Suku Boti adalah salah satu suku tertua dan berasal dari Nusa Tenggara Timur dan merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Kehidupan masyarakat suku Boti sangat jarang didengar karena keberadaan tempat mereka yang jauh dari perkotaan dan sulit dicapai karena berada di tengah pegunungan.
Masyarakat Boti mendiami Desa Boti kecamatan Niki-niki yang terletak kurang lebih 40 km dari kota So’e kabupaten Timor Tengah Selatan.
Kunci ketahanan pangan, sandang mereka adalah falsafah hidup’memproduksi dan mencukupi kebutuhan sendiri’. Setiap orang dewasa wajib menenun untuk pakaiannya sendiri, papan (rumah), peralatan kerja. “Kami tak boleh memakan dan memakai yang tak bisa kami hasilkan/diproduksi sendiri” kata Benu (Kepala Suku Boti) Aturan ketat ala Swadesi gandhi ini juga berlaku tanpa perkecualian. Pemimpin tidak boleh mengajarkan meminta-minta pada rakyatnya,
Kelompok Suku Boti
Masyarakat suku Boti terbagi menjadi dua kelompok yaitu suku Boti dalam dan suku Boti luar. Perbedaan kedua kelompok tersebut adalah : Orang Boti Dalam tinggal di areal tersendiri berpagar kayu, sedangkan suku Boti Luar menyebar di berbagai lokasi di luar desa Boti dalam. Masyarakat Boti dalam masih sangat menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya. Bagi mereka yang keluar dari suku maka akan diadili, dikucilkan, atau bahkan diusir. Laki-laki suku Boti yang sudah menikah diarang untuk memotong rambut. Rambut mereka dibiarkan panjang dan diikat dengan bentuk menyerupai konde.
Agama
Kepercayaan masyarakat suku Boti menganut sistem Dinamisme dan disebut dengan nama Halaika. Dengan kepercayaan terhadap dua penguasa alam, yaitu Uis Pah (Dewa langit) dan Uis Neno (Dewa bumi). Mereka memiliki satu hutan tempat bersembah dengan ritual sendiri. Uis Pah adalah dewa yang akan menjaga, mengawasi, dan melindungi kehidupan manusia dan seluruh isinya. Sedangakan Uis Neno adalah dewa yang menentukan manusia masuk surga atau neraka. Kepercayaan dan keyakinan mereka sangat kuat dan dipegang teguh.
Bahasa
Masyarakat suku Boti menggunakan bahasa Dawan. Sebagian dari masyrakat Boti dalam sudah bisa memahami bahasa Indonesia, namun mereke blum fasih dalam berbicara.
Aturan Adat
Suku Boti memiliki banyak aturan salah satunya adalah sistem kepercayaan Halaika. Dalam kepercayaan tersebut Alam adalah jantung kehidupan bagi suku Boti, sehingga segala macam aturan berkaitan erat dengan alam. Terdapat juga aturan dalam pernikahan, dimana seorang lelaki tidak akan menikah sebelum hidup mandiri. Dan ketika sudah menikah, laki-laki dilarang memotong rambutnya. Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi dan tidak diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika. Dan mereka harus keluar dari komunitas suku Boti.
Sosial
Kehidupan masyarakat Bonti terdapat pembagian tugas antara lelaki dan perempuan. Lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sedangkan wanita mengurusi urusan rumah tangga. Masyrakat Boti menganut sistem monogami atau hanya beristri satu.
Selain itu masyarakat Boti sangat peduli, jika ada yang salah satu warga yang mencuri di desa tersebut maka pencuri itu tidak akan dihakimi secara fisik. Namun si pencuri tersebut akan dibantu warga dengan diberikan benda yang sama dengan yang ia curi. Hal ini mungkin karena masyrakat Boti memiliki pemikiran bahwa ketika ada yang mencuri berarti ia sedang dalam keadan sulit dan sangat membutuhkan. Sehingga sebagai suku yang sama, sudah merupakan kewajiban untuk membantu.
***
Keteguhan mempertahankan tradisi antara lain pangan, sandang lokal di banyak komunitas lokal di seluruh dunia, sesungguhnya memiliki dasar kepercayaan sakral. Kepercayaan semacan itulah yang masih setia dipraktikkan oleh Suku Boti di dataran tinggi Gunung Lamu, di bagian tengah-selatan daratan Timor, sekitar 19 km dari Kecamatan Niki-Niki, atau sekitar 30 km dari So’e ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jadi sekitar 124 km dari arah Kupang, ibukota Propinsi NTT.
ketika di komunitas lain terutama di daerah perkotaan dan sekitarnya, diseluruh Timor mengalami kelangkaan pangan, Orang Boti justru tak pernah mengalaminya sampai saat ini. Persediaan pangan mereka yang dikelola bersama dalam komunitas, terutama Jagung dan umbi-umbian–selalu cukup, meskipun tidak melimpah.
Kunci ketahanan pangan, sandang mereka adalah falsafah hidup’memproduksi dan mencukupi kebutuhan sendiri’. Setiap orang dewasa wajib menenun untuk pakaiannya sendiri, papan (rumah), peralatan kerja. “Kami tak boleh memakan dan memakai yang tak bisa kami hasilkan/diproduksi sendiri” kata Benu (Kepala Suku Boti) Aturan ketat ala Swadesi gandhi ini juga berlaku tanpa perkecualian. Pemimpin tidak boleh mengajarkan meminta-minta pada rakyatnya, Tegas Benu—kunjungan ke dua bersama National Geogafic pada tahun 2007
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply