Pada laporan 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK ditampilkan beberapa capaian kualitas pendidikan. Antara lain angka buta aksara yang menurun, penurunan jumlah siswa putus sekolah, kenaikan jumlah siswa lulus sekolah, angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (APM), dan lainnya. Secara kasat mata, sebenarnya angka-angka tersebut dengan sendirinya menunjukkan kuantitas, bukan kualitas.
Selama ini hampir dapat dikatakan bahwa antara tujuan pendidikan dan bukti capaian yang diberikan oleh pemerintah tidak sinkron. Pada dokumen Rencana strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tahun 2010-2014 misalnya, visinya “Terselenggaranya layanan prima pendidikan dan kebudayaan untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas dan beradab”.
Namun, laporan capaiannya yang juga dimuat dalam dokumen Renstra Kemdikbud tahun 2015-2019 yang disajikan adalah APK, APM, dan sejenisnya. Terang bahwa angka-angka tersebut tidak menunjukkan kualitas pendidikan. Padahal visi yang dirumuskan jelas menunjukkan kriteria kualitas yang bersifat kualitatif, misalnya “cerdas” dan “beradab”. Agaknya pelencengan terjadi ketika visi tersebut dijabarkan menjadi tujuan dan sasaran strategis, karena akhirnya sebagian besar yang muncul adalah target-target kuantitatif semua berupa persentase dan jumlah.
Hal ini bisa dilihat pada dokumen Renstra Kemdikbud 2010-2014 (2010: 41-45). Renstra tahun 2015-2019 (2015: 35-52) barangkali lebih tepat, karena pada rumusan tujuan strategis masih menunjukkan indikator kualitatif. Namun, ketika dijabarkan menjadi indikator capaian, maka semuanya ditandai dengan capaian kuantitatif. Hal-hal yang bersifat kualitatif, misalnya pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan, pada akhirnya tidak dapat terumuskan dengan baik indikator-indikator kualitatifnya.
Kriteria Kualitatif
Kita perlu merumuskan kriteria kualitas pendidikan yang tepat, bukan yang semata-mata kuantitatif. Peningkatan kualitas pembelajaran atau lulusan misalnya, ukurannya bukan persentase Sekolah Dasar (SD) yang memiliki sarana prasarana sesuai standar nasional pendidikan. Bukan pula jumlah perolehan medali siswa yang mengikuti olimpiade internasional, atau angka kelulusan 100. Melainkan, ketepatan, kebergunaan, dan kebermaknaan pembelajaran bagi kehidupan siswa riil.
Selama ini dalam Renstra Kemdikbud kualitas pembelajaran selalu diukur dari persentase sekolah memiliki sarana dan prasarana, jumlah sekolah yang terakreditasi, rata-rata nilai siswa—termasuk nilai sikap untuk mendukung program penguatan pendidikan karakter. Ketentuan ini dapat dengan mudah kita baca pada Renstra Kemdikbud 2010-2014 dan 2015-2019, terutama dalam rumusan indikator capaian.
Padahal kelengkapan sarana dan prasarana sejatinya bukan ukuran kualitas pembelajaran, yakni ketika sekolah dan guru tidak dapat mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaannya untuk pembelajaran. Akreditasi sekolah mau tidak mau harus diakui juga repot jika dijadikan ukuran kualitas. Karena secara faktual banyak sekolah menyulap dokumen, sarana dan prasarana, termasuk koleksi buku perpustakaan, hanya untuk akreditasi. Padahal sejatinya koleksi perpustakaan pinjam dari pihak lain, demikian juga fasilitas.
Barangkali yang agak tepat adalah nilai karakter siswa, yakni ketika yang dinilai guru bukan hanya sikap siswa di kelas maupun sekolah, melainkan di luar sekolah. Sayangnya, laporan mengenai kualitas pembelajaran yang dilihat dari nilai rata-rata sikap siswa tidak dapat kita temui dalam laporan capaian kualitas pendidikan dari Jokowi-JK baru-baru ini. Menurut hemat saya, kualitas pembelajaran dan lulusan sekolah setidaknya harus didasarkan pada kriteria ketepatan, kebergunaan, dan kebermaknaan bagi kehidupan riil siswa.
Kriteria kebergunaan misalnya, harus dapat dilihat betul apakah materi Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dapat berguna untuk menunjang kehidupan riil siswa. Misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat digunakan betul untuk memahami berita yang bertendensi hoaks dan yang bukan. Orientasi ini sebenarnya sudah ada dalam orientasi Kurikulum 2013 –lihat saja pada dokumen lampiran-lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 24 Tahun 2016.
Penilaian Parsial
Jika konsisten dan serius, sebenarnya penilaian hasil belajar siswa dalam implementasi Kurikulum 2013 sudah dapat menunjukkan dengan tepat capaian kualitas pembelajaran yang berguna dan bermakna bagi siswa. Konsisten dan serius di sini artinya cara menilainya sesuai kaidah penilaian yang benar dan tepat secara ilmiah dan metodologis, jujur, dan diarahkan pada penilaian otentik.
Namun, harapan ini tentu sekarang masih jauh mengingat banyak guru masih mengeluhkan penilaian hasil belajar dalam Kurikulum 2013 yang dianggap sulit. Hal yang harus dilakukan mestinya adalah membangun satu sistem dan kultur belajar yang baik di sekolah, sehingga nilai-nilai kejujuran dan profesionalitas sebagai guru dalam menilai hasil belajar terimplementasikan betul.
Yang terjadi sekarang, pemerintah dan masyarakat justru terlalu memperhatikan hasil studi lembaga lain. Misalnya survei pemeringkatan kualitas pendidikan dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), dan Programme for International Assessment (PISA). Pemerintah, masyarakat, dan pengamat pendidikan biasanya langsung merespons serius begitu hasil survei PIRLS, TIMSS, atau PISA dikeluarkan resmi.
Salah satunya berimbas pada pemberian soal yang berkarakter berpikir tingkat tinggi (high order thinking-HOT) pada siswa ketika Ujian Nasional (UN). Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kemampuan HOT rata-rata siswa Indonesia merujuk pada hasil survei-survei internasional tersebut. Padahal pada hakikatnya soal-soal berkarakter HOT dari PISA pun tidak dapat sepenuhnya jadi indikator kualitas pendidikan ketika ukuran kualitas pendidikan kita geser pada hal substansial berupa ketepatan, kebergunaan, dan kebermanfaatan bagi kehidupan riil siswa.
Sebaik apapun kualitas soal-soal dari PISA untuk mengasah dan menguji kemampuan HOT siswa, soal-soal itu tetaplah soal-soal di atas kertas. Soal-soal itu dikerjakan di ruang kelas yang harus steril dari hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi ssiwa. Memang hal yang diuji adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi, namun tak berkait langsung dengan konteks lingkungan dan permasalahan kehidupan siswa sesungguhnya. Mirip menang olimpiade sains internasional di luar negeri, namun tak berkorelasi dengan upaya mengatasi masalah riil di lapangan saat itu juga.
Pemerintah pun terlihat latah, karena menganggap survei PISA dan sejenisnya bias sampel (hanya 236 sekolah dari 90.000 Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas) maka dikembangkanlah Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI). Penilaian ini dilakukan Kemdikbud secara sampling untuk pemetaan, menyasar siswa kelas 4, 8, dan 11, yang diukur adalah kompetensi literasi, numerasi, dan sains, bersifat longitudinal, dan diarahkan untuk diagnosis dan perbaikan.
Padahal jika nilai rapor diberikan secara jujur dan sesuai prinsip-prinsip ilmiah yang dipegang dalam kebijakan Kurikulum 2013, akumulasinya sudah dapat dijadikan peta kualitas pendidikan nasional dan juga bahan perbaikan. UN sendiri sejatinya tidak bisa dijadikan peta kualitas pendidikan, karena sekadar beberapa bidang saja. UN juga bukan indikator yang tepat untuk menggambarkan kualitas pembelajaran. Bukan hanya karena nilai bagus UN bisa akibat dari program drill and practice atau Bimbingan Belajar (Bimbel) yang intensif di luar sekolah, namun soal-soalnya masih belum betul-betul berguna dan bermakna.
Pembelajaran dan pendidikan yang tepat, berguna, dan bermakna adalah yang dapat dilihat betul implikasinya bagi diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Karena sejatinya pendidikan bukan sekadar untuk membuat siswa jadi cerdas dan santun, melainkan juga diarahkan untuk mendorong transformasi sosial. Siswa-siswa yang kreatif membuat gerakan sosial pemberdayaan masyarakat, terlibat dalam gerakan beragama secara damai dan toleran, dan berani kritis terhadap praktik ketidakadilan dan korupsi, adalah contoh indikator yang tepat dari kualitas pembelajaran.
Lebih lanjut, ada atau tidak adanya kekerasan di sekolah dan tawuran pelajar juga harus dijadikan indikator kualitas pendidikan di satu sekolah atau bahkan daerah. Hal-hal inilah yang tidak muncul dalam laporan kualitas pendidikan nasional. Sudah saatnya upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditunjukkan dengan indikator kualitatif, bukan kuantitatif dalam bentuk jumlah dan persentase saja agar visi “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan sekadar slogan saja.[]
Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES), pegiat Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS)
Leave a Reply