Akhirnya, saya lulus dari universitas bersama dengan ribuan mahasiswa lainnya. Lalu teman-teman, keluarga, dan sanak-saudara pun menghamburkan ucapan selamat kepada saya yang disusul dengan pertanyaan, “Lalu, setelah lulus mau kemana?” Tentu saja, saya tidak bisa menjawab pertanyaan semacam itu secara meyakinkan. Saya, seorang sarjana yang lulus dengan nilai IPK memadai, aneka keterampilan setengah-setengah dan pengalaman kerja bakti hanya mampu menjawab, “Saya hendak mencari pengalaman dulu.”
Teringat masa kecil, ketika saya meminta kepada orang tua saya untuk berhenti sekolah karena ingin fokus menjadi pemain sepak bola. Kala itu, orang tua saya langsung bertanya, “Mau jadi apa kamu kalau tidak sekolah?”. Bukankah saya sudah bilang kalau saya ingin jadi pemain bola? Akan tetapi, keinginan itu nampaknya tidak sesuai dengan harapan orang tua terhadap saya. Pada akhirnya, saya tetap bersekolah dan karir sepak bola saya hanya mentok tingkat kabupaten.
Setelah kelulusan universitas, pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh orang tua saya menjadi berbalik, “setelah saya sekolah, mau jadi apa?”
Mungkin tidak hanya saya yang mengalami kasus seperti ini, fakta lebih dari tujuh ratus ribu lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Berarti sekolah telah mencetak sekian ratus ribu anak didiknya menjadi “para penganggur berpendidikan”, yakni orang-orang yang kesulitan menjawab pertanyaan, “Lalu, setelah bersekolah, mau jadi apa?”
Namun, anggapan bahwa sekolah adalah satu-satunya jalan menuju sukses masih tetap hidup subur, entah sampai kapan. Anggapan itu seakan-akan telah menjadi keyakinan di masyarakat akibat propaganda pentingnya sekolah di negeri ini. Tidak heran jika kemudian sekolah bisa berlaku ‘semena-mena’ terhadap siswanya, seperti menarik uang sekolah yang tinggi atau menghukum bahkan mengeluarkan siswanya yang dianggap berperilaku menyeleweng. Sekolah pun membebankan kewajiban berupa tugas-tugas maupun ulangan secara seragam kepada para siswanya yang notabene mempunyai kemampuan yang tidak sama.
Jadi, tidak heran jika banyak calon atlet kelas dunia yang prestasinya serba tanggung akibat waktu berlatihnya tersita untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, calon pelukis hebat yang lukisannya tidak mencapai level tertinggi karena harus dipusingkan dengan soal-soal matematika dan fisika, calon ahli bahasa yang tidak pernah menjadi ahli karena harus mengusahakan nilai bagus dalam pelajaran ekonomi, dan calon ahli keuangan yang putus asa akibat tidak mampu membayar biaya sekolah.
Sesungguhnya telah terbukti pada saat ini, sekolah bukan jaminan untuk sukses. Apalagi dengan aneka aturan, beban tugas, dan biaya yang tinggi, sekolah telah semakin menjauhkan dirinya dari peran lembaga pendidikan yang mencerdaskan, memerdekakan, dan memanusiakan anak didiknya. Akhirnya, saya hendak mengutip apa yang dikatakan Deddy Corbuzier dalam videonya yang berjudul ‘Sekolah Gak Guna’, yaitu “di jaman dulu, satu-satunya tempat pendidikan adalah sekolah. Jaman sekarang tidak. Jaman sekarang, pendidikan ada dimana-mana.”
Sementara itu, lagu ‘Sarjana Muda’ karya Iwan Fals yang dirilis lebih dari 30 tahun lalu terngiang-ngiang di telinga,
Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Tak berguna ijasahmu
Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
Relawan SALAM
Leave a Reply