Sejatinya, saya malu hati saat ditegur perempuan penerus maestro tari Mimi Sawitri ini. Meski halus, sentilannya menyadarkan saya yang ternyata hanya sekadar tahu Tari Topeng. Tak hirau mana yang berasal dari Cirebon, mana yang dari Losari. Tak paham, mana yang lebih lekat secara filosofikal dan mana yang menjadi laku ritual.
Woro-woro dari komunitas sekolah merdeka, SALAM Jogja, berhasil menautkan secuil memori saya pada Tari Topeng. Tarian magis. Sarat filosofi. Cirebon. Mendiang Mimi Rasinah! Ternyata saya salah….
Dengan ramah, dia meralat excitement saya pada kolom komentar di facebook. Bahwa yang bakal bertandang ke Sekolah berlingkungan sawah di ujung barat kota Jogja itu adalah Nani Sawitri. Perempuan beruntung bernasab cucu dari duo maestro Tari Topeng Losari, kakak-beradik Mimi Sawitri & Mimi Dewi
Berjumpa kami akhirnya di workshop singkat yang digelar Rabu siang, 16 Januari kemarin.
Maka bertemulah sumur dengan timba-timba itu. Antusiasme terhadap tradisi aseli tersulut dari kerabat Salam yang sudah tak sabar mematut-matut sampur, –selendang panjang—bakal property tari. Ruangan tak cukup menampung luapan para cantrik SALAM, fasilitator, juga ibu-ibu.
Sore gerimis menjadi hangat oleh energi yang sambung-menyambung.
Nani, perempuan berkulit putih dengan gesture tubuh yang bakoh mengajarkan gerakan-gerakan tarian magis ini. Sumber dari keseluruhan gerak adalah hati, kata dia.
Proses menari buat Nani adalah medium komunikasi transedental antara Tuhan dengan bumi. Penari, hanya semacam decoder penyampai lintas pesan. Itulah kenapa, topeng kayu kuno berumur 400 tahun yang kerap dibawanya dalam gelar tari, tak menyisakan lubang mata.
Selama menari, Nani menutup mata, dan dengan giginya menggigit karet di bagian dalam topeng, sebagai pegangan agar topeng tak terlepas dari wajah. “Mata fisik sudah tak diperlukan lagi selama menari, agar kita tak jumawa. Sekali lagi, tubuh kita hanya medium.” Ungkap Nani dalam prolog workshop kemarin.
Baik lewat tubuh maupun tutur kata, cucu perempuan yang mewarisi energi Mimi Sawitri ini, menularkan daya energik kepada semua yang hadir. Beberapa pengunjung saling berebut posisi memotret agar mendapatkan sudut pengambilan yang dimau.
Dan benar, Nani tak hirau oleh mata. Abai oleh kamera. Berkostum celana hareem hitam, berkaus gambar Spiderman merah plus scarf etnikal tenun yang ia lilitkan sekenanya menutupi sebagian rambut panjangnya, Nani memang fokus menjadikan dirinya medium. Ia mentransform diri sebagai saluran, agar anak-anak dan sebagian besar pengunjung yang turut berolah gerak, paham kemana energi tersebut diarahkan dan dimuarakan.
Dimana tubuh menumpu kaki saat posisi naga seser, misalnya. Atau galeyong yang benar membutuhkan konsentrasi agar saat posisi merendah dengan mata kaki di depan, kemudian setengah badan bagian atas meliuk kayang, tumpuan tubuh beringsut sesuai ritme. Ritme? Iya, ibarat nada dalam jiwa yang menghela wadag.
Saya beruntung disentil Nani, karena dengan itu saya tertantang untuk tahu lebih tentang tradisi. Tentang tari. Tentang simbol-simbol topeng. Tentang komunikasi dan medium yang menyublim. Tentang Nani Sawitri, perempuan perkasa penjaga tradisi. Tabik []
ORTU SALAM
Leave a Reply