Sebuah liputan beberapa tahun silam saya dapati di website ihwal bagaimana SALAM (Sanggar Anak Alam) dibentuk, dirawat, dan digembirakan oleh pendiri dan warga belajar SALAM. Dalam liputan tersebut Bu Wahya diwawancarai dan diturunkan judul reportase sangat menarik menurut saya: “Dari Rumah, Mendidik Masyarakat.”
Tanpa bermaksud berlebihan untuk mengatakan bahwa masyarakat harus dididik dan lembaga pendidik adalah pemilik dan sekaligus sumber pengetahuan, sebenarnya kalimat tersebut mewakili semangat emansipatif untuk belajar sama-sama, menjadikan alam sekitar sebagai guru. Biar bagaimanapun terminologi pendidikan untuk masyarakat adalah sebuah terminologi yang positif — walaupun untuk beberapa hal menjadi praktik dehumanisasi akut seperti yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan dengan nalar profit oriented.
Barangkali kesimpulan Itu yang saya tahu setelah saya menjadi bagian ‘agak dekat’ dari komunitas SALAM dan Forum Orang Tua SALAM (FOR SALAM). Karena merasa lumayan dekat, saya sendiri memberanikan diri untuk membuat catatan yang tentu saja berguna bagi diri saya sendiri sebagai upaya membangun refleksi agar pilihan-pilihan sadar berkomunitas melalui SALAM menjadi tindakan-tindakan yang bermakna. Jika pembaca mendaatkan manfaat dari tulisan sederhana ini, itu juga kebahagiaan tersendiri.
Dari rumah saya menceritakan warga rumah yang menjadi bagian dari anak-anak yang belajar di Sanggar anak alam. Begini saya mulai ceritanya:
Tidak biasanya, Hafiz bangun jam 4 pagi. Bangun pagi-pagi hanya berlaku untuk sesuatu yang sangat istimewa baginya. Juga bagi keluarga kami pada umumnya seperti hari raya. Tanggal 8 April adalah salah satu hari istimewa yaitu diselenggarakannya kegiatan tahunan di SALAM yaitu pasar ekspresi ke-10. Karenanya, Hafiz dan adiknya bangun pagi pagi sekali walaupun malamnya juga tidur larut malam jam 22.30 malam untuk mempersiapkan jualan jus jambu. Ia mengupas buah jambu, menyiapkan botol, memasukkan ke botol, menutup dan memasukkan dalam kotak. Rencana berjualan ini sudah direncanakan baik-baik dan memang sudah terlatih dengan kegiatan Pasar Senen Legi di SALAM.
Hal menarik lainnya ketika akan partisipasi berjualan adalah soal plastik. “…nanti bisa didenda loh kalua pakai plastic untuk menjual barang di SALAM”, tegur hafiz ketika kita memutuskan berjualan dengan botol. “..ya nanti kita bayar denda dan kita akan bawa pulang bekas botolnya jika memungkinkan…”. Hafiz sudah terima dengan jawaban itu dan melanjutkan aktifitasnya. Ya, SALAM mempunyai komitmen mengurangi penggunaan plastik sebagai bagian dari keberpihakan kepada bumi, meminjam Bahasa Pak Yos dalam orasi lelang/doorprize, yang telah ‘menjadi saksi’ hidup dan mati manusia, lahir dan meninggal—sehingga secara sadar dan konsisten manusia seharusnya tidak menyia-nyiakan bumi. Itulah yang disebut dengan “Bumi Sparsamudra”—memang keren banget, dalam sesi yang sangat santai pembagian doorprize di SALAM yang penuh humor kita juga diperkenalkan dengan pengetahuan baru oleh ‘juru bicara’ yang juga Bahasa inggrisnya sudah menyerupai native speaker #pakyos. Mau tak mau, ketika menuliskan ini, saya juga harus belajar apa itu bhumi sparsamudra (hasil membaca saya, kata tersebut diartikan sebagai “Earth-witness”, Bumi menjadi saksi penciptaan dan kepunahan). Inilah salah satu kekuatan komunitas SALAM yang pantas diapresiasi yaitu tradisi belajar di bumi dengan pengetahuan langit. Artinya, komunitas pembelajar yang terus menerus menyambungkan apa yang filosofis dengan yang praktis: praksis pendidikan.SALAM juga mempunyai ‘nilai-nilai’ penting dari pendidikan memanusiakan manusia. Selain itu di SALAM mempunyai prioritas beberapa program yang disepakati bersama yaitu pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Keempatnya tak terpisahkan. Saya kembali diingatkan oleh Bu Wahya pada saat sambutan kemarin. Program ini sangat mendesak diperjuangkan untuk hidup manusia yang bermakna.
Saya tahu persis, orang tua SALAM, fasilitator, dan penyelenggara kegiatan belajar di SALAM nampaknya mengamalkan filosofi hidup, sedikit bicara banyak berkarya. Tapi, bukan golongan karya yang pro-pembangunanisme yang berakhir pada jebakan dehumanisasi dalam prosesnya, membangun dengan disambi menghancurkan.
Pasar ekspresi ke-10, tidak jauh berbeda dengan subtansi dan cerita pasar-pasar ekpresi sebelumnya yaitu kegiatan yang menjadi ajang kegembiraan dan kebahagiaan, karenanya di acara tersebut banyak terdengar ucapan #SALAMGembira atau #SALAMBahagia oleh pengisi acara. Tulisan ini sama sekali tak mampu menggambarkan situasi gembira di pasar gembira kemarin. Tulisan bergaya features barangkali akan lebih baik menceritakan keceriaan kegiatan ini terutama keceriaan penari sampur kuning yang dimainkan ‘members’ keluarga besar SALAM. Tari kolosal yang mampu menyihir penonton dari kebutaan terhadap budaya, menjadi tercipta kesadaran baru akan kekuatan kebudayaan bangsa. Tarian kolosal ala SALAM ini seperti ada spirit manunggaling SALAM dengan alam semesta. Juga antara anak-anak, orang tua,dan dengan penyelenggara pendidikan (pendiri, pengurus lembaga). Semua tampilan dalam pasar ekspresi 10 menunjukkan dunia kita baik-biak saja, kita masih optimis dengan gembira berbuat kebaikan untuk komunitas, keluarga, dan masyarakat secara luas.
Kebahagiaan juga tercermin bahwa semua orang mempunyai kesempatan berpartisipasi dalam berbagai aktifitas pasar ekspresi. Semua warga belajar mulai KB sampai SMP menunjukkan kegembiraan melalui penampilan yang beragam dan penuh warna warni kesenian: nyanyi, puisi, menari, jimbe, drama, dll. Ada yang berjualan, dan ada anak-anak dan orang tua yang sebulan terakhir kerja keras latihan untuk menunjukkan kesungguhan belajar sebelum tampil di panggung. Orang tua dan fasi berjibagu berhari-hari menyiapkan berbagai kebutuhan dan pelengkapan untuk mensukseskan kegiatan: dekorasi yang keren, t-shirt yang dahsyat pesan-pesannya dan penuh ketinggian kreatifitas. Praktik volunterisme tingkat tinggi berhasil ditunjukkan warga SALAM dalam berbagai ekspresi: membawa makanan, minuman, berbagai snacks ala potluck. Makanan dan minuman ini dapat diambil secara free oleh setiap peserta pasar ekspresi dan juga pengunjung pada umumnya.
Alasan bergembira itu selalu ada sebagai warga SALAM. Saya selalu antusias menyambut anekaragam desain dan kaos/t-shirt yang diproduksi keluarga SALAM setiap ada kegiatan selalu muncul desain-desain baru yang menggembirakan dan super inspiring bagi banyak orang (seharusnya hehe). Kali ini desain kaos ada beberapa seperti logo pasar SALAM 17-10 (pasar ekpresi ke-10 dan ulang tahun SALAM ke-17), kami tidak seragam, sekolah biasa saja, dan kaos dengan pesan pendidikan Tan Malaka di dada dengan warna hijau menyala: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Big appreciate untuk tim kreatif SALAM dan setuju agar bangsa indonesia “terus berkarya jangan berharap pada negara (Emha Ainun Nadjib)”. Manusia-manusia SALAM haruslah sudah teruji di dalam pusaran praktik pendidikan yang makin ugal-ugalan dan hancur lebur. Menjadi waras selalu baik dan menjaga keluarga agar tak tertular sakitnya negara adalah keniscayaan — berkomunitas di SALAM saya kira adalah bagian dari upaya pertahanan kita #campaign.
“Gembira dan kreatif! Bagi saya manusia SALAM adalah manusia-manusia kreatif. Di dalamnya mengalir interaksi manusiawi, fasi, ortu, penyelenggara kegiatan membaur dalam mozaik mozaik kreatifitas yang menunjukkan tingginya kebudayaan yang dibalut dalam kehidupan sehari-hari. Pasar ekspresi adalah panggung kreatifitas penuh inspirasi terutama bagi manusia SALAM. Bravo pasar ekspresi 10 dan selamat ulang tahun SALAM ke-17.”, status ini saya pasang di beberapa social media saya sebagai ekpresi salah satu ornag tua SALAM dengan segela kekurangannya. Semoga itu adalah bentuk ekpresi “keguyuban” komunalitas yang sangat dianjurkan di SALAM.
Berikutnya ekpresi lainnya, dari beberapa group whatsapp keluarga SALAM juga banyak ekspresi bahagia pasca pelaksanaan kegiatan pasar ekspresi. Diantaranya saya akan mengutipkan karena ini penting, demikian:
“…bapak ibu yg berbahagia terima kasih atas kebersamaan hari ini, utk semua kerja keras dan keceriaannya.. di pasar ekspresi #10, tetap sehat dan berbahagia”, Lurah Pasar Ekspresi Dacok.
“Saya juga mengucapka terimakasih buat semua yang terlibat di pasar SALAM ke-10 ini….seneng tenan sampe ga ngerti aku tadi kesurupan opo…awake pingin obah terus je hahaha.” –Utin Rini
“Trimakasih warga SALAM semuanya. Trimakasih untuk segala proses yg dah kita lakukan. Acara hari ini luar biasaaaa. Bahagia, sukses untuk kita semua. #sungsumannya kapan?
“Hari ini menyenangkan sekali.. semuanya kerennn.. lapak laris,pentas rame,semua mau terlibat.. SALAM Yes Banget!” (Mimi)
“…Keluarga SALAM always kereeen.. Trimakasih buat semua yang sudah bekerja keras mempersiapkan acara ini. Merdeka, gembira.” (Dede Budiarti)
Hal terakhir yang saya catat adalah bahwa keluarga SALAM sebagai komunitas adalah tradisi penghargaan terhadap komunitas dan karya komunitasnya. Kegiatan lelang karya di sanggar Anak Alam kemarin sangat bermakna. Bagaimana karya anak-anak dan orang tua SALAM dihargaitinggi oleh warga komunitas sendiri. Ada yang dibeli dengan harga 350 sampai lebih dari 6 juta rupiah dan uangnya untuk sanggar anak alam. Praktik demikian saya pribadi belum menemukan komunitas pendidikan lain di muka bumi. Ini bukan lebay, dan memang itulah keterbatasan saya dan saya menjunjung tinggi praktik komunitas di dekat saya dan keluarga saya. Karena itulah sejatinya alasan mengapa kita bangga belajar bersama di komunitas. Terima kasih atas apresiasinya, dan SALAM ekspresi.
Orang tua sekaligus murid SALAM. Penggiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Penggiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas.
Leave a Reply