Berantakan sih tidak, tapi… kotornya itu, Harap maklum karena ruang-ruang kelas kami juga disukai dan ditempati oleh makhluk lain, seperti cicak, tikus, tawon, kadal, bunglon, gajah, macan, dinosaurus … Jadi ya bisa kebayang bukan, bagaimana kondisi ruang kelas kami, hahahah!
Saya memasuki kelas setelah usai game pagi dan briefing fasilitator. Sampai di kelas, saya menjumpai beberapa anak sedang menyapu setengah bagian kelas yang benar-benar kotor. Sekitar 5 anak memegang sapu, sisanya membantu memindahkan meja dan kursi supaya gampang dibersihkan. Ada juga yang cuma bengong melihat apa yang sedang dikerjakan temannya.
Melihat moment ini, saya tak tahan untuk memberikan apresiasi, “Wah, teman-teman, kalian keren! Kalian berinisiatif membersihkan kelas yang akan kita pakai bersama ini. Kalian bertanggung jawab terhadap tempat yang kalian pakai. Terimakasih, ya!” Mereka tersenyum menatap saya. Saya dan Anita (fasilitator baru di kelas 4) bergegas membantu mereka mengangkat meja. Setelahnya, Anita mengelap meja, sementara saya meneruskan membuka semua jendela supaya tidak pengap karena ada aliran udara.
“Teman-teman, ruangan ini kalau ditinggal lama ternyata kotor sekali ya”
“Iya, Mbak Tyas. Banyak banget lo ini kotoran cicak dan kotoran tikusnya!”
“Iya ya. Kira-kira cukup nggak ya kalau kita bersihkan dengan sapu saja?”
“Enggak Mbak, ini tu harus dipel, biar bersih”
“Wah setuju! Apalagi kita kan sering duduk di lantai juga ya, perlu memastikan lantainya bersih. Nah, sekarang, siapa yang akan membantu mengambilkan peralatan untuk mengepel?”
“Aku! Aku! Aku aja Mbak!”, lalu bocah lelaki berumur 10 tahun itu bergegas turun untuk mengambil peralatan pel. Seorang temannya mengikuti. Ia sempat balik ke kelas untuk bertanya, “ Mbak, sabunnya pakai sunlight?”
Sambil melempar senyum saya bilang, “Emmm, kalau sunlight kayaknya buat cuci piring deh. Sepertinya ada yang khusus buat lantai gitu…”
“O iya aku tahu, wipol kan?”
Tidak lebih dari lima menit dia sudah kembali ke kelas dengan seember air dan sebuah alat untuk mengepel. Dan lima belas menit berikutnya lantai kelas kami bersih, siap untuk dlosoran bersama.
Tidak sampai disitu, sayapun dibikin takjub lagi saat jam makan siang. Piring-piring kami yang terkumpul di satu kontainer plastik belum ditemukan. Anak-anak sempat tidak sabar dan langsung ingin meminjam piring ke dapur. Saya mencegah niat tersebut, sebaliknya mendorong mereka untuk terus berusaha mencari piring mereka sendiri, sebagai bentuk tanggungjawab atas barang-barang kepunyaannya. Saya merelakan waktu makan siang yang terpotong cukup lama demi memastikan mereka gigih mencari hingga dapat barang tersebut. Beberapa menit kemudian seorang anak masuk ke kelas sambil membawa tumpukan piring yang masih basah, baru saja dicuci tampaknya.
“Nak, itu piring-piring siapa?”, tanya saya memastikan.
“Piring-piring kitalah. Masak Mbak Tyas lupa” “Ooo piring kita ya? Akhirnya ketemu? Trus itu kok kayaknya basah, habis dicuci?” “Iya ketemu, di ruang Raya bawah. Ini tadi kotor banget terus aku cuci, dibantu sama dua orang temen lain” “Ohhh, terimakasih ya! Kamu punya inisiatif untuk mengerjakan perkerjaan lebih dari yang seharusnya kamu kerjakan. Teman-teman, ini piringnya sudah dibantu dicucikan oleh Sadat, Oyi, dan Bon, yuk kita ucapkan terimakasih pada mereka!” “Terimakasih Sadat!, Teimakasih, Bon!, Terimakasih, Oyi!”
Saya yang dulu adalah pemuja kegiatan yang berbau-bau character building,menjadi ragu, “Jangan-jangan ada yang lebih hebat dari kegiatan-kegiatan outbond yang katanya membangun karakter itu, atau adakah yang lebih buku panduan yang lebih keren dari yang dulu biasa kami dan komunitas gunakan untuk memberikan “pelajaran” karakter? Lalu kenapa kelas tanpa kenal outbond dan kurikulum pendidikan karakter ini justru membuat saya terkagum-kagum dan menginsyafi, “Inilah pendidikan karakter yang sesungguhnya” []
Relawan SALAM Yogyakarta
Leave a Reply