Menjadi orang dewasa terkadang membuat seseorang merasa superior terhadap mereka yang lebih muda. Begitu pula saat berhadapan dengan anak. Rasa ”aku luwih ngerti tinimbang kowe” begitu besar. Hingga akhirnya mengabaikan bahwa seorang anak adalah individu bebas dan merdeka. Akibatnya, kita, sebagai orang dewasa dan orang tua, kadang tidak percaya terhadap keputusan yang diambil oleh anak.
Sikap itu terkadang membuat kita, orang tua, menutup kesempatan bagi anak untuk mencoba hal baru. Menutup peluang bagi anak untuk mengenali minat dan potensi yang dimilikinya. Parent kill more dreams than anybody, begitu kata sutradara film Malcolm X, Spike Lee, saat menjadi pembicara dalam Impact Symposium di Venderbilt University pada 2006 silam.
Sutradara berkebangsaan Amerika Serikat ini mengungkapkan, orang tua membatasi mimpi anaknya bukan karena mereka sengaja melakukan itu.Tapi, karena mereka merasa tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Mereka berpikir mereka lebih berpengalaman, sehingga tahu jalan terbaik untuk anak-anak mereka. Entah itu sesuai keinginan anaknya atau tidak.
Dipungkiri atau tidak, terkadang orang tua sudah membebankan tuntutan kesuksesan pada anak-anaknya. Kesuksesan versi si orang tua tentu saja. Tidak salah memang, karena setiap orang tua pasti ingin anaknya hidup lebih baik ketimbang dirinya. Tapi, anak memiliki jalannya sendiri. Dia hanya butuh kepercayaan orang dewasa untuk menjadi dirinya sendiri. Lantas sanggupkah kita sebagai orang tua percaya dengan keputusan anak? Sanggupkan kita sebagai orang tua untuk tidak abai terhadap keinginan anak?
Contoh kecilnya saat memilih sekolah untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Orang tua dengan berbagai pertimbangan memutuskan si anak harus masuk ke sekolah tertentu. Sebagai contoh saat anak lulus SMP, terkadang perbedaan pendapat mulai terjadi ketika memilih SMA versus SMK, sekolah yang mana, sampai ke penjurusan IPA versus IPS. Dalam benak orang tua, sudah terbentuk sebuah rute menuju keberhasilan bagi si anak. Jika hasil diskusi dengan anak seiring seirama tentunya akan mudah-mudah saja dijalani. Tapi bagaimana jadinya jika keinginan anak ternyata tidak selaras dengan orang tuanya? Adu argument itu pasti, Beruntung bagi mereka yang memiliki anak yang berani mengungkapkan isi hatinya dengan gamblang sehingga dapat membangun ruang diskusi. Tapi yang tidak, mungkin saja hanya akan membuat anak merasa tertekan.
“Aku ingin sekolah di kota. Tapi sayangnya, ayah sudah mendaftarkanku di sekolah dekat rumah,” ujar keponakanku suatu kali.
“Sudah kamu diskusikan dengan ayahmu?” tanyaku.
“Sudah, tapi tetap saja keputusannya begitu. Argumenku tidak mempan. Sudah terlanjur, mau bagaimana lagi,” ujarnya datar.
”Soalnya nanti kalau nekat sekolah di kota peluang untuk keterimanya tipis. Lagi pula akan lebih mudah kalau sekolah di dekat rumah. Ya jalani saja lah,” jelasnya lagi.
Jawaban dengan nada datar inilah yang membuatku khawatir. Di balik kepasrahannya, ada kekecewaan mendalam. Kata-kata Spike Lee kembali terngiang dalam kepalaku. Parent kill more dreams than anybody. Ketakutan orang tuanya menutup peluang si anak untuk mencoba dan merasakan hal baru. Sayang sekali. Seandainya ruang diskusi itu masih terbuka, aku ingin menyampaikan kata-kata kepada orang tua keponakanku, sebuah kalimat yang aku sitir dari Pendiri Sanggar Anak Alam Sri Wahyaningsih, anaklah mahaguru bagi dirinya, mereka hanya butuh kesempatan dan kepercayaan orang dewasa di sekitarnya.
Ya, anak-anak hanya butuh dipercaya. Karena menuntut ilmu bisa dimana saja, belajar bisa dari siapa saja. Tapi kesempatan hanya datang satu kali.
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply