Tulisan reflektif untuk seluruh komponen keluarga SALAM tak terkecuali, bahwa sebuah kesepakatan harus terus-menerus diingatkan, tentang makanan sehat, tentang memperlakukan gadget, penggunaan plastik dan sebagainya. Ini saatnya setiap fasilitator memperbaharui kesepakatannya.
Yang saya bayangkan ketika masuk ke SALAM adalah anak-anak yang hanya besar dan tumbuh bersama sawah dan segenap kehidupan sederhananya. Sama sekali tidak tumbuh bersama makanan instan, make up atau perangkat pintar smartphone. Nyatanya, apa yang saya bayangkan tidak sepenuhnya terjadi. Anak-anak SALAM bukanlah anak-anak super, mereka juga masih seperti anak-anak Zaman Now kebanyakan; macak (berdandan), bermain Game Mobile Legend, bermain Game kekerasan seperti GTA dan segenap ‘kesenangan’ yang hanya bisa dilakukan anak zaman now dengan gadgetnya.
Untuk urusan pangan-pun begitu, dulu saya berpikir bahwa semua makanan yang dikonsumsi oleh anak SALAM adalah makanan sehat yang setiap bahannya dapat dipertanggung jawabkan asal dan muasalnya. Tidak akan memakan makanan yang berbahaya bagi tubuh atau kelangsungan hidup orang banyak, dan hal tersebut menjadi kesadaran anak, bukan semata dilakukan karena aturan yang ditegakkan oleh sekolah. Nyatanya tidak semua yang saya bayangkan terlaksana; masih ada anak yang makan mie instan, snack ber-MSG dan segenap makanan dan minuman dengan pemanis buatan.
Saya tidaklah kecewa, hanya saja kaget, bahwa apa yang saya bayangkan ternyata tidak sepenuhnya terjadi. Sebab membendung arus sebesar ini pasti sulit sekali. Seperti halnya membendung ombak di pantai; kita tidak bisa menghilangkannya, hanya bisa memperkecil dampak dengan memecahnya. Apalagi anak-anak adalah mahluk sosial yang punya banyak teman, yang tentunya tidak hanya bersekolah dari SALAM.
‘Surga’ saya terwujud barangakali ketika SALAM beserta seluruh warganya (termasuk orang tua murid) berada di tengah hutan dan mengisolasi diri dari dunia luar. Barangkali gagasan seperti itu bisa direalisasikan. Tidak ada cara instan untuk mengajari anak, setiap nilai yang ingin kita tanamkan pada anak, harus dilakukan dengan dialogis dan berulang. Sehingga nilai yang ia terima, bukan hanya menjadi norma yang ia sendiri tidak tahu kenapa harus dilakukan, tapi ia mampu hayati sebagai pegangan kehidupan. Sama seperti orang yang menyerobot antrian, ia tahu kalo menyerobot antrian adalah tindakan yang tidak diperbolehkan, namun ia tetap melakukannya karena ia tidak tahu atau tidak menyadari konsekuensi sistemiknya. Bahwa orang yang terbiasa menyerobot antrian itu bisa saja menjadi embrio sikap untuk mengambil hak orang lain. Bahkan punya kedekatan dengan sikap nepotisme, suka menyerobot antrian sebab merasa punya ‘kuasa’ sehingga merugikan mereka yang sudah mengantri dan menjalankan kewajibannya untuk menunggu.
Yang bisa dilakukan SALAM adalah memecah ombak globalisasi, bukan menghilangkan ombak globalisasi. Meminimalkan pengaruh negatif dari luar dengan mengajari anak untuk melakukan pengendalian diri. Karena semua ‘kekacauan’ itu berasal dari tidak mampunya anak untuk mengendalikan dirinya. Pengendalian diri bukanlah hal yang mudah, ia adalah proses sepanjang masa, namun bibitnya haruslah ditanamkan sejak belia. Saya menyaksikan SALAM melakukan ini, dengan giat dan ulet, hanya saja memang butuh perjuangan yang lebih keras dan panjang agar semua kompenen dari sistem bisa menjalankan fungsinya.
Saya tidak mengatakan bahwa semua anak SALAM begitu, namun dalam pengamatan saya, beberapa memang ada. Saya selalu ingat dengan kata-kata Mbak Gerna, salah satu fasilitator SMA yang juga koordinator FORSALAM, forum Orang Tua di SALAM. Kurang lebih Mbak Gerna mengatakan pada saya “Jangan berpikir bahwa SALAM adalah surga yang semua serba ada dan serba selesai. Tidak. Bersama-sama kami masih menuju kepada yang ideal”. []
Yogyakarta, 13 Agustus 2018
Fasilitator SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply