Belum lama ini, saya dan suami menonton sebuah film drama keluarga. Judulnya Searching, film ini disutradarai oleh Aneesh Chaganty. Dalam film itu mengisahkan seorang ayah single parent yang memiliki satu anak perempuan ABG.
Layaknya komunikasi milenial pada umumnya, hubungan antara ayah dan anak ini lebih banyak dilakukan via virtual. Mulai dari facetime, messenger, hingga telepon.
Cerita singkatnya, keluarga ini kehilangan sosok istri dan ibu. Dari situ muncul beberapa persoalan psikologis yang dialami baik oleh tokoh ayah maupun si anak. Hingga suatu ketika, si ayah, David Kim yang diperankan oleh John Cho mengetahui putrinya, Margot (diperankan oleh Michelle La) mengilang.
Berbagai cara dia lakukan dengan menggali jejak digital yang ditinggalkan si anak. Lewat akun media sosial si anak, tempat-tempat yang dia kunjungi, dan orang-orang yang diketahui berkawan dengan si anak di dunia maya.
Dari jejak digital si anak, diketahui pula bahwa kondisi si anak tidak baik-baik saja seperti yang selama ini si ayah pikirkan. Si anak yang terlihat rajin ternyata bolos les, hingga mengetahui bahwa si anak sama sekali tak memiliki teman yang riil.
Menonton film itu, saya dan suami sesekali saling pandang dan senggol-senggolan lengan, karena dialog dan adegan yang dialami si tokoh pernah kami alami juga, secara kami memiliki satu anak perempuan yang mulai beranjak remaja. Dan, kebetulan pula tingkahnya akhir-akhir ini bikin garuk-garuk kepala. Nonton film ini, saya, sebagai orang tua pun seolah-olah sedang berkaca.
Dalam film itu ada satu dialog yang diucapkan oleh seorang detektif ke si ayah, ketika muncul sebuah dugaan si anak kemungkinan melarikan diri dan membawa semua uang lesnya. Si ayah merasa anaknya tidak mungkin melakukan hal itu.
“Terkadang anak melakukan sesuatu di luar pengetahuan kita, terkadang kita juga merasa tak mengenal anak kita dengan apa yang sudah dia lakukan. Itu hal wajar, dan bukan salahmu sebagai orang tua,” begitu ujar si detektif.
Dialog itu pula seolah menampar saya, karena hal itu juga yang saya rasakan ketika anak saya melakukan hal yang tidak terpuji. Selama berhari-hari saya dan suami tak habis pikir, apa sih yang ada di benak anak saya. Kami merasa sudah mengajari hal yang benar, kami merasa sudah memberikan pemahaman mana yang harus dilakukan dan tidak, bahkan kami memilihkan sekolah yang sedari awal memberikan ruang berpikir seluas-luasnya bagi anak saya. Lalu apa yang salah? Di mana letak keteledoran kami?
Berhari-hari saya dan suami berdiskusi tentang peristiwa itu. Ya, mungkin salah saya, salah kami, yang kurang “ngeh” melihat kesulitan yang dialami anak saya. Hingga jalan pintas tak terpuji itu yang dia ambil. Peristiwa itu pun menjadi pelajaran buat kami sekeluarga, saya, suami, dan anak saya sendiri.
Kami pun kembali membuat kesepakatan, seperti yang sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan di sekolahnya (Salam), untuk saling terbuka dan cerita segala sesuatu yang kami alami. Dengan begitu, saat di antara kami ada persoalan, solusinya adalah kembali ke keluarga. []
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply