Blog

Mengenal “SALAM” dari “Sekolah Biasa Saja”

Catatan SALAM (Sanggar Anak Alam) di tulis dan di bukukan oleh Toto Rahardjo, buku tersebut berjudul “Sekolah Biasa Saja.” SALAM merupakan sekolah alternatif, saat ini termasuk Lembaga Pendidikan non-formal, berdiri pada tahun 2000 di Kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Bantul – Yogyakarta oleh Bapak Toto Rahardjo bersama istrinya Ibu Sri Wahyaningsih. SALAM telah mendirikan jenjang Pendidikan dari Kelompok Bermain (KB)Taman Anak  (TA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Di dalam buku “Sekolah Biasa Saja” Toto Rahardjo mengkritisi lembaga persekolahan formal yang ada selama ini sekaligus mengaplikasikan pemikirannya secara realistis dengan mendirikan SALAM sebagai Lembaga pendidikan alternatif. Dari buku ini kita dapat melihat bentuk pengabdian Bapak Toto Rahardjo dan istrinya kepada masyarakat dan kepeduliannya terhadap sekolah anak-anak kita saat ini dan untuk masa yang akan datang.

SALAM dalam “Sekolah Biasa Saja” adalah sekolah yang berlandaskan “Bhineka Tunggal Ika”, sekolah SALAM tidak menggunakan seragam seperti sekolah formal yang kita tau selama ini, tidak berbasis mata pelajaran, dan tidak memberikan mata pelajaran agama, pembelajaran agama diserahkan kepada tanggung jawab orangtua masing-masing anak. Menghargai setiap anak yang memiliki ke unikan masing-masing, anak memiliki minat dan bakat tersendiri, sehingga anak bisa memilih sendiri apa yang ingin ia pelajari. SALAM menolak penyeragaman.

Kurikulum SALAM berbasis riset, riset dipahami sebagai proses belajar anak. Setiap anak dibebaskan memilih tema risetnya masing-masing. Anak-anak ada yang memilih tema riset tentang kopi, tanaman obat, membordir, membatik, dan lain-lain. Dari tema riset yang diambil dapat memunculkan pembelajaran secara holistic, meriset tema kopi anak bisa belajar matematika, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu ekonomi, sosial, dan budaya.

Jargon “belajar berlangsung sepanjang hanyat” eksperimentasi SALAM menggunakan metodologi pembelajaran “Daur Belajar”, yaitu pengalaman-pengalaman yang distrukturkan (structural experiences learning cyrcle), metodologi ini juga telah diperkuat oleh David Kolb sekitar awal 1980-an.

Anak-anak belajar mandiri dengan pendampingan oleh volunteer. Volunteer berperan sebagai pemberi stimulus semangat belajar anak dan bukan mengisi anak dengan macam-macam pengetahuan, karena mengartikan pendidikan hanya sebagai menambah pengetahuan adalah salah besar, menambah pengetahuan bisa dengan mudah dilakukan, yaitu dengan membaca buku atau membaca tulisan-tulisan di internet, berbeda dengan belajar. Belajar adalah menghadirkan pengalaman. Menghadirkan pengalaman dengan melakukan sendiri pada anak adalah bentuk proses pendidikan yang menekankan pentingnya proses belajar dari pengalaman, seperti dinyatakan bahwa “saya dengar maka saya lupa, saya lihat maka saya ingat, saya lakukan maka saya paham, saya temukan maka saya kuasai.”

Buku “Sekolah Biasa Saja” ini menarik untuk dibaca dan dipahami baik oleh kalangan pendidik maupun masyarakat umum. Tulisan diatas hanya segelintir gambaran isinya saja, hal-hal lain yang penting mengenai isi buku ini adalah mengingatkan kita bahwa Lembaga Pendidikan formal saat ini semakin kehilangan roh-nya, mencerabut anak-anak kita dari akar lingkungan kehidupannya, semakin memisahkan anak dari lingkungan masyarakatnya, masih mereproduksi iklim belajar yang tidak menyenangkan dan tidak memberikan manfaat nyata di kehidupan anak, dan sekolah pada umumnya masih menggunakan “budaya dengar”. Bagi saya sebagai konsumen bacaan, buku ini adalah buku yang menghidupkan kembali hakikat proses belajar.

Putut Eko

Mengenal “SALAM” dari “Sekolah Biasa Saja”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *