Blog

Paradoks Riset dalam Konteks Kemajuan dan Tantangan Kemanusiaan

Riset telah menjadi kunci bagi kemajuan bangsa kulit putih dan jJepang serta Korea Selatan, paling tidak itu yang bisa saya pahami selama bertahun-tahun ketika berinteraksi dengan para akademisi. Riset adalah sebuah siklus dalam memahami dan memecahkan persoalan tertentu yang sangat spesifik melalui serangkaian kerja intelektual yang sistematik: mengumpulkan informasi pendahuluan, berupaya memahami sesuatu hal yang spesifik sesuai kerangka pengetahuan yang telah ada sebelumnya, mengutarakan sebuah dugaan (hipotesis) berkenaan sesuatu yang belum diketahui, serta membangun sebuah argumentasi baru melalui sebuah tindakan pembuktian yang telah disusun sedemikian rupa secara metodologis. Kegiatan riset selalu memiliki ciri: kerja keras dan sungguh-sungguh yang sangat sistematik serta selalu berlanjut. Proses tersebut lah yang membedakan manusia dan mahluk lainnya sehingga kehidupan manusia selalu mampu berkembang. Hidup manusia selalu dipenuhi dengan berbagai keinginan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi serta menemukan bentuk kehidupan yang baru. Riset terbukti merupakan cara manusia untuk mewujudkan naluri tersebut secara lebih efisien. Di negara maju, hampir semua persoalan yang dihadapi selalu pemecahannya berawal dari riset karena tradisi tersebutlah yang terbukti telah memajukan kehidupan mereka selama beberapa abad terakhir. Kampus telah sejak abad ke-11 menjadi lembaga utama yang melakukan riset tersebut. Negara telah mendedikasikan bagian yang cukup besar dana serta orang-orang terbaik untuk melakukan riset.

Pertanyaan riset selalu dibangun secara sistematik karena hasil riset lebih ditentukan oleh apa pertanyaan yang diajukan (biasanya berkenaan dengan persoalan mendasar yang dihadapi oleh manusia terkait pangan, energi, lingkungan, ekonomi, politik, dll). Dalam dunia kampus, pertanyaan itu selalu berkembang secara institusional dan secara dinamis: semua peneliti dari lembaga riset di berbagai belahan dunia telah mengerti persis apa sih pertanyaan penting yang harus dipecahkan saat ini (pasti berbeda dengan pertanyaan yang diajukan oleh periode sebelumnya). Jejaring riset bersifat global, seorang peneliti yang mendalami topik tertentu pasti mengenal dan selalu berinteraksi dengan peneliti lainnya di seluruh dunia (istilah peers/komunitas bidang tertentu). Komunikasi tersebut terjalin baik secara luring (saling mengunjungi dalam kerja sama riset atau berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan secara periodik) serta secara daring (penerbitan hasil riset dalam bentuk jurnal atau komunikasi email). Tidak jarang seorang peneliti harus menjawab lebih dari 50 email yang berasal dari berbagai penjuru dunia terutama apabila yang bersangkutan dianggap menemukan sesuatu hal yang menarik dari sebuah pertanyaan riset yang sedang dikejar-kejar oleh peneliti seluruh dunia).

Salah satu bentuk pertanyaan tersebut adalah: apakah karbon dioksida yang diserap oleh daun selama proses fotosintesis itu akan digunakan untuk membangun tubuh pohon dan yang menghasilkan produksi kayu, buah atau biji-bijian yang kemudian dapat diambil manfaatnya? Pertanyaan sederhana tersebut pernah mengemuka sekitar 20 tahun yang lalu dan para peneliti dalam bidang ilmu pertumbuhan pohon dan lingkungan dari seluruh dunia sama-sama berupaya menemukan jawabannya. Pertanyaan semacam itu hanya bisa muncul di kalangan para senior yang telah puluhan tahun mendalami permasalahan lingkungan. Pertanyaan tersebut meneruskan berbagai pertanyaan generasi peneliti sebelumnya yang seolah-olah memiliki keyakinan bahwa semua karbon dioksida yang telah masuk dalam siklus fotosintesis di dalam tumbuhan akan dapat dipanen. Demikianlah pertanyaan riset itu selalu berkembang mengikuti isu yang berkembang dalam peradaban manusia dan juga sesuai perkembangan ilmu terutama ketersediaan metodologi yang mampu untuk menjawabnya. Pertanyaan tersebut belum mampu dipecahkan saat instrumen untuk membedakan fotosintesis menjadi 2 reaksi foto sistem yang berbeda dan juga instrumen yang mampu melacak isotop stabil dari unsur karbon ke seluruh bentuk metabolisme pohon belum ditemukan. Pertanyaan tersebut juga belum muncul saat dunia belum menghadapi sebuah yang dianggap saat ini sebagai sebuah krisis lingkungan global karena diyakini terlalu banyak karbon yang dilepaskan ke atmosfer sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu kestabilan iklim global.

Masing-masing kampus memobilisasi peneliti beserta infrastruktur terbaiknya termasuk mendatangkan banyak mahasiswa tingkat doktoral dari seluruh dunia. Mereka didukung oleh dana yang sangat besar kebanyakan dari dana pemerintah dan donor internasional. Pertanyaan yang nampaknya sederhana tersebut sering dijuluki sebagai “millions dollar question” karena membutuhkan dana dan energi yang sangat besar untuk menjawabnya. Hanya dalam kurun beberapa tahun saja pertanyaan semacam itu telah menghasilkan ratusan doktor baru, membangun industri fasilitas riset yang nilainya bisa setara puluhan trilyunan rupiah, puluhan ribu pengetahuan baru yang diterbitkan dalam bentuk buku maupun artikel majalah ilmiah yang dianggap sebagai yang paling bergengsi (jurnal top tier) di seluruh dunia.

Beberapa temuan yang dianggap penting dalam menjawab pertanyaan riset di atas adalah bahwa tidak semua karbon dioksida yang diserap oleh daun dalam proses fotosintesis itu mampu diolah menjadi hasil fotosintesis terutama jika pohon sedang mengalami stres akibat faktor lingkungan (terutama kekeringan atau intensitas matahari yang terlalu terik). Ternyata hanya sebagian kecil saja karbon dioksida yang terbentuk oleh fotosintesis itu mampu dimanfaatkan oleh tumbuhan tersebut, sebagian besar di antaranya dilepaskan kembali ke lingkungan (udara dan tanah).

Beberapa jawaban terhadap pertanyaan tersebut memberikan pemahaman yang lebih dalam bagi para peneliti dan pengambil kebijakan bahwa proses penyerapan karbon dioksida dari atmosfer oleh tumbuhan tidak semudah yang dulu dianggap. Hutan-hutan yang selama ini dianggap sebagai sistem yang paling efisien dalam menyimpan karbon ternyata akibat gangguan lingkungan mereka justru berperan sebagai salah satu penyumbang karbon dioksida terbesar. Pada saat terjadi musim kemarau yang panjang, hutan-hutan justru melepaskan karbon dioksida dalam jumlah yang masif, dan neraca karbon tersebut hanya mampu untuk dikembalikan selama beberapa tahun ke depan, asalkan tidak lagi terjadi periode kemarau yang ekstrim. Demikian juga dalam pertanyaan riset serupa, tergantung jenis pohon penyusunnya, hutan yang semula diyakini sebagai penyimpan air ternyata justru dapat bertindak sebagai konsumen air terbesar, bahkan di banyak tempat mengancam ketersediaan air bagi penduduk lokal.

Demikianlah kemajuan ilmu pengetahuan berlangsung dengan sangat cepat karena berbagai dukungan infrastruktur politik dan riset yang ada dalam semua disiplin ilmu pengetahuan yang ada di berbagai penjuru dunia. Potensi tersebut terbukti mampu menjawab apa saja pertanyaan yang mungkin timbul.

Perkembangan riset seharusnya mampu membentuk sebuah peradaban manusia sehingga mampu bebas dari berbagai permasalahan yang sedang mendera. Tetapi faktanya saat ini kita justru hidup dalam sebuah zaman yang penuh dengan berbagai krisis lingkungan dan kemanusiaan. Mengapa paradoks tersebut justru terjadi?

Pertama, adanya ketidaksinkronan antara dunia riset dan dunia politik yang memiliki mandat untuk menyelesaikan persoalan dan memperbaiki keadaan. Sikap dunia riset lebih mudah terjebak untuk menutup mata bahkan mengingkari adanya logika politik ekonomi dunia kekuasaan. Kekuasaan itu biasanya berlandaskan memenuhi ambisi sebagian kecil (oligarki) berlawanan dengan nilai dan moral dunia riset yang berorientasi kepada kemanusiaan. Pada akhirnya ada benang yang terputus antara “science to policy” (dampak riset).

Fenomena dominannya oligarki dalam dunia riset sehingga banyak agenda riset yang bersifat “top-down” dan melulu berorientasi kepada riset itu sendiri. Salah satu bentuk oligarki riset tersebut adalah dominasi terhadap epistemologi tertentu. Dunia riset telah menjadi sebuah piramida yang mengenal berbagai kasta. Kasta terbawah bertindak sebagai pengikut yang menyokong reputasi puncak kasta. Riset yang paling maju justru tidak berkaitan langsung dengan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Adanya bias kognitif dalam mendefinisikan sebuah pertanyaan riset sehingga banyak asumsi dalam melakukan riset justru meleset dari fenomena sebenarnya yang sedang dihadapi. Hasil riset menjadi tidak relevan terhadap solusi permasalahan yang sedang dihadapi.

Agenda riset yang terlalu dikendalikan oleh kekuasaan (oligarki negara korporasi) sehingga pemanfaatan hasil riset justru semakin mengkhianati bahkan menindas tujuan kemanusiaan.

Redundansi (tumpang tindih) agenda riset sehingga alih-alih justru telah menghabiskan energi riset. Biasanya terjadi karena budaya riset yang lebih mengutamakan imbalan (nominal maupun promosi jabatan) dan lemahnya organisasi riset dalam skala yang lebih luas.

Rendahnya kapasitas di tingkat institusi beserta penelitiannya sehingga tidak menguasai perkembangan metodologi untuk menjawab pertanyaan riset yang semakin berkembang. Riset tidak pernah mampu dikerjakan secara sungguh-sungguh sebagaimana seharusnya.

Kejahatan akademik terutama pemalsuan data akibat kebijakan yang memberikan tekanan yang terlalu berlebihan terhadap produktivitas riset.

Jika diringkas, berbagai kelemahan riset yang diuraikan di atas sehingga tercipta sebuah paradoks minimnya kebermanfaatan riset bagi tujuan kemanusiaan itu lebih dikarenakan problema lemahnya politik dalam hal riset. Hal lain yang juga krusial agar riset itu mampu berorientasi terhadap berbagai tujuan kemanusiaan adalah tantangan akhlaq di tingkat individu peneliti. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *