Malam yang dingin tak membuat orang-orang yang memadati WARMO (Warung Mojok) di Jalan Kapten Haryadi, Dayakan, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman beranjak pergi. Waktu bahkan sudah menunjukkan pukul 22.30, namun suasana justru kian memanas dengan diskusi yang berlangsung pada Sabtu malam (13/7) kemarin.
Diskusi dan Bincang Buku “Sekolah Apa Ini” menghadirkan ketiga penyusun buku, Gernatatiti, Karuningtyas Rejeki, Sri Wahyaningsih dengan pembahas Fawaz Al Batawy yang merupakan Pegiat Sokola Institute. Acara malam itu dipandu oleh Marsen Sinaga.
Dalam bincang buku itu, Karuningtyas atau yang akrab disapa Tyas menjelaskan banyak hal tentang Sanggar Anak Alam (SALAM) hingga latar belakang kenapa akhirnya buku ini keluar. Berbeda dengan bincang buku yang diadakan pada Ramadan lalu di Warung Kopi Dst, pada bincang buku kali ini, buku “Sekolah Apa Ini” sudah ada dan tersedia. Sehingga mereka yang penasaran tentang isi buku ini bisa langsung membelinya.
Mbak Tyas menjelaskan buku ini muncul sebagai upaya dokumentasi segala dinamika yang ada di Salam. Di sisi lain, buku ini juga memudahkan bagi orang di luar sana yang penasaran dengan SALAM. Karena buku ini sudah cukup lengkap menceritakan tentang SALAM dari yang paling fundamental. Jadi harapannya, saat ada tamu yang datang ke SALAM mereka bisa mengajukan pertanyaan yang out of the box atau justru bisa saling mendiskusikan kegelisahan tentang pendidikan yang dirasakan.
Dalam diskusi itu juga terungkap bahwa Bu Wahya, sapaan Sri Wahyaningsih, pernah disidang oleh kepaladinas di Jogjakarta terkait tidak adanya pelajaran agama di SALAM. Menurutnya, SALAM pernah dianggap sekuler hanya karena tak ada pelajaran agama.
Bu Wahya mengungkapkan, keluarga, sekolah, dan masyarakat atau lingkungan merupakan satu kesatuan dalam pendidikan. Keluarga, lanjutnya, merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Agama merupakan ranah keluarga sehingga pendidikan atau pelajaran agama diserahkan ke masing-masing keluarga. Meski begitu bukan berarti kegiatan di SALAM tanpa adanya “sentuhan” religiusitas sedikit pun. Anak-anak dan fasilitator di SALAM tetap berdoa sebelum dan sesudah berkegiatan. Saat makan pun mereka berdoa untuk berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan berkah yang diberikan.
Mendengar banyaknya penjelasan yang diberikan oleh pembicara, audience yang hadir pun seolah diubek-ubek daya berpikirnya. Tak heran, jika penanya dalam diskusi dan bincang buku kemarin cukup banyak. Setidaknya ada delapan penanya dengan masing-masing menjelaskan segala kegundahan dan kegelisahannya sebelum melemparkan pertanyaaan. Jika tiap penanya memberikan kalimat pembuka paling sebentar adalah lima menit sebelum akhirnya bertanya, bisa dibayangkan kan berapa durasinya?
Tampaknya pendidikan menjadi salah satu topik yang membuat banyak orang gundah gulana. Ada seorang penanya yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum, dia gundah dengan apa yang akan dikerjakannya nanti. Dia mengungkapkan, bahwa selama ini dia merasa dijejali dengan banyak informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya tak bisa membuatnya menentukan arah mana yang akan dia tuju kelak.
Ada pula penanya yang merasa gelisah dan kasihan dengan keponakannya yang terlalu menanggung beban berat di punggungnya karena tiap berangkat sekolah selalu membawa buku pelajaran yang beragam. Hingga ada penanya yang mempertanyakan kompetensi fasilitator di Salam serta bagaimana sebuah sekolah memikirkan packaging-nya agar menarik.
Dari semua pertanyaan yang diajukan, ada satu jawaban dari Mbak Gernatatiti yang cukup menohok tentang packaging atau label sebuah sekolah. Menurutnya, sekolah adalah tempat dimana pendidikan bisa memanusiakan manusia tanpa melihat label, tanpa melihat packaging-nya. Sebuah tempat yang membangun ekosistem belajar dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak untuk menemukan dirinya sendiri.
Gerna mengungkapkan, buku ini muncul bukan untuk mempromosikan SALAM ke khalayak luar. Bukan pula untuk menarik calon siswa untuk masuk ke SALAM. Namun untuk menyemai spirit yang SALAM miliki agar di luar sana banyak bermunculan sanggar belajar serupa.[]
#sekolahapaini
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply