Hampir seluruh tulisan dalam buku yang ditulis pada periode 80an, sudah lebih 30 tahun lalu. Namun kritik-kritik beliau terhadap institusi bernama Sekolah itu masih begitu relevan hingga saat ini. Maka saya berusaha meresensi buku Sekolah Itu Candu sebaik mungkin karena memang buku tersebut masih sangat baik dibaca sampai hari ini, detik ini.
Buku Sekolah Itu Candu saya kira menjadi buku yang paling sering saya baca, terutama ketika saya sedang menghadapi beberapa kendala pada program-program pendidikan yang saya jalani bersama lembaga Sokola Institute. Cukup duduk tenang, atau rebahan selama tiga hingga empat jam, buku Sekolah Itu Candu bisa selesai dibaca. Akan tetapi, efek yang saya rasakan usai membaca buku ini selalu bisa mengguncang pemikiran hingga lelaku saya dalam berkegiatan. Efek yang sama saya rasakan sejak pertama kali membaca buku ini pada tahun 2000an hingga membacanya untuk entah yang ke berapa kalinya sebelum akhirnya saya menulis resensi ini. Silakan dibaca jika Anda berkenan. Dan buku Sekolah Itu Candu saya sarankan mesti ada pada perpustakaan-perpustakaan pribadi Anda dan mesti sering-sering dibaca.***
Mari saya ajak Anda membayangkan berada dalam sebuah pabrik yang memproduksi sepatu (sepatu ini bisa Anda ganti dengan produk apa saja yang diproduksi dalam skala besar pada sebuah rantai produksi, mulai dari peniti hingga pesawat terbang). Pabrik itu adalah sebuah pabrik modern dengan peralatan teknologi yang cukup canggih. Para pekerjanya memakai seragam sehingga satu sama lainnya sulit dibedakan karena selain pakaiannya yang seragam, tingkah laku mereka selama proses produksi juga seragam, persis mesin produksi yang diset di tempat mereka bekerja.
Mula-mula bahan baku berupa benang, karet, vibram, dan beberapa bahan baku lainnya dibentuk sedemikian rupa pada mesin cetak sesuai dengan desain sepatu yang sudah ditentukan. Proses itu kemudian berlanjut ke pembentukan sepatu sesuai ukuran yang diinginkan menggunakan mesin yang dioperasikan beberapa orang pekerja. Sepatu yang sudah jadi tersebut kemudian diperiksa oleh tenaga ahli apakah ada catat yang menonjol setelah proses produksi. Sepatu-sepatu yang lolos uji kualitas kemudian akan dikemas dan dipasarkan. Sepatu-sepatu yang tak lolos uji kelayakan menjadi sampah produksi, atau beredar di pasar gelap dengan harga murah.
Tentu saja saya menyederhanakan proses-proses yang mesti dilalui dalam sebuah siklus produksi sepatu yang saya narasikan di atas. Karena ada proses penjahitan, pemotongan, pemasangan alas sepatu, belum lagi proses produksi tali sepatu untuk sepatu-sepatu yang menggunakan tali berada pada siklus yang berbeda dengan tubuh utama dan alas sepatu, proses pemasangan label, dan lagi, kemasan sepatu yang hendak dipasarkan juga mesti melalui tahap produksi tersendiri. Ada beberapa pintu produksi yang berdiri sendiri dengan uji kualitasnya masing-masing sebelum produk itu pada akhirnya bisa dipasarkan secara luas.
Sekarang, mari saya ajak Anda mengganti kata ‘pabrik’ dalam siklus produksi tersebut dengan sebuah institusi besar yang begitu disegani yang oleh Roem Topatimasang pada sekira 35 tahun lalu dicap sebagai sebuah candu. Institusi itu bernama ‘sekolah’. Mungkin banyak dari Anda yang tidak setuju dan menganggap saya mengada-ada mengandaikan sekolah laiknya sebuah pabrik yang memproduksi sebuah produk secara massal. Namun fakta-fakta yang berserak di lapangan sayangnya memverifikasi kenyataan pahit ini.
Pada buku berjudul Sekolah Itu Candu yang berisi catatan-catatan Roem Topatimasang tentang institusi sekolah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya, fakta itu bisa kita temukan. Meskipun sebagian besar tulisan-tulisan itu ditulis pada periode 80an, hingga saat ini, kenyataan pahit mengenai institusi bernama sekolah masih tumbuh subur laiknya jamur pada musim penghujan. Sekolah yang pada mulanya bermakna waktu luang untuk mempelajari keahlian-keahlian tertentu, menjelma pabrik besar yang memproduksi manusia-manusia seragam guna memenuhi kebutuhan dunia industri yang menurut Adam Smith sebagai sekrup yang menguatkan roda perekonomian.
Pada tulisan berjudul ‘seragam sekolah’, Roem Topatimasang membawa kita lewat sebuah narasi akan kekaguman terhadap seragam sekolah dengan kesimpulan pada ujung tulisan yang cukup menohok. Bahwa sekolah bukan hanya menuntut pesertanya seragam dalam berpakaian, lebih jauh, sekolah juga menyeragamkan peserta didik nyaris dalam segala hal. Pakaian seragam, bahasa seragam, mata pelajaran seragam, tingkah laku seragam, bahkan sekolah juga memaksakan isi kepala hingga isi hati manusia yang ada di dalamnya untuk diseragamkan.
Mereka-mereka yang dianggap melenceng dari penyeragaman sekolah, kemudian dicap sebagai murid yang nakal, bodoh, hingga pada akhirnya disingkirkan secara sistematis seperti produk-produk gagal dalam sebuah siklus pabrikasi yang tidak lolos uji kelayakan.
Institusi sekolah sama sekali tidak netral atau bebas nilai. Ia sebagai lembaga yang sudah terlanjur dianggap sebagai lembaga terbaik difungsikan sebagai lembaga yang mewariskan dan melestarikan nilai-nilai yang sedang berlaku dan direstui. Berlaku dan direstui oleh pihak yang paling berkuasa menentukan itu. Celakanya lagi, banyak pihak menganggap sekolah kini menjadi satu-satunya lembaga yang bisa dan boleh melakukan itu.
Pengkultusan sekolah sebagai satu-satunya institusi yang berhak dan berkuasa menentukan nilai-nilai yang dianggap baik hingga menyeragamkan isi kepala bahkan sampai isi hati manusia pada akhirnya menjadi candu yang betul-betul membikin ketagihan dan ketergantungan. Pada tulisan berjudul Sekolah Itu Candu yang akhirnya diambil menjadi judul buku ini, lewat kasus seorang murid SMA di Yogyakarta yang dipecat dari sekolah karena melakukan riset mandiri terkait perilaku seks remaja di Yogyakarta, Roem Topatimasang menjabarkan betapa pada akhirnya sekolah itu sudah benar-benar menjadi candu.
Meskipun perlakuan sekolah salah, buruk, dan masyarakat banyak sepakat akan hal itu, pada akhirnya, tidak bisa tidak, sekolah tetap kembali dirujuk. Alih-alih mencari alternatif lain di luar sekolah, atau mengubah sistem yang selama ini diberlakukan, ketergantungan terhadap sekolah dan sistem yang diberlakukannya sudah begitu mengakar ibarat candu, merusak namun membikin ketagihan dan kita tidak bisa melepaskan diri darinya.
Kritik, saran dan masukan oleh para ahli pendidikan, praktisi pendidikan, dan akademisi bergelombang berdatangan guna memperbaiki sistem penyeragaman yang ada di sekolah. Pada bab berjudul ‘Involusi Sekolah’, Roem Topatimasang menarasikannya dengan cukup panjang. Pemikiran-pemikiran dari para ahli berdatangan, dana untuk pendidikan ditingkatkan mencapai 20 persen dari dana APBN. Hasilnya, alih-alih perubahan mendasar dan prinsipil, keadaan stagnan saja, jalan di tempat. Beberapa hal bahkan mengalami kemunduran. Maksud hati melakukan banyak inovasi dalam dunia pendidikan, yang terjadi malah sebatas involusi, perubahan yang jalan di tempat.
Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan pemegang kuasa, sebatas pembaharuan-pembaharuan di ranah teknis. Padahal yang dibutuhkan sesungguhnya pembaharuan sistem. Tak ada pembaharuan-pembaharuan berarti pada sistem yang dianggap sudah begitu baku. Alhasil, involusi terjadi tak hanya sebatas pada sistem, namun involusi kelembagaan, involusi sikap, dan involusi pemikiran dan paradigma. Semuanya bertahan untuk jalan di tempat, bahkan pada beberapa aspek mundur ke belakang.
Pada bab berjudul ‘Robohnya Sekolah Rakyat Kami’, lewat studi kasus yang terjadi pada sekolah rakyat di kaki Pegunungan Latimojong yang terletak di perbatasan Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Barat, Roem Topatimasang menjabarkan kemunduran yang terjadi pada sistem yang diterapkan di sekolah akibat penyeragaman dalam segala aspek. Sekolah yang sebelumnya berjalan begitu kontekstual menyesuaikan lingkungan sekitar, mengajarkan pelajaran-pelajaran yang bukan sekadar mata pelajaran yang gersang tak bermakna, namun mengajarkan bagaimana manusia itu hidup dan menjadi manusia seutuhnya sedari dini, berubah drastis karena penyeragaman yang dilakukan dari pusat, dari Jakarta yang sama sekali tidak mempertimbangkan konteks lokalitas yang berbeda di tiap lokasi sekolah.
Pada akhirnya, sekolah menjadi begitu mekanistik dan tercerabut dari akar keseharian masyarakat. Ia seakan menyengajakan diri untuk memisahkan diri dari keseharian masyarakat. Sekolah menjadi begitu eksklusif. Dalam buku ini, sebuah paradoks terjadi di sekolah untuk anak-anak suku laut, Orang-Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tengah. Bukannya sistem yang berlaku di sekolah itu yang mendekatkan peserta didik dengan konteks keseharian hidup komunitas mereka, malah inisiatif guru yang menghukum anak-anak murid dengan mewajibkan mereka mencari ikan yang mendekatkan murid dengan keseharian komunitas mereka. Murid-murid terlihat begitu bahagia menjalani hukuman yang diberikan guru mereka karena terlambat menjemput guru menggunakan perahu. Mereka dihukum untuk mencari ikan dan mereka begitu menikmati hukuman itu.
Mayoritas tulisan pada buku berjudul Sekolah Itu Candu karya Roem Topatimasang ini memang ditulis pada periode 80an, ketika orde baru masih begitu kuat menguasai negeri ini hingga penulisnya sempat dipenjara karena mengkritisi rezim. Namun involusi yang terjadi pada dunia pendidikan hingga hari ini, membikin buku ini masih begitu relevan untuk dibaca, dikaji, dan dijadikan salah satu titik tolak untuk bergerak melakukan perubahan mendasar pada dunia pendidikan di negeri ini.
Mari bergerak, jangan berhenti usai membacanya!
Judul: Sekolah Itu Candu
Penulis: Roem Topatimasang
Penyunting: Toto Raharjo
Penerbit: Insistpress
Tebal: xvi + 129 halaman
Sukarelawan di SOKOLA, lembaga yang bergerak untuk memfasilitasi pendidikan bagi komunitas masyarakat adat di Indonesia.
Leave a Reply