Kita tahu bila visi negara juga sudah ikut visi globalisasi. Bahkan saya yakin sekarang, seyakin-yakinnya bila hampir semua institusi di Indonesia baik yang negara atau apapun diam-diam menganut neoliberalisme. Maka saya menyebut rezim neolib sebagai agama baru. Agama baru yang lebih kuat, lebih mayoritas. Bahkan, agama-agama yang ada juga “memeluk” agama baru ini.
Bepijak pada ekosistem tersebut, saya menerjemahkannya ke dalam kerangka yang baru. Bila kerangka yang mainstream input-nya kan mahasiswa dan output-nya kelulusan. Sebagai contoh mengenai narasi dalam fakultas psikologi yang akan melahirkan sarjana-sarjana psikologi yang profesional. Nah, kalau di SALAM, inputnya terdiri dari peserta didik, wali didik, penyelenggara pendidikan, dan masyarakat yang terlibat. Karena kita menyadari tidak bisa membangun sendiri-sendiri dan tidak bisa mengandalkan ekosistem besar yang disebut negara. ya sudah kita harus membangun komunitas belajar sendiri. Komunitas kami ini kurang lebih berjumlah 500 orang; terdiri dari 200 peserta didik, orangtua siswa dua (orang) jadi ya kira-kira sekitar segitulah jumlah sehari-harinya.
Nah, di antara input dan output ini ada Environmental Input, yakni sesuatu yang berada di luar SALAM. Environmental Input ini menghadapkan kami ke kebijakan, regulasi yang belum tentu sejalan dengan pikiran kami, juga menyangkut nilai masyarakat. Nilai masyarakat ini menurut saya sudah kadung tertanam bahwa sekolah yang benar itu seperti (sekarang) ini. Jadi belum tentu apa yang disebut SALAM ini dianggap sebagai sebuah sekolah. Malah bisa muncul anggapan: Ini sekolah macam apa? SALAM tidak menerapkan sekolah berdasarkan nilai-nilai atau anggapan (yang selama ini dibayangkan) masyarakat. Environmental Input ini tidak bisa kita atur, ya hanya bisa mengambil posisi apa yang akan kita ambil dalam menyikapinya.
Selain Environmental Input juga terdapat Instrumental Input. Instrumental Input adalah sesuatu yang bisa kita pengaruhi, di dalamnya mencakup metodologi, kurikulum, SOP, tenaga pengajar atau siapa pun yang terlibat dan menjadi bagian dari SALAM. Instrumental Input ini ya harus dikuasai sendiri, kalau Instrumental Input yang digunakan berasal dari luar pasti akan menjadi pro pemikiran yang justru kami tentang. Contohnya, bila kami menerapkan kurikulum luar (SALAM), nah pikirin yang bikin kurikulum itu siapa? Kira-kira seperti itulah. Makanya yang namanya Instrumental Input ya kami buat sendiri.
Lalu kami merumuskan lebih lanjut. Kalau menyangkut situasi ini semua kan (membahas) relasi di masyarakat yang akhirnya terdapat ketidakadilan. Dulu, orang hanya mengerti ketidakadilan yang merujuk pada kelas (sosial), buruh dan majikan. Kemudian berkembang, kita jadi tahu terjadi juga ketidakadilan dalam ranah gender, ada juga usia. Maka di situ terdapat hak perempuan, hak buruh, hak anak. Tapi sebetulnya ada juga loh ketidakadilan yang disebabkan oleh latar belakang pendidikan dan ini tidak masuk dalam perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB kan orang sekolah semua, makanya mereka tidak memasukkan ketidakadilan karena latar belakang pendidikan. Padahal latar belakang pendidikan juga memengaruhi terjadinya sebuah ketidakadilan.
Kalau membicarakan tentang pendidikan atau pedagogi kritis, sebetulnya kenapa pendidikan menjadi tidak kritis? Kan itu karena ada sumber-sumber pengetahuan yang “dikuasai”. Maka ada beberapa teori yang mengatakan “knowledge and power. Pengetahuan sendiri bisa menjadi alat penindasan. Kemudian kami mencoba untuk membangun relasi-relasi yang kami perjuangkan, yakni relasi yang lebih baik. Sejujurnya yang memberi judul sekolah inklusi, sekolah alternatif terhadap SALAM kan orang lain, yang jelas kami ingin membentuk komunitas yang baik dalam proses belajar.
Jadi kata kunci pedagogi kritis adalah selalu berangkat dari ketidakadilan. Sejak kami merancang dan menerapkan gagasan mengenai apa yang ingin dilakukan ya harus menerapkan keadilan itu sendiri. Maka jargon kami adalah “Membangun jalan sambil Berjalan”. Setelah itu, terbentuklah prinsip-prinsip di SALAM, yaitu suasana menyenangkan, tidak melakukan penyeragaman, tidak menggunakan pendekatan hafalan, belajar berpikir, merancang pengamatan (riset), dan menghadirkan peristiwa.
Kenapa sih, terutama saya, dulu kok tidak suka sekolah? Ya karena sekolahnya itu ndak menyenangkan. Maka kalau saya mau bikin sekolah ya jangan bikin sesuatu yang tidak saya sukai, gitu loh. Ternyata itu juga dirasakan oleh banyak orang, maka suasana yang menyenangkan menjadi prasyarat. Bagaimana membangun suasana yang menyenangkan (untuk belajar)? Kalau Ki Hadjar Dewantara menggunakan simbol “taman”, karena taman kan isinya menyenangkan maka disebut Taman Siswa. Agar sekolah tidak menjadi penjara. Saya kira, bila Anda jujur, mungkin anak-anak muda sebetulnya tidak suka kuliah. Mungkin lebih suka karena kalian dapat bertemu teman-teman di (tempat) kuliah, karena ya tidak menyenangkan perkuliahannya.
Kemudian kami meyakini bila setiap orang itu khas, autentik, unik, dan memiliki kemampuan serta bakat yang berbeda-beda. Salah satu yang saya temukan ternyata mata pelajaran itu adalah alat penyeragaman. Kalau begitu, strategi kami ya buang saja mata pelajarannya supaya tidak terjadi penyeragaman. Nah, ini yang sering tidak dipahami oleh orang-orang yang mempelajari SALAM. Saya kira Sanata Dharma termasuk yang paling lama berhubungan dengan SALAM, tetapi apakah hubungan ini memengaruhi Sanata Dharma? Kalau yang saya yakini sih, tidak memengaruhi apa pun sebetulnya. Yah, karena juga sudah terlalu “gemuk” jadi saya tidak yakin kalau UGM (Universitas Gadjah Mada-red) atau Sanata Dharma bisa berubah secara radikal sepenuhnya. Apalagi negara yah? Mungkin setingkat Sanata Dharma aja sudah susah karena sudah terlalu banyak orang yang menggantungkan hidupnya di situ. Jadi ya otomatis, itu tadi, jadi aliran yang mererpoduksi atau melanggengkan situasi (neoliberal) yang ada karena tidak mau hidup jadi susah.
Kami memutuskan untuk tidak menggunakan pendekatan hafalan, karena saya dan orang lain mengalami bahwa minimal selama 12 tahun — kalau kata Roem Topatimasang, dalam buku “Sekolah itu Candu” — Anda hanya akan setor kuping. Kalau orang Papua bilang “tanam pantat” (duduk) lalu tidak menemukan apa-apa. Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di sekolah-sekolah hampir di seluruh dunia.
Setelah kami membuang mata pelajaran yang menyeragamkan itu, maka kami melihat di pendidikan dasar yang paling utama ialah bagaimana membangun struktur berpikir dan memahami sebab-akibat dalam kehidupan. Seluruh desain proses pembelajaran adalah dalam rangka menelusuri itu semua, oleh karena itu yang kami pakai ialah riset. Sejak SD kelas 1, peserta didik SALAM telah dikenalkan dengan riset. Peserta didik SALAM harus mencari tahu sendiri. Di SALAM ada idiom yang kami gunakan, “mendengar saya lupa, melihat saya ingat, mengalami saya paham”. Jadi, bila mereka menemukan sendiri maka mereka menguasai. Karenanya, salah satu pilihannya adalah: mereka harus membangun peristiwa. Bagaimana membangun peristiwa? Pastinya melalui riset.
Riset ditempatkan sebagai metode yang menghadirkan peristiwa. Syaratnya, para peserta didik membangun riset di tempatnya masing-masing. Sejak dari rumah, riset-riset itu dilakukan, sehingga pusat-pusat pengetahuan itu berada di sekitar kita. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan “semua orang adalah guru” dan “semua orang adalah murid “, tapi jangan-jangan mereka hanya menghafalkan jargon itu saja? Saya tidak mau menghafalkan itu (tapi juga mempraktikkannya), maka semua orang menjadi subyek pengetahuan, menjadi pusat pengetahuan. Ketika pandemi datang, sekolah dipindah ke rumah; ya tidak menjadi masalah bagi orang SALAM. Tetapi coba kalau sekolah lain? Ya (jadi) masalah. Alasannya, desain belajar tidak membuat anak mandiri. Jadi sekolah dipindah ke rumah tapi pusat pengetahuannya masih jauh dari rumah, yang dipelajari oleh para peserta didik juga sesuatu yang jauh dari rumah.
Literasi sendiri sebetulnya bukan hanya perpustakaan. Banyak program literasi yang ternyata programnya membaca buku. Padahal literasi kan berasal dari kata literated, intinya melek. Sejak awal kami mencoba agar orang SALAM harus melek terhadap banyak hal, dalam artian paham, tahu, dan mau melakukan. Maksud dari tahu, mereka menjadi mengenali, mampu mengurai, mampu menilai, dan mampu memutuskan. Inilah yang kami terapkan ke peserta didik sejak kelas 1 SD. Mau, yang kami maksud adalah mau melakukan. Maksudnya harus diuji, dikembangkan, dan lain sebagainya. Serta unsur terpenting adalah mereka juga harus membagi (apa yang telah diperoleh) kepada orang lain.
Sebenarnya di SALAM sendiri menekankan pada bagaimana memahami kenyataan dan kehendak untuk melakukan. Jadi kalau diterjemahkan dalam sebuah praktik, misalnya ada anak-anak yang risetnya adalah pangan. Oh ternyata mereka menemukan terigu. Nah terigu itu apa? Terigu itu dari mana? Lalu akhirnya mereka jadi tahu kalau ternyata terigu bukan (berasal) dari Indonesia. Terigu adalah bahan yang tidak ada di Indonesia, dan perlu didatangkan (dari negara lain). Sebetulnya ada banyak tepung selain terigu di sekitar kita (misalnya sorgum, singkong, beras, Sukun dll-red). Kira-kira seperti itulah praktiknya.
Gustomo Wahyu Nugroho: Saya semakin penasaran dengan praktik pendidikan yang dijabarkan Pak Toto, kira-kira bagaimana kalau kita mau menerapkan pendidikan serupa dalam dunia perkuliahan?
Toto Rahardjo: Sebetulnya saya kan mencoba mengadopsi dari Freire juga, tapi saya tidak pernah mengatakan kalau SALAM adalah berbasis pendidikan ala Freire walaupun ada banyak sekolah yang mengklaim mereka berbasis Montessori atau yang lainnya. Saya tidak ingin mengklaim seperti itu. Karena sebenarnya kami mencoba berinovasi juga. Menurut saya Freire dulu tidak sampai seperti ini, dia dulu dibiayai oleh UNESCO dan lebih banyak menemui petani-petani karet dan lain sebagainya. Freire justru tidak pernah masuk ke dalam model formal, seperti SALAM. Freire tidak pernah mengalami! Jadi lebih maju saya sepertinya dalam hal itu, ya agak sombong dikit gapapa kan?
Terkait pertanyaan itu, ya agak susah ya, makanya saya bikin sendiri. Bagaimana mungkin, tadi visinya sudah dibangun menjadi pro globalisasi. Coba aja check, kalau ga percaya. Ya ga mungkin lah! Wong Freire sendiri berlawanan dengan visi itu. Saya dulu pernah mencoba di suatu lembaga pendidikan di daerah Cirebon. Mulai dari rektor, dekan, dan semua pihak sudah menyetujui untuk berubah jadi lebih kontekstual tapi ternyata mereka menemukan kendala dengan aparatus administrasi. Kalau toh ingin dilakukan setelah semester 6 baru bisa, tidak bisa dilakukan sejak mahasiswa masuk. Sudah ada pembagian, dosen ini harus mengajar apa lalu ya banyaklah kendalanya. Nggak gampang!
Kalau saya sendiri jadi menteri pendidikan, ya bingung juga. Mulai dari mana ini? Karena (permasalahan pendidikan) sudah menjadi benang kusut kalau menurut saya. Benang kusut kan tidak bisa diurai, bisanya dibakar. Jadi agak susah kalau dalam situasi yang selama ini dianggap normal padahal sebetulnya ini kan gak normal! Ada pandemi saja, (pendidikan) langsung tidak bisa ngapa-ngapain kok. Jadi, menurut saya jawaban dari pertanyaan ini tidak bisa, kecuali Anda bikin sendiri. Makanya saya bikin sendiri. Itu pun saya dan warga SALAM lainnya memilih perizinan yang masih memungkinkan. Ini yang disebut (pendidikan) non-formal itu, itu pun sudah dibirokrasikan sebetulnya.
Kalau kami menuruti item-item administrasi mereka ya tidak bisa. Ya yang terjadi harus kami “tipu” (siasati-red).Maka ada orang khusus di SALAM yang “mensiasati” agar dapat mengisi kolom laporannya. Kalau tidak, ya tidak ada yang bisa dijawab dalam laporan itu. Saya kasih tau ya, akreditasi SALAM itu tidak pernah naik. Kami ya nggak masalah tapi saya agak curiga aja, ini kok nggak naik-naik, kenapa? Ternyata karena SALAM tidak pernah mengirim personil kami untuk mengikuti pelatihan-pelatihan di dinas sana loh. Lah terus mau dikirim gimana? Wong praktiknya berbeda kok. Itu satu contoh aja. Artinya, pertanyaan ini tidak bisa dijangkau. Kecuali, suatu institusi pendidikan direbut oleh sekian banyak pejuang lalu mendesain-ulang menjadi pendidikan yang membebaskan. Tapi kalau cuma ketengan kayak gitu, ya secara personal-personal mungkin bisa tapi kan harus menafikan yang terjadi. Sama seperti Salam menghadapi laporan tadi.
Menurut saya memang agak berat. Memang nasibnya pendidikan yang memerdekan itu agak sulit untuk diterapkan kecuali di area-area kecil seperti di SALAM. Kalau seperti di Sanata Dharma ya setengah mati itu! Nanti kalau kalian ketemu dosen yang nggak suka, sudah selesai itu. Ya umpamanya begitu. Maka tadi singgung, SALAM dan Sanata Dharma ini telah lama menjalin relasi tetapi apakah relasi ini memberi dampak ke Sanata Dharma? Saya sih nggak terlalu yakin juga. Paling mungkin ya teori pendidikan yang memerdekakan ini dipelajari tapi untuk benar-benar dipraktikkan ya agak susah!
Agata Sinta: Kalau begitu, apa tanggapan Pak Toto melihat mahasiswa yang berusaha atau mengkritik pendidikan formal? Apakah mereka terkesan memaksakan?
Toto Rahardjo: Kebetulan saya tengah menulis, judulnya “Orang-Orang Tidak Memanusiakan Manusia”. Ada dua aliran pemikiran, yakni reproduksi dan produksi. Reproduksi itu, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, ada banyak orang yang sudah diuntungkan oleh keadaan dan sistem ini. Bisa saja di institusi ini, sudah banyak orang yang menggantungkan hidupnya di situ. Kalau berubah ya berarti merubah kehidupan orang juga. Nah ini yang agak sulit, ini kan yang menjadi perjuangan besar. Intinya perubahan akan dimaknai oleh cita-cita, background pikirannya gitu. Jadi agak susah, yang mungkin itu mempelajari pendidikan yang memerdekakan tetapi kalau mau diterapkan, prasyaratnya itu sudah nggak matching ya, sudah tidak compatible.
Kalau dilihat dari input-outputnya kan sudah tidak compatible, wong input-nya saja seperti itu dan yang jelas di institusi pendidikan lain Instrumental Input-nya kan tidak buat sendiri. Nah, kalau yang membebaskan itu, ya bikin sendiri, yang sesuai dengan apa yang ingin dilakukan. Makanya saya itu tidak bercita-cita: Wah, ini pendidikan yang memerdekakan bisa diterapkan di Indonesia. Jadi, saya berpikir untuk menjangkau yang bisa saya jangkau aja. Kalaupun ada istilah “Belajar Merdeka” atau “Kampus Merdeka” ya itu kan jargon saja tapi prasyaratnya ada apa nggak? Gitu loh. Apakah dia bisa menjadi alternatif dari yang tadi seperti yang saya lakukan? Mau nggak melawan globalisasi? Kan nggak juga, wong sekarang ini kita jadi mengikuti itu. Kalau membebaskan kan harusnya menjadi kontranya. Sekarang kan tidak ada kontranya. Jadi, menurut saya kalau ada banyak mahasiswa yang mencita-citakan itu, ya saya kembali ke diri saya. Kalau saya sendiri sudah tidak mampu untuk memengaruhi yang di luar jadi ya sudah kita bikin sendiri-sendiri di lingkup yang kecil-kecil dan semoga ada banyak di mana-mana, itu aja.
Gustomo Wahyu Nugroho: Menurut Pak Toto, seandainya kita menjadi pendidik, bagaimana sebaiknya menyikapi peserta didik yang belajar hanya untuk mendapat nilai semata?
Toto Rahardjo: Ya jangan disalahkan, wong sistemnya begitu kok! Wong sistemnya aja ada NEM (Nilai Ebtanas Murni-red), ranking, dan pertandingan kompetisi seperti itu kok. Kalau di SALAM ya ga ada yang seperti itu, karena di sini sistemnya tidak seperti itu. Jadi, sebagai guru juga harus mengerti kalau itu bukan salah mereka (peserta didik) karena sistemnya aja begitu. Anda kalau menghadapi yang seperti ini ya lebih personal aja. Sekarang ranking itu masih ada atau engga sih? Masih kan? Ya itu berarti kompetisi masih diberlakukan di dunia pendidikan Indonesia. Jadi, jangan disalahkan bila ada orang yang masuk dan ingin memenangkan kompetisi itu. Nanti lucu, ketika para peserta didik sudah besar dan bermasyarakat, loh kok gak bisa bekerja sama? Wong dari kecil disuruh bersaing masa gedenya disuruh bekerja sama? Ini makanya jadi lucu.
Hal yang jarang diperhatikan adalah bagaimana membangun ekosistem itu sendiri. Kalau di SALAM ya nggak ada yang seperti itu (kompetisi), bahkan kami semua sudah sepakat untuk tidak mengikutsertakan orang SALAM terlibat dalam kompetisi-kompetisi yang ada di luar. Entah itu kompetisi menulis, menggambar, atau apapun. Makanya di SALAM tidak ada piala-piala (seperti) yang sering dipamerkan oleh sekolah-sekolah lain. Kalau memenangkan apa-apa, ya apa yang harus dimenangkan? Jadi sebetulnya SALAM sendiri sedikit melawan arus, sementara yang mainstream kan seperti itu (berkompetisi). Bahkan itu menjadi ukuran, tapi sebetulnya kompetisi itu ukuran anak atau ukuran sekolah? Paling pol ya sampeyan berkomunikasi aja. Intinya kenapa terjadi peserta didik yang hanya mementingkan nilai semata? Ya karena ekosistemnya juga membuat seperti itu, karena kompetisi tidak dianggap sebagai sebuah masalah, padahal kompetisi akan melahirkan persaingan dan tentu saja permusuhan kelak di kemudian hari.
Ada kok di kampung saya, antar-tetangga berantem karena NEM-nya lebih tinggi daripada tetangganya. Menurut orang yang memulai berantem, dia masih lebih pintarnya daripada si tetangga. Padahal seseorang yang ranking satu dengan yang ranking sepuluh itu ga ada bedanya di dalam kehidupan sehari-hari. Itu yang saya anggap takhayul di situ. Takhayul bila seseorang yang mendapat skor lebih tinggi berarti lebih baik dibandingkan seseorang yang skornya lebih rendah. Makanya di SALAM tidak ingin melahirkan takhayul-takhayul seperti itu. Fenomena ini kan hanya terjadi pada masyarakat yang percaya takhayul itu, jadi muncul pola pikir “ini anak saya harus mencapai ranking” dan lain sebagainya.
Adeline Hega: Bukankah sebetulnya arah pendidikan Indonesia mulai bergerak ke arah pendidikan yang merdeka? Contohnya ketika Anies Baswedan, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, mengeluarkan kebijakan nilai UN tidak lagi menjadi indikator kelulusan peserta didik. Atau Menteri Pendidikan yang sekarang, Nadiem Makarim, pernah mengatakan bahwa sebuah gelar tidak lantas menjamin kompetensi seseorang. Sebetulnya sejauh mana para pemangku kebijakan ini dapat memberi pengaruh pada sistem pendidikan Indonesia?
Toto Rahardjo: Menurut saya itu semua hanya “jargon” atau sekadar statement belaka. Kalau statement itu diutarakan oleh para intelektual atau para ustad ya boleh lah. Kalau menteri itu kan urusannya kebijakan. Masalahnya kebijakan itu ada apa nggak? Realitanya apa? Makanya kenapa dalam pedagogi kritis cara hadap-masalah adalah hal yang penting? Cara tersebut disebut hadap masalah, karena yang dihadapi itu adalah masalah. Tentang bagaimana masalah dihadapi dan ditemukan sehingga orang yang melek itu memahami realita. Nah, realitanya seperti itu apa nggak? Kan realitanya nggak! Wong kawinan aja masih ditanya ijazahnya. Coba dalam kawinan itu, semua disebutin. Ini nanti sambutan dari siapa, dari profesor siapa. Urusan kawinan saja, profesor! Itu haji itu, haji kan sebetulnya pangkat ketika orang-orang sedang naik haji di sana. Kalau udah pulang naik pesawat ya bukan haji lagi! Itu aja dijadikan gelar kok, apalagi yang perguruan tinggi?
Saya kira realitanya masih seperti itu. Belum lagi kalau nanti bertemu dengan rezim administrasi prosedural. Nah ini yang menjadi pertanyaan saya, dunia digital kan harusnya menjadi alat yang mempermudah, mempercepat pelayanan atau apapun lah ya tapi coba di Indonesia, apakah itu sudah berlaku? Katanya digital, tapi masih diminta untuk tanda tangan 15 halaman dan lain sebagainya, jadi ga ada gunanya digital itu di Indonesia. Kelihatannya saja sekarang zamannya Industri 4 titik berapa itu? Tapi (nyatanya) ya sama saja, kita masih manual. Mungkin menunggu generasi ke berapa nanti (untuk betul-betul menjadi zaman digital). Sekarang ini bukannya zaman industri tapi sudah zaman otomasi yang saya tuangkan dalam refleksi saya di sini dan di sini. Refleksi saya itu kan mempertanyakan mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Sekarang ini kan informasi telah melimpah di dunia informasi, apapun yang ingin Anda cari di google, di youtube juga ada semua di sana. Tapi sistem cara belajar kita masih berada di dalam ruang yang tertutup, seperti Anda ini, padahal informasi sudah banjir. Bukan lagi melimpah, tapi sudah banjir! Cara belajar kita masih di dalam ruang yang tertutup, dalam artian masih harus tergantung pada keahlian-keahlian tertentu. Padahal keahlian ini sudah berlimpah di mana-mana. Mungkin kita harus seperti di Amerika yah? Di sana itu jumlah drop out-nya cukup tinggi pada jenjang SMA dan Perguruan Tinggi. Kenapa? Karena (seseorang yang bergelar) doktor aja jadi penjual pizza. Nah, kalau di sini kan seseorang yang bergelar doktor kan masih disegani, nanti kalau sudah banyak doktor yang menganggur mungkin baru muncul kesadaran bila sekolah itu tidak ada gunanya. Kalau sekarang ya belumlah. Sekarang ini (sekolah) masih menjadi tempat yang keren. Kalau sekarang kan sarjana nganggur, S2 nganggur sudah lumayan banyak. Tapi kalau doktor kan belum, nanti kita tunggu saja. Kita menunggu doktor pada nganggur nah itu baru (muncul kesadaran perubahan).
Saya minta maaf ya kalau jawaban saya tidak menyenangkan, karena memang hidup saya juga tidak terlalu menyenangkan. Saya itu ibaratnya lagu ya hanya satu judul aja, kaya gini aja, udah. Jadi mungkin tidak ada judul lain yang dapat menyenangkan Anda, ketika dinikmati.
Maria Etha Helyanan: Bagaimana tanggapan Pak Toto bila pendidikan ala SALAM diterapkan dalam karakteristik budaya yang berbeda? Apa yang harus diperhatikan? Bukankah budaya juga turut memengaruhi pendidikan dan tiap daerah memiliki budaya masing-masing? Contohnya di daerah Wamena, anak dianggap aset untuk menjaga babi tapi di daerah lain memiliki anggapan yang lain terhadap anak.
Toto Rahardjo: Sebelumnya, menurut Anda belajar itu apa sih? Karena ternyata apa yang terjadi di luar SALAM, belajar adalah menghafalkan buku mata pelajaran. Maka, dulu di kampung-kampung, mungkin bukan hanya di Jogja, ada yang namanya “jam belajar”. Maksud dari jam belajar itu, jam sekian anak harus di rumah dan mungkin baca buku pelajaran. Tapi, kalau anak itu mengurusi ikan piaraannya, anak itu nggak belajar. Kalau di rumah saya, kan ada cucu-cucu. Nah di rumah saya ini, tidak pernah ada kalimat, kosakata “Eh nak, sudah belajar belum?” di SALAM juga ga ada itu. Tetapi yang ada, “Kamu hari ini sudah melakukan apa?, mengalami apa saja?” kan gitu. Atau “Sudah ditulis di jurnal belum?” Jadi kata “belajar” tidak ada di tempat saya.
(Pengertian belajar) kontekstual apa nggak? Makanya orang-orang Timur merasa ketinggalan daripada orang-orang di Jawa dan menganggap bila pendidikan di sana tidak bermutu. Sementara orang Indonesia merasa terbelakang dari negara lain. Sekarang (tolak ukur) yang digunakan itu PISA. PISA sendiri siapa yang bikin? Yang bikin kan pedagang-pedagang semua! Itu institusi pedagang! Ini yang sekarang dianut oleh institusi-institusi pendidikan di Indonesia. Jadi, mestinya kan orang Papua yang menentukan, anak-anak saya begini, kan tidak bisa. Orang-orang di Papua akhirnya harus menyesuaikan dengan orang-orang yang ada di, bukan Jawa, tapi Jakarta. Harus menyesuaikan dengan Jakarta! Kalau situasinya seperti ini, lalu merasa ketinggalan. Ketinggalan dari siapa, pertanyaannya? Karena kita kan tidak pernah menentukan kriteria sendiri. Kriteria aja dibikin oleh orang lain. Institusi pendidikan semua, lagi pada berlomba-lomba mengejar itu skor PISA padahal PISA yang bikin juga bukan orang pendidikan. Itu saja nggak pernah kita kritisi kok. Jadi, saya tidak pernah musingin prestasi orang SALAM, yang penting adalah mereka belajar.
Di anak-anak SALAM, khususnya di kalangan SMA, saya menduga ketika mereka lulus tidak akan membawa map yang cap burung sriti itu kemana-mana, (untuk) daftar kerja. Karena memang sejak awal semester di SMA (mereka) sudah menentukan passion-nya di mana dan ditekuni sesuai passion-nya. Jadi banyak anak-anak kelas 3 SMA lulus langsung bikin perusahaan atau bikin apa di komunitasnya. Tergantung passion-nya. Semestinya di Papua kan gitu, mereka jadi menekuni ternak babi, atau apalah itu sebagainya.
Maria Grasiella: Mengulas sedikit ke belakang, bagaimana Pak Toto dapat menemui/menemukan kesadaran bila ternyata sumber masalah pada dunia pendidikan Indonesia ialah sistemnya?
Toto Rahardjo: Nah, bagaimana memahami sumber masalah dalam pendidikan? Sumber masalah ini sangat kompleks, misalnya soal orangtua siswa. Di SALAM, bila ada orang baru yang kami tes bukan anaknya tapi orangtuanya, “Kamu tuh di sini mau ngapain?” gitu loh. Sepakat nggak, kalau nggak ya ngapain di sini? Daripada di tengah jalan nanti repot. Orang yang masuk SALAM ini biasanya mulai tau dari koneksinya, entah mungkin itu anaknya sekolah di SALAM atau saudaranya. Jadi itu sudah tersortir, ketika orangtua memutuskan untuk menyekolahkan anak di SALAM. Perkembangannya jadi lain lagi, banyak orang yang tau SALAM dari media. Mereka jadi tertarik karena media, entah di TV, entah di media-media SALAM sendiri. Nah, intinya menurut saya ada di orangtua dan kami juga menyadari bila kami semua adalah produk dari sekolah yang ada selama ini. Jadi kadang-kadang kelihatannya seperti sudah sadar padahal ya belum. Itu sering kita temui juga.
Untuk orang-orang yang masuk ke SALAM, saya anggap mereka ini adalah orang-orang yang luar biasa. Kalau orang yang lazim, misalnya di Jogja, mestinya kan nggak masuk SALAM. Apa masa depannya (kalau ke SALAM)? Nggak jelas! Jadi kalau ada orang yang ke SALAM, saya anggap orang yang luar biasa. Tetapi jangan lupa, nanti masalah-masalahnya ya masalah (belajar) yang biasa juga, (sama seperti) yang terjadi di luaran. Kalau masalah yang biasa-biasa saja dan menanganinya dengan cara yang biasa ya akan melahirkan hal yang biasa juga. Contohnya, ternyata ada orangtua yang anaknya sudah kelas 3 tapi belum bisa baca-tulis. Nah, mereka sudah gelisah, sudah mau dikursusin-lah. Kalau dia ketemu saya, nanti saya tanya “Emang kalau anakmu bisa nulis, mau ngapain?” Kadang-kadang cukup ditanya gitu aja. Lah emang kalau sudah bisa baca terus mau ikut Pilkada apa mau bagaimana? Gitu loh. Kalau kasus tersebut ditangani dengan cara yang biasa saja—dalam arti dikursuskan—justru hal tersebut tidak melahirkan hal apa-apa. Gak jarang juga anak di-les-kan macam-macam (oleh orangtuanya). Kalau seperti itu, ya ditanya “Kamu itu sebenarnya percaya nggak sama SALAM? Kalau nggak percaya ya keluar saja.” Atau “Kamu sebenarnya mau membunuh anakmu atau gimana? Dengan membunuh waktunya (melalui) macam-macam (kegiatan) gitu.” Ada banyak masalah belajar yang terjadi (di SALAM) yang sebetulnya ada di luar juga.
Dengan demikian, setiap orang harus menjadi peneliti sejati. Peneliti sejati artinya setiap hari itu otaknya bertanya terus, walaupun ini nggak enak. Mending ya acuh saja sama keadaan, nah, otaknya lebih enak. Jadi orang yang semakin tahu realita kan belum tentu enak loh hidupnya. Jangan-jangan malah lebih enak kalau nggak tahu. Peneliti sejati bukan peneliti yang ingat hanya pas dapat proyek saja. Maksudnya sejak bangun tidur, peneliti sejati sudah bertanya terus menerus mengenai sesuatu. Ya mungkin karena background saya dari desa yang terlalu jauh dan berbagai macam hal yang saya alami, akhirnya mengantarkan saya ke kesimpulan kalau ada sistem yang tidak adil, tidak benar, termasuk kalau kita ngomongin sistem ya sistem pendidikan ini sendiri. Bayangkan, ada banyak petani yang setiap hari dia hidup di situ dan mestinya yang ahli ya dia. Tiba-tiba datang sarjana pertanian dan menjadi ahli. Itulah kenapa saya menerapkan semua orang harus menjadi sumber pengetahuan.
Saya tidak hanya sekadar menghafalkan ungkapan Ki Hadjar Dewantara, (mengenai) tri-sentra; ada keluarga, masyarakat, dan sekolah. Di SALAM kita coba untuk terapkan betul bila keluarga adalah yang utama dan pertama menjadi pendidik. Hal ini telah diterapkan sejak awal dan kita telah mendeklarasikan bila SALAM adalah sekolah keluarga. Bahkan cita-citanya kelak mungkin hanya menjadi host-nya orang-orang yang secara mandiri menyelenggarakan pembelajarannya sendiri. Makanya ketika ada pandemi, ya tidak kaget. “Wah ternyata ini, pilihan kita tepat juga, jadi tidak ada masalah ketika pandemi”. Masalahnya cuma satu, susah bertemu dengan temannya, karena orang SALAM itu orang-orang yang senang berkumpul. Masalah yang terjadi di luar kan tidak ada (koneksi) internet, sinyal jelek, sampai puncaknya pengeluaran pulsa menjadi melonjak hingga pemerintah harus keluarin subsidi. Menurut saya, akarnya bukan di situ, akarnya memang sistem belajarnya sendiri tidak mandiri. Ketika tiba-tiba dipindah ke rumah ya jadi masalah.
Saya rasa kelak, institusi-institusi pendidikan akan ditinggalkan oleh masyarakat karena orang sudah bisa (belajar) sendiri kok. Fenomenanya akan berubah. Saya sih membayangkan mungkin tidak sampai sepuluh tahun ini akan terjadi. Jadi tidak heran, seperti di Belanda, Australia, gereja-gereja ditinggalkan jemaatnya. Saya kira di Indonesia itu juga akan terjadi, gereja atau masjid akan ditinggalkan oleh umatnya karena ternyata tidak menjawab apa-apa dalam kehidupan. Termasuk institusi pendidikan. Sekarang ya masih lumayanlah, masih ada “mitos” yang membuat orang mau tidak mau ke situ.
Di SALAM, menurut saya, kekuatannya ada di komunitasnya. Orang banyak datang ke SALAM karena ingin belajar metode, padahal bukan itu yang paling utama. Hal yang paling utama (di) komunitas SALAM itu sendiri yang sangat kondusif, intinya kan bagaimana orang SALAM memandang manusia. Contohnya, di SALAM sendiri kan banyak juga anak-anak yang berkebutuhan khusus. SALAM sendiri tidak memiliki metodologi khusus untuk anak ini, artinya yang menjadi potensinya karena komunitasnya yang welcome, yang okay terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Sebetulnya ya tidak ada, kami tidak memiliki metode khusus itu. Tetap yang menjadi utama adalah lingkungannya sendiri. Lingkungan yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Di SALAM hampir tidak ada anak yang menangis karena dihina, nggak ada. Misalnya diolok-olok (karena) jalannya invalid, hampir nggak ada. Kalau berantem karena berebut sesuatu ya itu wajar saja, toh itu bisa diproses. Tapi hampir tidak ada anak yang dihina, itulah kenapa yang utama justru ekosistemnya. Kalau metode atau teknik kan bisa sambil jalan.
Di dunia luar SALAM kan justru teknik-teknik belajar atau teknik parenting malah jadi commodity toh? Tiap-tiap orang berbeda. Misalnya saya itu kasar, terus disuruh lembut. Itu teori-teori parenting tuh takhayul juga. Setiap orang kan punya kecenderungan sendiri. Hal tersebut juga pengaruh dari psikologi. Psikologi jangan-jangan nanti malah hanya menjadi alat stempel orang? Nah, ini yang harus dikritisi, semestinya pendidikan kritis itu mengkritisi teori-teori yang ada. Kalau yang “kiri”, kenapa harus ada yang “kiri” kan supaya kalau ada orang yang berjalan nggak cuma sebelah. “Kiri” ini mengkritik yang “kanan”.
Gustomo Wahyu Nugroho: Saya menjadi penasaran, bagaimana cara mengidentifikasi pendidikan yang menindas?
Toto Rahardjo: Cukup panjang, bisa butuh sampai satu semester untuk menjawab pertanyaan ini. Yang jelas itu (mengidentifikasi) ketidakadilan. Dulu orang hanya mengenali ketidakadilan itu berupa kelas (sosial) lalu lambat laun berkembang ke gender. Lalu ada juga ketidakadilan yang disebabkan oleh usia, orang dewasa menindas anak-anak. Kenapa ini terjadi? Ya karena ada ketidakadilan; ketidakadilan rasial, ketidakadilan sumber daya alam. Makanya Omnibus Law lahir, supaya sumber daya alam tidak dikuasai oleh banyak orang, supaya (dikuasai) segelintir orang saja. Undang-undang juga termasuk (yang) mereproduksi ketidakadilan. Bagaimana caranya? Orang ada yang punya pemahaman, “Nggak bisa nih, harus kita rebut kekuasaan baru kita bikin (yang baru).” Ya bolehlah, tapi ternyata kalau kita melihat sejarah juga, baik di negara-negara lain atau di Indonesia yang sejak dari tahun 1945 merebut dari Belanda sampai Orde Baru, Orde Lama, sampai Reformasi ya sama-sama saja. Kemarin mengkritik, sekarang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi-red) ya gitu sajalah terus terjadi. Kalau ditanya, pilihan saya tidak kayak gitu (merebut kekuasaan).
Gustomo Wahyu Nugroho: Sebagai penutup, menurut Pak Toto, bagaimana cara, siasat, atau strategi yang bisa dilakukan supaya pengalaman seseorang dapat menjadi titik tolak sampai ke kesadaran kritis?
Toto Rahardjo: Pilihan saya kecil-kecil aja, ya sudahlah kita bangun negeri sendiri, di mana pun. Orang-orang kalau ngomong pendidikan yang dipikirkan sekolah, tapi nggak dipikirkan ekosistemnya tadi, ya nggak bisalah. Oleh karena itu, kalau ngomong SALAM tidak hanya anak-anak belajar berhitung-membaca, tapi orangtuanya juga belajar bagaimana bekerja sama. Itu bagian yang harus terjadi dan memengaruhi komunitas SALAM. Bisa tidak sih kita hidup bersama? Sementara orang harus memenangkan pertandingan, kalau kalian mampu, ya sudah. Kalau kalian kalah, ya salah kalian sendiri. Anda ingin menganut yang mana? Ini bukan masalah salah atau benar, ini masalah pilihan. Seringkali, orang-orang yang belajar ke SALAM mengira bahwa SALAM hanya urusan proses belajar-mengajar; padahal (fokus) SALAM adalah bagaimana proses membangun hidup bersama. Kalau kita berharap pada perubahan-perubahan yang besar, ya paling perubahan hanya seputar jargon. Contohnya dulu (ada istilah) “babu” kemudian berubah menjadi “pembantu rumah tangga” (kini asisten rumah tangga atau ART-red), yang berubah hanya sebutannya saja tapi relasinya tidak berubah.
Nah, pada akhirnya saya mau menekankan bahwa lewat diskusi ini saya bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda sekalian; saya datang sebagai penganggu saja.
Diskusi Bareng Toto Rahardjo: Pendidikan Membebaskan yang Berkeadilan – Nalarasa
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply