Berdasar Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara. Indonesia tertinggal jauh dari Singapura yang selalu menempati peringkat tiga besar, bahkan dari Vietnam yang pada 2015 masuk peringkat 10 besar padahal mereka baru pada 2012 ikut PISA. Indonesia hanya berada di atas Kosovo, negara yang belum lama terbentuk.
Peringkat Indonesia dalam minat baca juga cukup memprihatinkan, menempati urutan 60 dari 61 negara. Meskipun saya tidak terlalu sepakat untuk hal ini karena yang menyebabkan survey minat baca kita di peringkat bawah bukan semata karena kita malas membaca, namun lebih kepada distribusi buku yang belum merata dengan baik. Banyak saya temukan anak-anak dengan minat baca tinggi di beberapa daerah tetapi mereka kesulitan mendapatkan buku. Namun bolehlah ini juga dijadikan pertimbangan dalam kualitas pendidikan di negeri ini.
Di sisi lain, prestasi individu pelajar Indonesia pada tingkat internasional begitu menjanjikan. Berkali-kali pelajar-pelajar Indonesia meraih medali emas dan menjadi juara umum dalam olimpiade sains internasional. Olimpiade sains bidang matematika, fisika, biologi, kimia, menjadi santapan empuk perwakilan pelajar negeri ini untuk merengkuh medali emas hingga dinobatkan menjadi juara umum.
Lomba-lomba kreativitas seperti kontes robot, kreasi produk ramah lingkungan, dan bermacam lomba lainnya juga rutin dimenangkan utusan pelajar dan mahasiswa dari Indonesia. Ini menjadi paradoks di negeri yang memang penuh dengan paradoks ini.
Mari kita melihat lingkup kecil dari dunia pendidikan kita di Papua sana. Mengapa saya mencuplik Papua: pertama karena di sanalah paradoks itu tampak dalam kondisi yang begitu nyata dan gamblang. Kedua, saya punya sedikit pengalaman berharga terkait kondisi pendidikan di Papua.
Bukan sekali dua pelajar Papua berhasil berprestasi di tingkat nasional juga internasional dalam bidang sains. Mereka begitu menonjol secara individu dalam salah satu mata pelajaran sains sehingga mampu bicara banyak hingga tingkat internasional. Namun di sisi lain, dalam praktik yang lebih prinsipil, kondisi pendidikan di Papua begitu memprihatinkan. Bukan satu dua anak yang pernah saya temui, mereka sudah lulus SMA namun belum lancar membaca. Di beberapa tempat, kondisi ini menjadi sebuah hal lumrah, umum, dan banyak sekali contoh kasusnya.
Adalah Ansel, salah seorang rekan saya ketika bertugas mengajar di Sokola Asmat, Mumugu Batas Batu, Kabupaten Asmat, Papua. Sekali waktu pada malam yang sunyi dan gelap begitu pekat menyelimuti rumah guru di tepi sungai Pomats, Ansel pernah bercerita pengalamannya menemukan kasus memprihatinkan di Jayapura. Ketika itu Ansel masih kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jayapura. Ia mendalami ilmu katekis. Di kampus, Ia bertemu beberapa adik kelas yang baru masuk kuliah asal Kabupaten Asmat. Mereka adalah lulusan sekolah unggulan di salah satu distrik di Kabupaten Asmat.
Ansel bertutur, mereka yang dikirim dari Asmat untuk belajar katekis di Jayapura, ketika itu seluruhnya belum lancar membaca. Lulusan SMA, SMA unggulan di Kabupaten Asmat, berangkat kuliah ke Jayapura dengan bekal belum lancar membaca. Bahkan membaca kalimat-kalimat sederhana saja. Parahnya, itu bukan kasus pertama yang Ia temukan. Sebelumnya Ia sudah beberapa kali menemukan kasus mirip dari mereka yang dikirim dari kabupaten-kabupaten yang ada di seluruh Papua.
Alih-alih hendak mengklaim keberhasilan sistem pendidikan di negeri ini dengan prestasi individual beberapa pelajar dalam olimpiade sains, sistem pendidikan kita menemukan bentuk nyata kebobrokannya dari kegagalan yang prinsipil dan bersifat komunal. Prinsipil karena yang mendasar seperti membaca saja gagal terpenuhi di Papua sana. Dan saya yakin di banyak tempat lainnya di negeri ini.
Lagipula, keberhasilan individu pelajar-pelajar Indonesia menjuarai olimpiade sains internasional, saya kira bukan keberhasilan sistem pendidikan nasional kita. Semua itu murni kecerdasan bawaan anak-anak ditambah kursus-kursus tambahan yang melelahkan di luar jam pelajaran sekolah. Saya pernah merasakan yang melelahkan itu ketika saya duduk di bangku SMP. Sepulang sekolah kami yang lolos seleksi diberi pelajaran tambahan yang begitu sulit untuk mengikuti lomba sains. Beberapa tingkat tahapan lomba harus dilalui, mulai dari lomba intern di sekolah, kemudian masuk ke tingkat rayon, lalu naik lagi ke kotamadya, provinsi, hingga nasional dan internasional. Ketika menduduki peringkat tiga olimpiade matematika tingkat kotamadya Jakarta Selatan, saya memutuskan mundur meskipun saya berhak melanjutkan lomba tingkat provinsi. Saya lelah dan jenuh dengan pelajaran-pelajaran tambahan yang diberikan. Ini saya ceritakan dengan maksud untuk menyampaikan bahwa prestasi menjuarai olimpiade sains hingga tingkat internasional bukanlah hasil dari sistem pendidikan negeri ini. Siswa-siswa memang dibentuk dan disiapkan secara khusus untuk perlombaan-perlombaan itu.
Dalam sistem pendidikan di negeri ini, menghafal, nilai-nilai yang semata uji hafalan, membangun habitat pendidikan yang penuh persaingan individu, dan bermacam aspek yang pada akhirnya melabeli murid dengan label pintar; bodoh; dan biasa-biasa saja. Semua ini murni penilaian terhadap individu semata.
Sementara aspek komunal, semisal kemampuan berkerja sama, saling membantu, toleransi, hingga kepekaan terhadap lingkungan sekitar, gagal terpenuhi. Hingga pada akhirnya, penilaian terhadap manfaat pendidikan terhadap komunitas sekitar secara langsung, tidak pernah menjadi penilaian penting dan pertimbangan utama dalam mentransfer materi pendidikan di ruang-ruang belajar.
Parahnya lagi, kita lebih mudah bangga dengan prestasi-prestasi individual pelajar sembari melupakan asas kebermanfaatan pendidikan secara komunal. Misal, kita lebih memilih menonjolkan juara olimpiade sains dibanding misalnya keberhasilan sebuah sekolah bersama seluruh elemennya membangun kemandirian ekonomi komunitas di lingkungan sekolah itu berada. Ini tentu saja karena sistem pendidikan yang ditanamkan sedari pendidikan dasar melulu perkara kesuksesan individu.
Sayangnya, hingga kini belum ada gebrakan berarti dari mereka yang memiliki kuasa dalam sistem pendidikan di negeri ini untuk bisa memperbaiki semua itu. Untuk bisa memenuhi tujuan pendidikan yang bersifat keberhasilan komunal dan berimbas besar terhadap komunitas tempat sistem pendidikan melalui sekolah-sekolah diterapkan. Yang terjadi malah keluarnya peraturan-peraturan yang membingungkan, tidak menyentuh sistem yang lebih fundamental dan prinsipil, semisal peraturan sistem zonasi sekolah.
Menyambut tahun ajaran baru tahun ini, saya dan saya yakin banyak dari kita, masih harus pesimis dengan keberhasilan sistem pendidikan di negeri ini yang diharap mampu mengakomodasi keragaman wilayah, juga keragaman minat anak-anak didik di sekolah. Entah sampai kapan pesimisme ini akan bersemayam dalam diri. []
Sukarelawan di SOKOLA, lembaga yang bergerak untuk memfasilitasi pendidikan bagi komunitas masyarakat adat di Indonesia.
Leave a Reply