Mendung tengah menyelimuti kampung kami sepanjang hari Selasa ,14 Nopember 2017 lalu, saat saya hendak bersiap untuk perjalanan ke Jogjakarta mengikuti kegiatan workshop “Merancang Sekolah Merdeka”, angkatan kedua yang diselenggarakan Rabu 15 Nopember 2017 sampai dengan Sabtu 18 Nopember 2017 oleh Sanggar Anak Alam atau biasa dikenal SALAM.
“Bade siap siap, Pak ?”, tanya Herray seorang pemuda dengan logat sunda kulonnya yang masih kental.
“Iya nih…, tapi mau ujan ini, Her”.., ujarku sambil melihat selain Herray, nampak juga Dhablang, Arigot serta Temon, yang terakhir pendatang dari Garut.
“Tenang, Pak.. biar nanti dianter si Dhablang naek motor sampai stasiun Cikoya, terus bisa langsung ke stasiun Pasar Senen”, sahut Herray mencoba untuk membantu saya,
…”mau belajar jauh pisan, Pak sampe Jogja segala.. pas banget lagi hari Rebo kaya kemaren si Aja ‘ngobong’ ke Ciomas juga mesti hari Rabu, jangan-jangan mau ‘ngobong’ juga ya.. Pak??..,”cerosos Herray kemudian.
“Kita mesti belajar terus, Her.. ‘ngobong’ model begini mungkin cocok buat kita di kampung..”, ujar saya sambil merapikan ransel dan mengajak Dhablang untuk bersiap, “…yukk.. Blang kita cabut..”
Tradisi untuk permulaan pergi belajar di kobong, atau pesantren tradisional yang dibangun mayoritas menggunakan bilik bambu sebagai dindingnya, memang jatuh di hari Rabu atau Minggu, pernah saya bertanya kepada ustad , biasa mereka dipanggil, hal itu berdasarkan dari salah satu kitab yang biasa mereka ajarkan di kobong.
“ngobong’, istilah untuk belajar di kobong, banyak tersebar di Banten, untuk kampung kami terdapat 3 kobong dan desa kami memiliki 14 kampung, setidaknya terdapat minimal 14 kobong, dengan banyaknya jumlah kobong tersebut seharusnya bisa membuat Banten tidak termasuk salah satu daerah yang tertinggal pendidikannya, atau memang pencatatan dilakukaan hanya untuk anak-anak yang belajar ditempat yang sesuai dengan kurikulum pemerintah?
Entah karena dilakukannya dimulai pada hari yang sama dengan tradisi “ngobong”, karena sepengetahuan saya Salam tidak fokus untuk mengajarkan anak didiknya terhadap salah satu agama atau ajaran tertentu, atau memang minat saya untuk terus mencari cara agar anak-anak muda di kampung kami yang mayoritas tamatan SMP untuk kembali tertarik belajar, membuat saya ingin mengenal lebih jauh terhadap Dunia Salam ini.
Dunia SALAM
Para peserta workshop berasal dari berbagai daerah, insitusi, golongan namun berasal dari akar kegelisahan yang sama, kami berkumpul karena resah akan dunia pendidikan yang ada di negara ini.
Malam pertama dan kedua di Dunia SALAM, para fasilitator langsung membongkar pikiran kami, kesan ini yang saya peroleh dari ekspresi dan obrolan santai diantara kami, ada yang menarik dari pemikiran pak toto yang diutarakan kepada kami, “bahwa selama ini pendidikan yang ada mungkin menyebabkan mematikan bakat dari anak didik dengan segala kurikulum yang ada”, bahkan di malam kedua mayoritas dari kami merasakan lelah bukan karena fisik kami , namun pikiran kami yang terasa diajak seperti berkelana oleh para fasilitator seperti mas Gema, mas Yudis, dan lainnya termasuk tentunya pak Toto dan ibu Tyas, “lelah yang tertantang” ini yang saya pribadi rasakan.
“Nama saya Sekar, kelas 10 saya tertarik melakukan riset terhadap bidang tenun, sebuah awal perkenalan yang dilakukan seorang gadis muda dengan penuh percaya diri dan nyaman untuk menyampaikan ketertarikan minat dirinya terhadap dunia tenun, hal ini diperkuat oleh style dandanan baju yang dikenakannya, sudah mencerminkan seorang designer dengan segala hasrat untuk berkarya.
Selain Sekar, kelas 10 dihuni oleh 4 anak lainnya yang seluruhnya mengikuti cara “Dunia Salam” untuk memberikan kebebasan anak didiknya berkembang sesuai dengan minatnya.
Kewajiban menghilangkan gaya mengajar dikalangan para fasilitator, yang tidak ingin disebut guru, menjadi tantangan tersendiri di Dunia SALAM, tugas utama fasilitator adalah bukan mengajar melainkan memfasilitasi anak didiknya sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat untuk mengembangkan potensi setiap anak didik.
Cara pandang adalah menjadi akar untuk bisa mulai mempelajari Dunia SALAM. Adapun mengenai metode dan teknik bagaimana SALAM mencoba mencari alternatif pendidikan untuk anak bukan menjadi pokok persoalan mengapa Salam ingin berbagi dengan para peserta workshop yang datang walaupun dari berbagai daerah dan institusi ini.
Dunia SALAM memang berbeda, dan kita harus merasakan langsung bagaimana Dunia SALAM memandang semua persoalan yang ada terutama dunia pendidikan anak, dan ini yang menyebabkan Dunia SALAM menjadi sebuah negeri tersendiri didalam dunia pendidikan tanah air.
Negeri SALAM adalah negeri yang berisikan sekumpulan manusia mulai dari pendiri dan penggagas, anak didik, peran orang tua yang sangat vital, fasilitator yang terus menahan diri untuk mencari media belajar dari apapun peristiwa yang terjadi di alam semesta ini, dan masyarakat setempat.
Kami menyadari bahwa tidak akan cukup dengan hanya adanya workshop ini, namun kami sangat bersyukur karena para peserta workshop telah bisa merasakan langsung dan menjadi bagian dari keluarga besar Negeri SALAM ini.
“Pak, jangan lupa minggu malam anak-anak ngumpul”, pesan singkat WA dari Herray tokoh pemuda dikampung saya, membangunkan pikiran saya yang berkelana di Negeri SALAM untuk kembali terus mencari cara untuk anak-anak nongkrong dikampung kami menyadari betapa pentingnya selalu belajar melihat hidup ini dari berbagai cara pandang, dan mudah-mudahan bisa berkembang memahami jarak pandangnya, sudut pandangnya ataupun seni memandangnya dengan terjun langsung dan berbekal pengalaman merasakan kekuatan akar dari Negeri SALAM, dan semoga Negeri SALAM terus diberikan kekuatan dari Sang Pencipta agar dapat berjuang untuk generasi muda bangsa ini dan bangga bisa sadar untuk menjadi dirinya sendiri. ***
Kampung Mirahat – Balaraja, Banten 20 Nopember 2017
Adam riza (Alumni Merancang Sekolah Merdeka 2)
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply