Blog

Mengajak si Kecil Merancang Sebab-Akibat

Impresi  Alimah Fauzan, Seorang bunda pembelajar. Inisiator media pembelajaran pemberdayaan perempuan Setelah membaca buku “Sekolah Biasa Saja” dan ditulis di bawah ini.

Home Visit di Joglo Elang

Tiga tahap dalam pendidikan dasar: Pertama, mengalami sebab akibat; Kedua, memahami sebab akibat; dan Ketiga, merancang sebab akibat. (Toto Rahardjo, “Sekolah Biasa Saja”)

Suatu hari, seorang teman menceritakan perkembangan anaknya yang sekolah di Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta. Saya sendiri telah lama mengetahui tentang pembelajaran di sekolah inspiratif ini. Namun baru kali pertama saya bertanya langsung pada seorang teman yang anaknya sekolah di sana.

Informasi tentang profil Sanggar Anak Alam (SALAM) bisa kita baca dan lihat di banyak media. Silahkan pilih, mau media sosial (Medsos), media televisi mainstream, komunitas, maupun melalui video youtube. Belum lagi diskusi tak henti yang membahas sekolah inspiratif ini. Akhir-akhir ini, buku “Sekolah Biasa Saja” yang menjabarkan secara detail pembelajaran di sana, pun cukup membantu saya memahaminya meskipun anak saya tidak sekolah di sana.

“Tidak ada ujian seperti di sekolah pada umumnya, karena ujian mereka adalah membuat proyek mereka sendiri, lalu hasilnya dipresentasikan dan didiskusikan bersama teman, guru dan orang tua wali.” Ini adalah salah satu bagian dari sekian banyaknya pembelajaran penting yang saya ketahui dari SALAM.

Pikiran saya pun kembali mengingat lagi sejumlah momen bersama anak kami. Kami sangat sadar memiliki banyak keterbatasan, bukan hanya waktu namun juga kapasitas. Maka, salah satu kebiasaan kami saat sedang bersamanya di hari libur adalah dengan mengajaknya melakukan sesuatu yang jarang dilakukan di hari sekolah. Misalnya kami menantangnya membuat sesuatu, menanam sesuatu, dan sejumlah pengalaman lain di luar pengetahuan yang ia dapatkan di sekolahnya. Termasuk ketika dia berhasil membuat sebuah alat, lalu dia mendengar cerita teman saya, tentu saja saya sangat menginginkan anak saya kelak bisa sekolah di SALAM. Namun karena sekian pertimbangan melihat kondisi kami, juga keterbatasan waktu kami, lagi-lagi kami harus berpikir kembali, menimbang kembali, dan begitu seterusnya sampai saat ini. Harapannya, hasil akhir dari pertimbangan kami adalah menyekolahkannya di SALAM atau sekolah lain yang memiliki spirit pembalajaran yang mirip.

Tulisan ini bukan untuk mereview buku “Sekolah Biasa Saja”. Tidak. Meskipun saya sudah membacanya, namun saya tidak berkeinginan untuk menulis reviewnya. Buku ini tak cukup hanya sekadar direview, namun dipahami setiap proses pembelajarannya, lalu mempraktikannya dengan menyesuaikan kondisi kita.

Di setiap pembahasan pembelajaran SALAM dalam buku ini, rasanya tak ingin terlewatkan satu kata pun. Di beberapa bagian termasuk strategi pembelajaran seperti yang juga biasa saya praktikkan dalam pengorganisasian komunitas bersama para ibu dan bapak di desa.

Apa yang akan saya tulis secara bertahap di blog ini adalah hal-hal yang memang ingin saya pahami sebagai orang tua. Cara saya memahami adalah dengan membacanya, mempretelinya satu per satu dengan menuliskannya lagi sebisa saya dan berharap dapat dipahami maksudnya oleh orang lain. Saya juga mungkin akan sesuka hati mempreteli pembahasan tertentu dalam buku ini. Termasuk pembahasan tentang merangkai sebab-akibat di halaman 167-169.

Home Visit di Joglo Elang

MENGAPA SEBAB-AKIBAT?

SALAM seperti yang sudah saya bahas, memiliki konsep yang cukup bertanggungjawab dalam melatih cara berpikir anak. Artinya, konsep pendidikan bukan sekadar menambah pengetahuan anak, namun juga membantu menstrukturkan pengetahuannya dalam kehidupan pribadinya.

Kalau sekadar menambah pengetahuan itu mudah, bisa dengan membaca, juga bisa memanfaatkan media internet. Semakin bertambah usia, selain semakin menua, juga otomatis bertambah usia, tetap bukan jaminan bahwa manusia tersebut mampu menstrukturkan pengetahuannya dalam kehidupannya.

Di sini, Toto Rahardjo, sang penulis “Sekolah Biasa Saja” sekaligus inisiator SALAM, kembali menegaskan bahwa pendidikan itu pada dasarnya melatih berpikir, tidak sekadar menambah pengetahuan. Pendidikan tidak berhenti dalam dunia persekolahan tetapi merupakan proses belajar sepanjang hayat.

Tahap Pendidikan Dasar

Kalau kita sudah membaca buku “Sekolah Biasa Saja”, kita akan menemukan pembahasan tentang tiga tahap dalam pendidikan dasar:

  • Pertama, mengalami sebab akibat;
  • Kedua, memahami sebab akibat;
  • Ketiga, merancang sebab akibat.

Puncak sesungguhnya proses pendidikan adalah melatih berpikir agar mampu merancang sebab akibat. Sebab akibat yang dimaksudkan basis dalam pendidikan yakni, agar memahami semua komponen sebab-akibat sehingga dapat menahkodai kehidupannya.

Sedangkan fungsi pengetahuan adalah untuk memahami komponen-komponen sehingga mempunyai bahan untuk mengembangkan sebab-akibat tersebut. Salah satu yang dicontohkan dalam buku ini misalnya:

“Kita tahu karena ada kerusakan hutan, maka ketika hujan turun, salah satu akibatnya terjadi banjir.”

Mengapa ada kerusakan hutan? “Karena ada kerakusan manusia dalam menebang pohon, maka hutan rusak. Maka dapat disimpulkan terjadinya banjir karena ada kerakusan manusia dalam menebang pohon.”

Home Visit di Joglo Elang

Mengolah Sebab-Akibat

Oleh karena itu, “sebab-akibat” tersebut harus diolah, distrukturkan datau diproses, sebab kalau tidak diproses ya hanya naluriah belaka. Padahal yang membedakan manusia dengan hewan adalah sejauhmana kita mampu mengolah. Sehingga pengetahuan tidak hanya sekadar kosa kata.

Di sinilah kita diajak berpikir bahwa siswa seharusnya mengalami tiga hal tersebut. Jika tidak, maka anak akan menjadi mesin. Tidak bisa mengaplikasikan ilmunya. Karena tidak paham sebab-akibat. Efeknya? Maka ilmu di sekolah tidak berhubungan dengan hidupnya.

Praktik mengalami, memahami sebab dan mendisain sebab akibat akan selalu terkait dengan pekerjaan apapun. Seorang pemimpin yang tidak memahami sebab akibat, tidak akan mempunyai kemampuan memprediksi dan merencanakan.

Mengalami, memahami dan mendesain. Agar siswa memiliki kemampuan mendesain, seharusnya yang diperbesar adalah komponennya. Kesalahan paradigma pendidikan kita saat ini justru diperbesar pengetahuannya, serta lupa menyambungkan, mengaitkan dengan realitas.[]

Alimah Fauzan  ****

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *