Perjalanan mencari tempat bermain untuk anak saya Vadin, ada tiga pilihan yang sama-sama tidak mudah—membuat saya putus asa karena pilihan sekolah sangat terbatas. Modelnya sama, kemasannya mirip, dan prinsipnya pun serupa. Saya beranggapan bahwa pilihan yang paling mungkin adalah antara sekolah rumah (homeschooling) atau sekolah formal. Bagaimana dengan sekolah non formal? Sayangnya sekolah non formal yang ada di kota inipun tidaklah beragam, yang saya ketahui hanyalah sekolah LKP sejenis sekolah ketrampilan dan pelatihan, Madrasah, dan juga semacam Pondok Pesantren. Rasa-rasanya pendidikan tersebut kurang pas untuk vadin. Ada sebuah sekolah dengan konsep rumah juga yang saya sempat temukan, awalnya saya kira itu tempat yang akan menjadi pelabuhan kami setelah Vadin selesai di Kelompok Bermain (KB) SALAM.
Tempat tersebut terletak di tengah kota, begitu kami menginjakkan kaki, tampaklah sebuah bangunan rumah yang dihiasi sedemikian rupa agar kesan homy muncul, ada papan nama Pendidikan Anak Usia Dini (3-6 th). Saya perhatikan di sekeliling, tempat tersebut tampak sepi dari anak-anak. Ada taman bermain di salah satu sudut halaman rumah tersebut yang arealnya bisa dibilang cukup luas untuk ukuran rumah di tengah kota. Namun, saya kok tidak merasakan perasaan hangat dan menyenangkan—namun saya tidak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tidak boleh menilai sesuatu hanya dari penampilan luarnya. Demikian saya mematri kata-kata tersebut di dalam hati. Lantas saya dan Vadin pun mencoba untuk masuk untuk mengenal lebih jauh tentang tempat ini. Begitu kami masuk, perasaan kurang sreg itu perlahan mulai muncul satu demi satu.
Di bagian dalam rumah tersebut nampak beberapa anak bersiap-siap tidur di busa tidur yang didekatkan berjejeran satu demi satu. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB kurang lebihnya. Rupanya ruang tengah rumah tersebut beralih fungsi menjadi semacam penitipan anak apabila ada orangtua yang menginginkan anaknya di sana hingga sore, kita lebih mengenalnya dengan sebutan program full day. Dan saat itu adalah jam tidur siang anak-anak tersebut. Saya bertemu dengan pengelolanya, yang rupanya adalah pemilik rumah sekaligus pendamping anak-anak tersebut bersama pasangannya. Sang Ibu yang saya rasa adalah “pimpinan tertinggi” di tempat itu menjelaskan tentang progam sekolah tersebut. Beliau memang mempunyai konsep sekolah model rumah. Sekolah rumah kalau yang beliau sebutkan berbeda dengan sekolah rumah model homeschooling. Di tempat ini seperti sekolah biasa hanya kesan rumahmya memang lebih terasa. Hanya saja, anak dengan berbagai usia bercampur menjadi satu saat itu. Dan lagi beliau berbicara tentang kemandirian dan kedisiplinan anak yang telah berhasil mereka capai. Saat itu ada 15 orang anak yang bergabung pada kelas Full day, dan rupanya hanya 3 orang saja yang mendampingi dan menemani anak-anak setiap harinya. Ibu pemilik, pasangannya dan satu orang asisten. Ibu pemilik rumah memang terlihat fasih, piawai dalam menangani anak-anak. Barulah saya paham, mungkin karena pengalaman beliau selama 20 tahun bergelut menjadi semacam konselor di beberapa taman kanak-kanak swasta di Yogyakarta. Ketika itu, Si Ibu memanggil seorang anak, dan memintanya menyebutkan pancasila dari sila pertama hingga terakhir. Setelah itu meminta anak itu untuk menyebutkan bagian-bagian anggota tubuh. Dan semua anak sama, mereka agaknya belajar menghapal bersama-sama. Ibu itu bercerita bahwa kebanyakan anak-anak yang di tempat beliau adalah anak-anak yang sebelumnya dibilang “sulit atau nakal” oleh orangtua mereka. Jadi, dengan konsep sekolah yang ibu tersebut jalankan, beliau merasa sudah berhasil membuat anak-anak lulusan dari sana itu mandiri dan disiplin, sehingga ketika sudah siap usia lanjut untuk Sekolah Dasar, mereka semua sudah siap.
Melihat kenyataan itu saya mlipir. Tidak. Saya tidak akan menyekolahkan Vadin di situ. Saya melihat anak-anak semuanya seragam dan serupa. Memang, hasil akhirnya anak-anak di sana disiplin dan mandiri. Tapi kesannya kok jadi kayak robot ya. Vadin juga tampak enggan berada di sana lama-lama. Pencarian sekolah ini memang cukup menguras emosi, pikiran dan juga tenaga. Di saat tertentu saya sempat ada keinginan untuk kembali ke SALAM.
Bagaimana dengan pilihan lainnya? Homeschooling misalnya. Seperti yang sedang mewabah dan gencar di berbagai tempat, homeschooling memang bisa menjadi salah satu alternatif bagi orangtua yang merasa ngilu dengan rupa pendidikan kita dan memiliki komitmen kuat, konsistensi yang tinggi, dan manajemen waktu yang baik. Iya, saya juga ngilu, namun komitmen dan konsistensi saya mungkin tidaklah sebesar itu untuk bisa meng-handle vadin sendirian. Belum lagi manajemen waktu saya masihlah buruk. Saya hanya tidak sanggup. Saya tidak ingin nantinya di tengah perjalanan saya mundur. Dan itu tidaklah baik untuk Vadin juga nantinya apabila saya sendiri tidak cukup punya komit yang kuat. Homeschooling (HS) bagus. Dan akan lebih maksimal dengan peranan kedua orangtuanya di situ. Ya ibunya, ya Ayahnya. Homeschooling mungkin bisa diterapkan di semua tempat disesuaikan dengan kondisi lngkungan tiap keluarga, namun, bagi saya yang tinggal di kota kecil yang minim fasilitas, agaknya homeschooling akan berjalan kurang maksimal. Kami tetap harus lari ke Yogya atau ke solo untuk mengikutkan Vadin ke dalam klub-klub aktifitas anak, entah olahraga, seni atau yang lain sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Dan juga untuk bertemu dengan sesama penggiat HS kami juga harus pergi lagi ke luar kota. Saya rasa itu juga agak sulit bagi kami realisasikan saat ini. Bukannya tidak bisa HS berkembang di kota kami, saat ini saja ada 3 anggota keluarga yang meng-HS kan anaknya di kota kami. Tapi rentang usia anak-anak mereka terlampau berjarak dengan usia Vadin. Saya hanya tidak yakin itu model tersebut cocok di keluarga kami. Belum lagi tentang pertemanan. Entah kenapa saya merasa lebih senang apabila Vadin bermain dengan riang dan riuh dengan teman-temannya. Sayangnya, kami tinggal di kompleks yang minim anak-anak. Sehingga proses sosialisasi Vadin selain dengan ibu, ayah dan keluarga dekatnya agak kurang maksimal. Vadin itu, dalam kacamata pandang saya, dengan melihat kondisi lingkungan keluarga kami, dia akan berkembang lebih baik apabila dicemplungkan ke berbagai situasi, lingkungan dan keadaan agar dia bisa belajar bagaimana menyikapi dan menghadapi orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Belajar berteman, belajar berempati. Mungkin HS bisa menjadi alternatif, namun entah kenapa bagi saya bersekolah di sekolah biasa dan menerapkan Home Education di rumah jauh lebih cocok dan pas bagi kami sekeluarga. Jadilah pilihan kami terakhir tetap pada pilihan sekolah formal. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Kami harus menghadapi kenyataan itu dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke depan.
Kecewa dengan kondisi sekolah di kota kami jelas, tapi kami harus memantapkan hati, terus mencari, menimbang, memilih, dan tentu harus dengan hati, dan melihat kenyamanan Vadin. Semakin hari pilihan kami mengerucut. Ada dua buah sekolah yang tidak bisa dibilang luar biasa, namun saya merasa kondisi lingkungannya cukup longgar, dan memberikan tempat yang baik untuk anak-anak bermain. Dua-duanya dekat dengan rumah. Hanya sekitar 5 menitan, dengan mengendarai sepeda motor dari rumah. Sekolah yang satu adalah Taman Kanak-kanak negeri, dan yang lainnya Swasta.
Awalnya saya sempat melirik sekolah yang Swasta, namun trial hari kedua ada kejadian kurang menyenangkan terjadi, membuat Vadin enggan kembali. Sebetulnya Sekolah ini atmosfernya menyenangkan, sekolah ini terlihat lebih hidup daripada sekolah-sekolah lain yang kami kunjungi. Bahkan lebih hidup daripada sekolah swasta Vadin sebelumnya yang sudah dijajalnya dua minggu itu, mungkin karena guru kelasnya cukup kreatif membawakan materi belajarnya, banyak kegiatan bermainnya, anak-anak juga tidak dituntut untuk harus melakukan ini itu, program bulanannya jelas, biaya juga jauh lebih terjangkau, bahkan bisa dibilang sangat ramah kantong. Terlebih lagi masuk hanya senin-jumat, jam belajar juga tidak terlalu lama hanya 3 jam belajar, hari Rabu dan Kamis boleh mengenakan baju bebas dan bersandal. Dalam hati saya sudah cocok dengan sekolahan ini. Sekolahannya biasa saja, tidak gedung yang menjulang megah, halamannya pun relatif lebih sempit jika dibandingkan dengan sekolah TK lainnya. Lokasinya juga masuk gang, tenggelam di antara perumahan-perumahan megah di sekitar lokasi. Tapi suasananya hidup. Hari pertama Vadin mencoba, Vadin terlihat lebih santai dan bisa menikmati, saya pun ikut berada di dalam kelas menemani.
Kelegaan ini sayangnya harus berakhir pada saat jam istirahat pada hari kedua trial. Vadin serta merta menangis, meraung karena marah. Ya, dia marah karena mainan mobil robot yang dia bawa dan dia pinjamkan ke teman-temannya diambil paksa oleh seorang guru, tanpa guru itu minta ijin sebelumnya ke vadin. Mainan itu dibawa ke kantor. Vadin yang saat itu sedang bermain ayunan berteriak, jangan, jangan ambil mainanku! Vadin menendang, marah, teriak sambil menangis. Saya, di sana, yang tadinya duduk diantara teman-teman Vadin yang meminjam mainannya merasa tidak percaya. Ada seorang guru yang mengambil mainan Vadin begitu saja tanpa minta ijin sebelumnya atau memberikan penjelasan, bahkan tidak kepada saya Ibunya yang saat itu berada di dekat teman-teman Vadin. Saya terluka, melihat vadin terluka.
Saya ingin marah. Tapi saya redam amarah saya, saya harus bisa menahan diri. Batin saya. Lalu ada satu guru lain yang menghampiri saya, sambil membawa mainan Vadin. Beliau adalah kepala sekolahnya. Mencoba mendekati vadin yang sesenggukkan di samping saya dan meminta maaf serta berusaha memberikan penjelasan ( padahal bukan beliau ini yang mengambil mainan Vadin tadi). Tapi Vadin terlanjur marah, terlanjur terluka. Bahkan dia melabeli guru yang mengambil mainan tadi dengan sebutan pencuri karena telah mengambil mainannya tanpa ijin. Dia tidak mau didekati oleh siapapun selain saya. Vadin mengajak pulang sebelum jam sekolah berakhir. Ternyata di sekolah ini dilarang membawa mainan dari rumah. Perasaan saya campur aduk saat itu, saya sampai tidak tahu lagi harus menanggapi aturan tersebut dengan sikap yang seperti apa.
Sepanjang perjalanan pulang kami diam. Setelah vadin reda tangis dan amarahnya. Kami ngobrol. Saya ajak dia berdiskusi tentang kejadian hari ini. Saya berusaha menguatkan batinnya, dan tentu berusaha menjawab rentetan pertanyaan dari Vadin tentang apa yang dia alami hari ini. Bagi saya saat itu, Vadin tampak bagai tumbuhan kecil yang ringkih, tapi ternyata akar-akarnya kuat. Seperti tumbuhan putri malu yang akarnya bisa menancap kuat dan kemudian tumbuh lagi meski sudah habis dibabat berulang kali. Ya, saya percaya vadin tumbuh menguat bahkan lebih daripada saya, Ibunya.
Kami hanya punya satu pilihan, di sebuah Taman Kanak-kanak negeri. Saya dan Vadin mendatangi tempat itu. Sayangnya, di sekolah tersebut kami tidak bisa melakukan trial dan pendaftaran akan ditutup akhir minggu itu karena berkaitan dengan tenggat waktu pengiriman data anak ke kantor dinas. Saya menimbang, saya minta pada ibu kepala sekolah untuk diberi waktu berpikir. Sebelum akhir minggu kami akan memberi kabar.
Saya berjalan keliling sekolah, melihat-lihat lingkungannya, kami tidak bisa masuk sampai ke dalam, tapi saya sempat melihat ada ibu-ibu yang masih menunggui putra-putri mereka di dalam kelas, nampaknya sekolah ini cukup ramah. Longgar aturannya, karena saya khawatir dengan sekolahan yang memaksa anak dan Ibunya untuk dipisah setelah tiga sampai seminggu masa belajar. Saya lihat halamannya luas, permainannya banyak (meski ini bukan menjadi poin pentingnya), saya melihat brosur, untuk Taman Kanak-kanak negeri, kegiatan ekstranya cukup variatif. Ada Tari , Berenang, Menggambar, Musik dan Drum Band. Bahkan anak bisa memilih ektra mana yang ingin diikuti, meski semua masuk ke kegiatan wajib namun tidak ada pemaksaan untuk anak harus mengikuti.
Datanglah sebuah pesan pribadi dari sekolahan Vadin sebelumnya. Vadin sudah membolos 2 minggu. Dan pihak sekolah ingin bertemu pada akhir minggu untuk mendiskusikan kelanjutan status vadin di sekolahan tersebut. Saya merasa dikejar oleh waktu.
Dua hari setelahnya saya mendatangi TK negeri itu. Saya membawa berkas dan sejumlah uang sebagai biaya pendaftaran. Lantas kami setelahnya diperbolehkan untuk masuk ke kelas atau ke dalam lingkungan halaman bermain di depan kelas. Di situ saya mengamati dari luar kelas. Vadin juga tampak asyik dengan teman-teman barunya yang kelihatannya lebih senang main di luar daripada di dalam kelas. Vadin bermain perosotan, kejar-kejaran, ayunan dengan teman-teman barunya tersebut. Saya baru menyadari, Vadin sebetulnya tidak sukar berteman dengan siapa saja, hanya dia memang masih pemilih dalam berteman. Dan saya rasa itu wajar. Kita orang dewasa saja, seringkali memilih juga dalam berteman.
Dua jam saya menunggui di sana, membuat saya kecut. Saya memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan vadin bersekolah di sini. Dalam dua jam tersebut, saya melihat teman-teman Vadin tadi ada yang melempar tas temannya ke tengah lapangan, saling melempari sandal, menuangkan susu kotak kemasan ke dalam wadah baskom yang berisi air bersih untuk cuci tangan, membuang sampah sembarangan, membawa bekal dan makanan yang tidak sehat, bahkan sudah meledek Vadin dan mengata-ngatai vadin Perempuan karena tempat minum Vadin bergambar kuda pony, si Rainbow Dash kesukaannya. Dan vadin dipanggil perempuan alih-alih memanggil nama Vadin. Entah kenapa, saya merasa lemas seketika itu juga. Tiga orang guru dalam satu kelas, namun tidak ada satu orang guru pun yang mendampingi anak-anak yang berada di luar kelas. Bahkan ketika saya laporkan ke guru kelasnya tentang sikap seorang anak yang membuang sampah sembarangan, yang mengata-ngatai Vadin, gurunya memang memberi nasihat ke anak tersebut, tapi sudah. Sekali saja teguran, dan selanjutnya terkesan abai. Bahkan soal sampah pun, guru tersebut seakan tidak berusaha memaksa anak tersebut untuk mengambil sampahnya dan mmbuangnya ke tempat sampah. Sampah bungkus makanan ringan itu tergeletak begitu saja di pinggir kelas.
Saya ingin menangis. Duh Gusti, hanya padaMu kami meminta kemudahan—Saya bersyukur mempunyai kawan-kawan baik, keluarga SALAM. Ibu-ibu yang dulu dan atau masih di SALAM yang bisa saya ajak berdiskusi dan mengobrol, bahkan saya meminta saran dan pertimbangan dari mereka. Saya merasa pertemuan kami semua adalah berkat, dan hadiah dari Semesta. Dari hasil obrolan kami, sepertinya memang saya harus mencoret Taman kanak-kanak negeri tersebut dari daftar pilihan saya.
Sekarang, kami tidak lagi mempunyai pilihan. Sempat saya ingin kembali saja ke SALAM atau cari sekolah alternatif lain di Yogya yang mungkin jaraknya lebih dekat, tapi lagi-lagi pertimbangan ayah Vadin banyak. Pertimbangan waktu, pertimbangan jarak, pertimbangan kesehatan, pertimbangan financial saat ini, pertimbangan kenyamanan Vadin ketika harus wira-wiri ke yogya berkereta ketika harus mengerjakan kegiatan bersama misalnya, dan hal lainnya yang saya rasa kita semua paham bahwa sekolah dengan jarak puluhan kilometer itu memang semacam PR besar.
Sepulang dari sekolahan itu saya lemas, Vadin memang tampak nyaman di sana, tapi menurut saya, sekolah tersebut terlampau longgar dan abai. Bahkan di dalam sekolah tersebut juga ada warung yang menjual jajanan tidak sehat. Saya bilang ke vadin, saya ajak dia bicara, pun saya libatkan juga ayah Vadin untuk mengambil keputusan. Akhirnya semua kami kembalikan ke Vadin dengan memberikan vadin dua pilihan. Setelah melalui berbagai pertimbangan baik dari teman, dan juga hasil mengobrol panjang dengan ayah vadin, pilihan Vadin adalah sekolah di TK swasta yang notabene membuat Vadin menangis kemejer karena mainannya diambil paksa itu, atau tetap melanjutkan ke sekolahan sebelumnya. Vadin tidak langsung memberi jawaban. Jawaban itu baru muncul sehari kemudian. Vadin memilih untuk tetap pindah, dan bersekolah di TK swasta itu. Saya sangat mengapresiasi pilihan obyektif Vadin. Saya tahu membuat keputusan itu pastilah tidak mudah bagi Vadin. Bagaimana pun dia adalah anak berusia 5 tahun. Dan masih merasa marah dengan kejadian di sekolah tersebut. Saya belajar dari Vadin. Saya belajar banyak dari seorang vadin. Saya tidak tahu harus berkata apa, tapi saya ingin dia tahu, bahwa saya bangga memiliki Vadin dan berterima kasih kepada Tuhan karena kami dipertemukan. Betapa seorang anak berusia 5 tahun telah membuat saya belajar untuk memaafkan, mengajari saya untuk menjadi lebih tangguh dan kuat.
Dan di sinilah Vadin sekarang, sudah 2 bulan kurang lebihnya vadin resmi menjadi siswa TK di sebuah sekolah swasta umum. Saya masih menungguinya, karena Vadin belum mau ditinggal pulang. Pihak sekolah juga memberikan saya kelonggaran, sampai Vadin siap. Namun, makin hari Vadin mulai menunjukkan rasa senang dan mulai memupuk rasa percaya dengan guru kelasnya, dengan temannya, dengan lingkungan sekolahnya.
Vadin terlihat lebih betah, meski satu bulan di awal Vadin juga masih sering membolos, ogah-ogahan, enggan, datang hanya saat materi kelasnya asyik menurut dia. Dari saya menungguinya di dalam kelas, di luar kelas, di bangku tunggu bawah, sampai saya berpindah di warung di luar samping sekolah. Meski sampai sekarang pun kadang ketika Vadin capek, dia ingin tidak berangkat, atau kadang-kadang ketika suasana hatinya sedang tidak baik, dia bisa tiba-tiba mogok masuk kelas. Namun, secara keseluruhan, Vadin tampak sudah bisa menjalani pertemanannya dengan baik. Guru kelasnya juga tahu bagaimana cara nyrateni Vadin. Dan kemudian saya sudah lumayan agak bisa berlega hati. Semoga dua tahun ke depan bisa berjalan dengan baik, dan menyenangkan, harapan saya.
Pekerjaan Rumah saya belum selesai dikerjakan, belum berhenti sampai di sini untuk mendampingi Vadin, membersamai kesehariannya saat ini adalah kewajiban yang harus diuji—prioritas saya semoga Istiqomah menjalankan peran Ibu dan sahabat dalam kehidupan Vadin.
Kami menunggu saat SALAM mengadakan acara di akhir pekan, karena itu akan menjadi kesempatan kami untuk mudik, pulang ke rumah, Meskipun hanya sekedar menyeruput secangkir kopi, makan sepotong gorengan, dan bercengkrama dengan keluarga SALAM. Betapa kami rindu bau air kali, dan sawah di sana, betapa kami rindu mendengar keriangan suara anak-anak yang berpetualang menuju ke pematang sawah.
Kini, kami paham, bahwa sekolah bukanlah ruang pendidikan utama bagi seorang anak. Keluarga adalah pendidik utama bagi setiap kehidupan anak yang terlahir ke dunia. Keluarga adalah poros dimana pendidikan itu bermula dan berlangsung. Keluarga tempat kasih dan cinta, tempat kembali pulang, setelah lelah berjalan jauh melakukan pencarian. []
Orang Tua SALAM
Leave a Reply