Blog

Mengulik Model Pembelajaran yang Memerdekakan Anak di Sanggar Anak Alam

Sekolah kami sekolah biasa saja. Biasa dekat sesama, dekat kehidupan

Sekolah kami sekolah biasa saja. Belajar dalam kebhinekaan

SALAM, Sanggar Anak Alam. Tempat kami belajar dari kenyataan
SALAM, Sanggar Anak Alam. Pelajari hakekat kehidupan

Mendengar aku lupa, Melihat aku ingat, Melakukan aku paham

Mendengar aku lupa, Melihat aku ingat, Menemukan aku kuasai

Bait-bait kalimat di atas menjadi pembuka presentasi yang dibawakan pengelola Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta, ketika menerima kunjungan rombongan yang dipimpin Iwan Syahril, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Pauddasmen) Kemendikbud Ristek, beberapa waktu lalu. Lirik yang mengalir bagai puisi itu memiliki makna yang dalam dan sudah bisa membawa pembacanya kepada pemahaman mengenai apa itu SALAM. Tapi meskipun kita sudah bisa menangkap sekilas apa itu SALAM Yogyakarta, ada baiknya kita telisik lebih dalam. Harapannya, tentu agar kita bisa belajar lebih banyak dari mereka.

Baiklah, mari kita mulai perjalanan kita ke SALAM Yogyakarta.

SALAM Yogyakarta adalah sebuah tempat belajar yang lahir pada 1988 di desa Lawen, kecamamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara. Dikutip dari situs resminya, SALAM bermetamorfosis menjadi komunitas pemuda ANANE29 sampai saat ini. Hingga kemudian, pada 20 Juni 2000, SALAM dibangkitkan kembali oleh Sri Wahyaningih dan Toto Rahardjo di Kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta.

Berbeda dari kebanyakan sekolah formal lainnya, SALAM Yogyakarta memiliki cara pandang yang menarik: “Jagad Raya, Laboratorium Bagi Pembelajar yang Serba Ingin Tahu”.

Model Pembelajaran yang berlangsung di SALAM Yogyakarta juga menarik. Tempat ini sangat mengedepankan suasana yang menyenangkan dan menjauhkan anak-anak dari anggapan bahwa sekolah adalah penjara.

Kemudian, SALAM Yogyakarta tidak melakukan penyeragaman karena setiap orang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang berbeda-beda satu sama lain.

Yang ketiga, SALAM Yogyakarta juga tak menggunakan pendekatan hafalan. Alih-alih demikian, anak-anak didorong dan diajar untuk bisa menemukan sendiri pengetahuannya.

Keempat, di SALAM Yogyakarta anak-anak diajak untuk belajar berpikir secara terstruktur dengan menelusuri sebab akibat, serta merancang pengamatan atau riset untuk memperoleh data dan fakta, juga dengan menghadirkan peristiwa di lingkungan setempat sebagai laboratorium hidup untuk anak-anak.

Hal yang juga berbeda antara SALAM Yogyakarta dengan proses beajar mengajar pada umumnya adalah keterlibatan orangtua dan penyelenggara pendidikan.

Dalam proses belajar mengajar pada umumnya, siswa adalah satu-satunya input. Mereka ditreatment menggunakan berbagai proses, langkah, dan strategi, dengan melibatkan environmental input dan instrumental input.

Environmental input itu terdiri dari kebijakan atau regulasi, kelembagaan, nilai-nilai, serta pandangan masyarakat. Sedangkan instrumental input terdiri dari berbagai metodologi, kurikulum dan modul, guru, pengajar, pamong, serta sarana dan prasarana. Produk yang dihasilkan dari sistem ini adalah lulusan.

Sedangkan di SALAM  Yogyakarta, siswa bukan satu-satunya input. Di sini, orangtua murid (siswa) dan penyelenggara sekolah termasuk dalam input. Lewat proses, langkah, dan strategi serta environmental input dan instrumental input yang sama, keluaran atau output yang diperoleh adalah Komunitas belajar dan ekosistem belajar.

Di SALAM Yogyakarta, anak-anak benar-benar diberikan kemerdekaaan. Dalam hal apa saja?

Di antaranya dalam memilih dan menentukan tema riset serta metode yang akan digunakan. Dalam proses ini, guru bertugas untuk mendampingi, men-challenge, serta menguatkan, dan mengolah peristiwa keseharian serta melakukan proyeksi dan orientasi. Sedangkan orangtua, juga bertugas untuk mendukung dan mendampingi riset, serta mengolah peristiwa harian.

Saat riset dijalankan, pelaksanaan riset pun tak dibatasi di satu tempat. Anak-anak bisa menjalankannya di manapun. Di sekolah, di rumah, di lingkungan, atau di event-event yang tak terhitung jumlahnya di Yogyakarta.

Dari peta jalan yang semacam itu, anak-anak yang tergabung dalam komunitas SALAM Yogyakarta, diharapkan memiliki kemampuan untuk berpikir secara terstruktur atau secara kritis, mampu mengembangkan pengetahuan serta meningkakan keterampilan, dan menguatkan sikap. Keterampilan itu adalah modal-modal penting bagi mereka agar di masa depan dapat hidup mandiri.

Yang harus digarisbawahi dalam model pembelajaran di SALAM Yogyakarta, peran fasilitator atau guru, serta peran orangtua sangat penting. Bagi anak, mereka tak boleh menjadi pihak yang mendominasi atau memaksakan.

Seperti disebutkan sebelumnya, anak-anak harus dimerdekakan untuk memilih apa yang menjadi minat mereka, untuk kemudian mereka teliti. Sedangkan fasilitator berperan menguatkan melalui tantangan, refleksi diri, dan refleksi lingkungan. Kemudian, orangtua juga berperan untuk memberi dukungan dan menguatkan, misalnya dengan menyediakan sarana/prasarana yang dibutuhkan. Selama proses tersebut berlangsung, di dalamnya terjadi dialog, negosiasi, bahkan argumentasi.

Bahan belajar

Meski anak diajak untuk belajar dari lingkungan atau fenomena di sekitarnya, tetap saja dibutuhkan bahan belajar. Bahan atau dokumen belajar ini perlu ada untuk memastikan proses belajar itu berkelanjutan dan berkesinambungan. Bahan belajar itu pun tak melulu buku paket. Bentuknya bisa berupa jurnal tertulis maupun audio visual. Yang paling penting, bahan belajar itu sebisa mungkin dapat menarik antusiasme anak-anak.

Daur belajar mandiri

Di SALAM Yogyakarta, juga dikenal apa yang disebut dengan Daur Belajar Mandiri.

Daur belajar mandiri ini dibagi dalam 3 fase.

Fase pertama adalah fase perancangan. Di fase ini, anak bersama fasilitator dan orangtua, berdiskusi mengenai gagasan riset yang hendak dibuat oleh anak. Dari sekian banyak gagasan, anak kemudian diberi keleluasaan untuk memilih topik apa yang hendak dia riset.

Fase berikutnya adalah fase pendampingan. Di fase ini, anak mulai menjalankan risetnya dengan didampingi oleh orangtua dan fasilitator. Mereka juga selalu memantau bagaimana perkembangan riset yang dilakukan oleh anak. Sedangkan anak, terus mengumpulkan bahan-bahan terkait risetnya, baik berupa data tertulis maupun data visual.

Terakhir, fase presentasi. Di sini anak-anak sudah menyelesaikan risetnya dan diminta untuk mempresentasikan temuan-temuannya, baik di hadapan teman-temannya, maupun di hadapan fasilitator dan orangtua. Sedangkan fasilitator, dalam tahapan ini berperan melakukan kodifikasi hasil riset dan memproses hasil riset sebagai bahan untuk mengukur perkembangan anak-anak.

Pendidikan yang memerdekakan

Dari apa yang sudah disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan di SALAM mengandung sejumlah prinsip.

Prinsip pertama adalah pendidikan yang memerdekakan. Maksudnya, anak tidak menjadi yang diperintah atau didominasi, tetapi dianggap sebagai anak yang memiliki kemampuan untuk mengatur hidupnya sendiri.

Kedua, pendidikan yang mereka terapkan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Dasar pemikirannya, setiap anak memiliki kodrat masing-masing, keunikan masing-masing sehingga tak bisa diseragamkan. Selain itu, juga berlaku pandangan bahwa anak bukan kertas kosong.

Ketiga, pendidikan yang diterapkan di SALAM Yogyakarta adalah pendidikan yang kontekstual dengan lingkungan. Dengan belajar sesuai konteks lingkungannya, harapannya anak-anak tersebut mampu hidup dan berperan dalam masyarakat.

Keempat, pendidikan yang diterapkan di SALAM Yogyakarta adalah pendidikan yang selaras dengan alam. Sebab, di sini anak-anak diajak untuk sadar dan bersama-sama menjaga apapun yang menjadi rumah bersama mereka.

Pada akhirnya, anak-anak pun diharapkan memiliki keterampilan atau kecakapan untuk mengatur hidupnya sendiri. Keterampilan itu diasah dengan mengajak mereka mandiri dalam merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran, menentukan model pembelajaran, menentukan bahan pembelajaran, menentukan media pembelajaran, serta menentukan evaluasi pembelajaran. Pendek kata, di sini anak-anak diajak untuk menyusun kurikulum belajarnya sendiri.

Satu lagi, yang tak kalah penting, di sini anak-anak juga tidak dicabut dari akar budayanya dengan cara mengajak mereka berinteraksi dengan hal-hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari di sekitar mereka. Anak-anak juga dilatih untuk menjalankan perannya yang baik sebagai makhluk sosial, melalui berbagai cara, misalnya permainan, ritual tradisi, hingga adat dan kebiasaan. Mereka juga dilatih untuk berkolaborasi dan gotong royong satu sama lain.

Merdeka bukan?
Menarik bukan?

Sumber = https://bbpmpjatim.kemdikbud.go.id/site/detailpost/mengulik-model-pembelajaran-yang-memerdekakan-anak-di-salam-yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *