Di tengah masa pandemi, anak-anak sekolah masih saja diminta untuk belajar A,B,C,D, padahal di rumah adanya E,R,Y,Z. Ruang gerak anak-anak sangat dibatasi, bermain dengan teman-teman saja sulit sekali, apalagi untuk belajar hal-hal yang di luar jangkauannya. Mungkin asumsinya bahwa, semua anak dapat mengakses internet saat ini, jadi apapun bisa didapatkan dengan mudah. Tetapi itu kan asumsi, nyatanya banyak anak belum memiliki akses internet yang memadai.
Bahkan, di tengah masa seperti ini saja, masih ada yang namanya ujian dan remedial. Ha ha ha! Sebagian anak masuk ke ruang-ruang pembelajaran digital saja sudah setengah mati, masih diberi ujian-ujian. Atau, untuk mendapatkan soal saja sudah bertaruh resiko tinggi terpapar COVID-19, karena harus mengambil ke sekolah. Betapa kakunya kurikulum kita di hadapan masa-masa chaos seperti ini.
Di masa pandemi ini, sejujurnya saya sempat merasa senang dan bermimpi di siang bolong, kalau seluruh proses pendidikan dialihkan saja ke rumah, bukan hanya tempat, tapi sistem dan apa yang dipelajarinya juga dari rumah. Jadi kurikulumnya sangat terbuka. Anak-anak bisa membangun laboratoriumnya sendiri dan berkembang sesuai dengan tahapan masing-masing, tidak perlu dipaksa untuk mengikuti yang lain.
Misalnya, anak-anak merasakan serbuk pencuci pakaian dapat membuat tangannya panas atau perih, lalu mempelajari kandungan kimianya. Lalu, menemukan kalau serbuk itu merusak lingkungan dan lebih baik mencuci menggunakan buah lerak he he he. Atau, kalau ia suka, ia bisa bereksperimen di dapur, membuat kue dan melihat bagaimana proses ragi diaktifkan, sekalian saja berpura-pura memiliki sebuah toko kue dan belajar menyajikan kue-kue itu kepada pelanggannya (anggota keluarganya sendiri).
Kegiatan anak-anak dibatasi hanya di rumah, jadi jangan minta anak-anak untuk belajar seolah-olah ia di sekolah. Anak-anak bisa belajar di mana pun.
Seperti apa yang telah dilakukan di SALAM (Sanggar Anak Alam) selama ini dan membuat saya bermimpi, kalau suatu saat sekolah seperti inilah yang saya temui di mana-mana. “Jagad Raya, Laboratorium Bagi Pembelajar yang Serba Ingin Tahu”. Saya sempat dan sepertinya harus terus berharap, bahwa pandemi inilah menjadi titik tolak transformasi bentuk pendidikan kita. Bahwa, anak-anak bisa belajar dari apa yang ia temui dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari rumah. Jadi, eksplorasi anak-anak bisa lebih luas lagi dan mereka tidak perlu menunggu waktu untuk melakukan praktikum seperti biasanya dan bahan praktikumnya juga tidak ditentukan. Mereka bisa melakukan praktikum kapanpun, karena memang cara belajarnya dengan eksplorasi.
Lantas, guru membantu anak-anak untuk membangun konstruksi pemikiran mereka dari apa yang dialami dan diamatinya dalam keseharian. Kebenaran kan dinamis, siang ini benar, sore bisa jadi sudah salah karena adanya temuan baru.
Mahasiswi Theologia Universitas Duta Wacana
Leave a Reply