Pemerintah saat ini tengah melangsungkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) bagi para mahasiswa. Maka, muncul pertanyaan, “Siapa yang akan merdeka?” dan “Bagaimana bentuk kemerdekaannya?”.
Berbicara mengenai program MBKM yang tengah mendapat atensi besar dari para mahasiswa (bahkan, masyarakat luas) ini, kita perlu mengenal dengan baik maksud setiap program-programnya. Di dalam program ini sendiri terdapat 8 program (kegiatan pembelajaran) yang dapat diikuti oleh setiap kampus, yakni, (1) Pertukaran Pelajar; (2) Magang/Praktik Kerja; (3) Asistensi Mengajar di Satuan Pendidikan; (4) Penelitian/Riset; (5) Proyek Kemanusiaan; (6) Kegiatan Wirausaha; (7) Studi/Proyek Independen; (8) Membangun Desa/Kuliah Kerja Nyata Tematik. Ketika saya membaca baik-baik buku panduan yang terlampir dalam laman resmi MBKM ini, ada satu bagian yang rasanya patut untuk dipertanyakan. Pada bagian penjelasan mengenai program Magang bagi mahasiswa, disampaikan mengenai tujuan dari pengadaan program ini. Tujuannya adalah sebagai berikut :
“Program magang 1-2 semester, memberikan pengalaman yang cukup kepada mahasiswa, pembelajaran langsung di tempat kerja (experiential learning). Selama magang mahasiswa akan mendapatkan hardskills (keterampilan, complex problem solving, analytical skills, dsb.), maupun soft skills (etika profesi/kerja, komunikasi, kerjasama, dsb.). Sementara industri mendapatkan talenta yang bila cocok nantinya bisa langsung di-recruit, sehingga mengurangi biaya recruitment dan training awal/ induksi. Mahasiswa yang sudah mengenal tempat kerja tersebut akan lebih mantab dalam memasuki dunia kerja dan karirnya. Melalui kegiatan ini, permasalahan industri akan mengalir ke perguruan tinggi sehingga meng-update bahan ajar dan pembelajaran dosen serta topik-topik riset di perguruan tinggi akan makin relevan.”
(Sumber : Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka 2020)
Industri yang dimaksudkan di sini adalah, perusahaan, yayasan nirlaba, organisasi multilateral, institusi pemerintah, maupun perusahaan rintisan (startup). Maka, timbul pertanyaan terhadap kalimat yang saya beri penekanan di atas, bukankah ini mengindikasikan adanya suatu usaha untuk menjaring “calon tenaga kerja” selepas lulus nanti? Nah… yang jadi masalah adalah, apakah industri kita sudah cukup sehat, sehingga mahasiswa layak menjadi pekerja di sana, setelah lulus nanti?
Kita sudah barang tentu mengenal permasalahan-permasalahan yang ada di dalam sebagian industri (atau mitra) yang disebutkan di atas. Misalnya, masalah pekerja/karyawan/buruh di sebuah perusahaan rasanya tidak kunjung usai. Bahkan, belum genap 2 tahun pasca demonstrasi para buruh, mahasiswa dan aktivis yang menuntut digagalkannya pengesahan Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) yang dinilai sangat memihak pada pemilik-pemilik perusahaan dan memiliki potensi besar akan terjadinya eksploitasi tenaga kerja/buruh. Industri kita, boleh saya katakan belum manusiawi. Sudah berulang kali, demonstrasi dilakukan oleh para buruh yang menuntut hak-haknya terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Namun, seolah nihil hasilnya. Ketidakadilan yang terjadi di dalam perusahaan-perusahaan masih sering terjadi. Untuk itu, rasanya tidak tepat membawa mahasiswa kita jauh-jauh memasuki “dunia kerja” yang semacam ini heuheu…
Lagipula, rasanya di sini kemerdekaan hanya dipahami dari segi ekonomi saja, bukan kemerdekaan seutuhnya sebagai manusia.
Tidak berhenti pada pengadaan program magang ini, keheranan saya juga semakin kuat ketika suatu pagi membaca sebuah berita yang berjudul, “Jokowi Minta Kampus Didik Mahasiswa dengan Kurikulum Industri, Bukan Dosen”. Setelah saya coba pahami isi berita tersebut, saya tetap setuju dengan judulnya. Memang presiden kita meminta, supaya kampus menyesuaikan diri dengan perkembangan industri, ya… katakan saja kemauan industri. Tujuannya, menurut Jokowi, adalah supaya mahasiswa difasilitasi untuk mampu bersaing di pasar kerja dan menjadi industriawan yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Dari pernyataan tersebut, kita dapat mengendus arah pendidikan di Indonesia, yakni untuk bekerja. Padahal, ada masalah-masalah yang urgensinya lebih besar ketimbang bersaing di pasar kerja, yakni pembangunan manusia. Mengapa mahasiswa tidak difasilitasi untuk mampu melakukan pengorganisasian masyarakat, kemudian pembangunan masyarakat? Mengapa orientasi mahasiswa tidak digerakan menuju pengentasan masalah-masalah sosial kemanusiaan yang masih menjamur di mana-mana? Orientasi kerja semacam ini akan menguatkan jiwa kompetitif dan individualistik mahasiwa, yang tidak peduli lagi dengan permasalahan yang ada di sekitarnya. Lagipula, menjadi industriawan tanpa basis-basis kemanusiaan dan orientasi akan kesejahteraan bersama, hanya akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi calon-calon buruh yang akan dieksploitasi tenaga kerjanya.
Maka, dua pertanyaan pada awal tulisan ini, masih patut kita pergumulkan Bersama. “Siapa yang akan merdeka?” dan “Bagaimana bentuk kemerdekaannya?”. Mengutip apa yang dikatakan oleh Paulo Freire, maka menurut saya, inilah gambaran kemerdekaan yang seharusnya kita raih bersama
Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi relaitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif.
Mahasiswi Theologia Universitas Duta Wacana
Leave a Reply