Suku Boti, sebuah komunitas yang terletak di dataran tinggi Gunung Lamu, bagian tengah-selatan daratan Timor, telah menjaga tradisi dan falsafah kehidupan yang unik selama bertahun-tahun. Pada tahun 1997, saya melakukan kunjungan pertama ke komunitas ini, dan dua minggu hidup bersama mereka memberikan wawasan mendalam tentang cara hidup mereka. Kunjungan kedua pada tahun 2007 bersama National Geographic juga menambah pemahaman saya tentang kehidupan mereka yang penuh makna.
Suku Boti merupakan salah satu suku tertua yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, keturunan dari suku asli pulau Timor, yaitu Atoni Metu. Mereka memilih tinggal di tempat yang jauh dari perkotaan, tersembunyi di tengah pegunungan, membuat kehidupan mereka jarang terdengar oleh dunia luar. Desa Boti, di kecamatan Niki-niki, sekitar 40 km dari kota So’e, kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi tempat tinggal mereka yang dijaga dengan ketat.
Ketahanan pangan dan sandang menjadi kunci filosofi hidup mereka, dikenal sebagai “memproduksi dan mencukupi kebutuhan sendiri”. Setiap orang dewasa dalam komunitas ini diwajibkan untuk menenun pakaian mereka sendiri, membangun rumah, dan membuat peralatan kerja. Prinsip ini, yang mirip dengan filosofi Swadesi yang dianut oleh Mahatma Gandhi, menjadi aturan yang tak terkecuali. Di bawah kepemimpinan Benu, Kepala Suku Boti, tidak ada ruang bagi permintaan atau ketergantungan pada orang lain.
Masyarakat suku Boti terbagi menjadi dua kelompok: suku Boti Dalam dan suku Boti Luar. Perbedaan mereka mencakup tempat tinggal, di mana Boti Dalam hidup di wilayah yang terpisah dan dijaga oleh pagar kayu, sementara Boti Luar menyebar di berbagai lokasi di luar desa Boti Dalam. Meskipun terdapat perbedaan ini, Boti Dalam memegang teguh adat dan budaya mereka, dan meninggalkan komunitas ini berarti berisiko diadili, dikucilkan, atau bahkan diusir.
Sistem kepercayaan suku Boti, yang dikenal sebagai Halaika, didasarkan pada Dinamisme. Mereka mempercayai dua penguasa alam, yaitu Uis Pah (Dewa Langit) dan Uis Neno (Dewa Bumi), yang memiliki peran penting dalam menjaga dan mengawasi kehidupan manusia serta alam semesta. Ritual keagamaan dilakukan di hutan yang dianggap sebagai tempat berkumpul dengan para dewa ini. Keyakinan ini merupakan pilar kuat dalam kehidupan mereka dan dipegang erat.
Bahasa yang digunakan oleh suku Boti adalah bahasa Dawan. Walaupun sebagian dari mereka sudah memahami bahasa Indonesia, kemampuan berbicara mereka dalam bahasa tersebut masih terbatas. Tradisi dan aturan adat memiliki peran yang kuat dalam kehidupan suku Boti. Semua aspek kehidupan mereka berkaitan dengan alam, dan pelanggaran terhadap aturan adat dapat mengakibatkan sanksi serta penolakan oleh komunitas.
Dalam hal pembagian tugas, lelaki suku Boti bertanggung jawab atas urusan di luar rumah, seperti berkebun dan berburu, sementara perempuan mengurus rumah tangga. Mereka menganut sistem monogami, hanya memiliki satu istri.
Sikap peduli dan saling membantu sangat terasa dalam komunitas ini. Saat ada warga yang mencuri, pendekatan suku Boti berbeda dengan kebanyakan tempat lain. Mereka tidak menghukum secara fisik, melainkan membantu dengan memberikan benda yang sama dengan yang dicuri. Pandangan ini muncul karena pemahaman bahwa pencuri berada dalam kesulitan dan kebutuhan yang mendesak. Solidaritas menjadi prinsip penting dalam komunitas ini.
Keteguhan suku Boti dalam mempertahankan tradisi pangan dan sandang, serta keyakinan kuat dalam kepercayaan dan aturan adat mereka, menciptakan sebuah contoh unik tentang bagaimana sebuah komunitas dapat hidup berdampingan dengan alam dan menghasilkan keberlimpahan dalam kesederhanaan. Meskipun dunia terus berubah, pengamalan Swadesi ala suku Boti tetap menjadi inspirasi yang berharga tentang kehidupan yang berkelanjutan dan berdampingan dengan alam.[]
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply