Sistem pendidikan di Indonesia, dalam banyak hal, masih merupakan warisan dari masa kolonial yang dirancang memang untuk menghasilkan lapisan kelas menengah yang mapan. Terkadang, saya merasa bingung saat melihat sebagian mahasiswa begitu bersemangat dan serius dalam mengikuti kuliah dan berprestasi, meskipun pada akhirnya kehidupan yang akan mereka hadapi seringkali tidak selalu sesuai dengan logika meritokrasi yang diajarkan di kampus. Terdapat pula muatan softskill yang sepertinya tidak selaras dengan kurikulum akademiknya. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa kurikulum di masa depan perlu lebih mempertimbangkan pentingnya muatan softskill daripada fokus hanya pada konten akademik semata.
Dalam bayangan saya, generasi mahasiswa saat ini memiliki visi dan harapan masa depan yang sangat berbeda dengan generasi kami. Saya sering memberikan masukan kepada keponakan-keponakan saya, serta berbicara dengan orang tua keponakan, bahwa kebahagiaan hidup tidak hanya tergantung pada pencapaian karier dan aspek materi. Ada banyak cara untuk menjalani kehidupan yang bahagia dan bermakna. Namun, saya tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehidupan yang mereka hadapi sekarang penuh dengan ketidakpastian dan tantangan yang berat. Menurut saya, ini adalah salah satu isu politik yang paling penting bagi para pemimpin masa depan kita. Meskipun negara kita kaya akan sumber daya alam dan manusianya, tantangan untuk bertahan hidup tampaknya semakin berat. Saya yakin bahwa jika negara ini dikelola dengan lebih adil, kita bisa menciptakan kehidupan yang lebih nyaman, termasuk dalam konteks pendidikan di mana mahasiswa tidak perlu selalu begitu serius.
Namun, perlu diakui bahwa sistem pendidikan tradisional, seperti pesantren, memiliki keunggulan dalam membentuk karakter santrinya. Saya pernah tinggal di daerah terpencil di mana sebagian besar penduduknya adalah pengikut suatu tarekat. Meskipun saya jarang melihat mereka menunaikan salat lima waktu, mereka tetap memiliki ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian. Ketika saya bertanya kepada salah satu pengikut tarekat tersebut mengapa mereka begitu setia, dia menjelaskan bahwa ini adalah cara mereka bertahan dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya bisa bertahan dalam situasi serba tidak pasti seperti yang mereka alami.
Selain itu, saya juga sering berbicara dengan keponakan saya yang mengalami kesulitan di sekolah, yang pada akhirnya istri saya menemukan sindrom hikikomori yang menjadi masalah serius di negara-negara maju, bahkan di Jepang dengan tingkat kejadian mencapai 20%. Saya khawatir bahwa mungkin kita menghadapi ancaman serupa, dan ini adalah kekhawatiran yang juga dialami oleh orang-orang penting di kampus.
Saya memiliki kenalan seorang kyai di daerah Purwokerto yang mengelola pesantren gratis untuk sekitar 800 santri yatim piatu. Banyak dari mereka bahkan tidak tahu harus pulang ke mana saat lebaran. Mereka tidur di lantai masjid tanpa alas setelah ngaji bakda isya, tetapi mereka nampak bahagia. Saya tidak tahu bagaimana cara kyai tersebut bisa menghidupi mereka. Saya pernah tidur di rumah yang mengurus keuangan pesantren, yang bisnisnya hanya berjualan air galon isi ulang dan madu. Ketika pak kyai tidak memiliki uang, dia akan pergi ziarah ke makam Wali Songo. Namun, setelah pandemi, pesantren tersebut mengalami kemajuan dan bantuan dari berbagai pihak, termasuk Mas Andy Noya.
Selain itu, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari petani di sebuah desa di Dieng yang saya kunjungi bersama teman yang sedang menyelesaikan disertasinya. Kami harus mencari makan sendiri karena tuan rumah kami sibuk mengelola kebun kentang. Mereka menghadapi risiko yang besar dalam pertanian kentang, yang mirip dengan perjudian, di mana hasil panen bisa sangat tidak pasti. Kami kemudian diajak untuk ikut dalam tahlilan, dan kami sadari bahwa praktik keagamaan ini sebagian besar dilakukan untuk memberikan kekuatan mental kepada para petani yang menghadapi kehidupan yang penuh ketidakpastian. Namun, saya merasa bahwa pengajaran tentang kekuatan mental seperti ini tidak diajarkan dalam kurikulum pendidikan formal. Oleh karena itu, pendekatan spiritualisme seharusnya juga menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kita.
Saat ini, banyak yang diajarkan bahwa rajin adalah kunci kesuksesan. Namun, kenyataannya banyak orang miskin yang rajin bekerja. Kita perlu melihat lebih dari sekadar kerja keras dan pencapaian materi, dan melibatkan nilai-nilai spiritual dalam pendidikan kita. Dengan demikian, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga tangguh dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian.
Dalam mengejar perubahan dalam sistem pendidikan dan kehidupan masa depan yang lebih seimbang, ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan. Pertama-tama, kita perlu meningkatkan pendekatan pendidikan yang lebih holistik, yang tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga pada pengembangan softskill dan nilai-nilai kehidupan. Kurikulum perlu dirancang ulang untuk mencakup pelajaran tentang kepemimpinan, keterampilan sosial, dan nilai-nilai moral yang dapat membantu mahasiswa menghadapi ketidakpastian dalam kehidupan mereka.
Selain itu, penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk memberikan akses pendidikan yang lebih merata, termasuk untuk masyarakat di daerah terpencil. Ini dapat mencakup program beasiswa, pelatihan guru yang berkualitas, dan penggunaan teknologi untuk menyediakan akses pembelajaran jarak jauh. Ini akan membantu mengurangi kesenjangan pendidikan dan memberikan peluang yang lebih luas kepada generasi muda.
Sementara itu, para pemimpin harus berfokus pada pembangunan ekonomi yang inklusif dan adil. Ini dapat membantu menciptakan peluang kerja yang lebih banyak dan stabilitas ekonomi yang akan memengaruhi positif kehidupan masyarakat. Dengan ekonomi yang lebih stabil, kebutuhan akan pendidikan yang berkualitas dan pembangunan softskill juga akan semakin meningkat.
Pendidikan formal dan non-formal harus bekerja sama untuk membantu menciptakan generasi muda yang siap menghadapi tantangan di masa depan. Pendidikan formal dapat memberikan dasar akademik yang kuat, sementara pelajaran kehidupan yang tangguh dan nilai-nilai spiritual dapat diajarkan melalui pendidikan non-formal. Kerjasama antara pendidikan formal dan non-formal akan membantu menciptakan individu yang cerdas secara intelektual, serta memiliki karakter yang kuat dan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian.
Dalam keseluruhan, kita harus memahami bahwa pendidikan bukanlah hanya tentang mempersiapkan individu untuk bekerja, tetapi juga untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan bahagia. Generasi muda kita perlu dilengkapi dengan pengetahuan, keterampilan, dan ketahanan mental untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian dalam kehidupan. Melalui kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, holistik, dan relevan, yang akan membantu generasi muda kita menghadapi masa depan dengan keyakinan dan keteguhan hati.[]
Dosen Kehutanan UGM
Leave a Reply