Blog

Mahasiswa Jerman Penasaran Pola Belajar di SALAM

Hari ini SALAM (Sanggar Anak Alam) Yogyakarta kedatangan tamu rombongan mahasiswa dari Landshut Germany. Ada 10 mahasiswa yang datang. Juga dua orang dosen, Prof Dr Mechthild Wolff dan Prof Sigrid Bathke. Mereka dari jurusan Social Work.

Pengurus SALAM berfoto bersama kawan-kawan dari Landshut, Jerman

Saat datang, Prof Dr Mechthild bercerita, dia sudah hampir putus asa karena tiga kali mengirim email ke SALAM tidak dibalas. Ternyata dia mengirimkan surel ke email SALAM yang sudah tidak aktif karena dulu di-hack oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kemudian harapan tumbuh lagi ketika seorang teman, Ebi namanya, orang Jerman yang sudah lama tinggal di Yogya yang juga pemilik resto vegetarian Milas serta pemerhati anak jalanan, memberi nomor kontak saya ke Prof Dr Mechthild.

Pertemuan berlangsung dari pukul 9.00 hingga 14.00. Untuk melihat proses belajar di SALAM mereka cukup puas dengan menyaksikan video rekaman proses belajar dari liputan NET TV dan CNN TV. Mereka tidak ingin mengganggu proses belajar di kelas.

Mereka sangat antusias mengikuti diskusi sekalipun ada keterbatasan bahasa. Seorang teman dari Milas, namanya Puri, membantu menerjemahkan. Mereka memberi apresiasi dengan melontarkan beberapa pertanyaan antara lain :

  1. Dari mana mendapatkan ide merancang sekolah dengan pendekatan riset dan tidak berbasis mata pelajaran?
  2. Ada berapa banyak sekolah alternatif seperti ini di Indonesia?
  3. Apa langkah-langkah yang dilakukan SALAM untuk menyebarkan ide?
  4. Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap upaya upaya SALAM menyusun kurikulum sendiri?
  5. Siapa saja yang dapat sekolah di SALAM, berapa biayanya?
  6. Apa alasan orang memilih sekolah di SALAM yang berbayar sementara sekolah pemerintah (negeri) gratis?
  7. Bagaimana dengan anak-anak yang melanjutkan sekolah ke sekolah formal, apakah mereka mengalami kesulitan?
  8. Dari mana SALAM memperoleh dana?
  9. Bagaimana menyiapkan guru/fasilitator?
  10. Apa kendala yang dihadapi?

 

Kami mencoba menjawab semua pertanyaan di atas.

Ide mendirikan SALAM karena dilatarbelakangi oleh banyaknya anak putus sekolah dan angka pengangguran kaum intelektual (lulusan SMK dan sarjana). Ditambah lagi Indonesia sebagai negara agraris namun makanan pokok 75 % masih tergantung impor.

Kenyataan pahit ini mendorong kami berupaya untuk membenahi pendidikan, terutama pendidikan dasar. Pendidikan harus terkait erat dengan lingkungan setempat dan persoalan hidup yang riil, oleh karena itu, SALAM dalam proses belajarnya memfokuskan pada empat pilar yakni: Pangan, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Sosial Budaya. Proses pembelajarannya dari PAUD hingga SMA tidak boleh mengabaikan empat hal tersebut di atas.

Kami menghapus sekat-sekat mata pelajaran. Proses belajar dilakukan melalui riset sesuai ketertarikan masing masing anak, sehingga model pembelajaran seperti ini membutuhkan pendampingan yang intens baik dari fasilitator maupun orang tua. Oleh karena itu, SALAM membatasi jumlah siswa per kelas, satu kelas 15 anak dengan 3 fasilitator.

Pemikiran kami banyak dipengaruhi oleh YB Mangun Wijaya, Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire, dan Rabindranath Tagore. Melalui riset, anak dapat menemukan pengetahuannya sendiri.

Kami tidak tahu pasti ada berapa sekolah alternatif seperti SALAM, kami pernah menyelenggarakan pertemuan sekolah alternatif pada 2015. Kala itu yang hadir ada 53 lembaga, 150 orang peserta dewasa (pengurus lembaga) dan 100 anak.

SALAM menyebarkan ide melalui workshop, penerbitan buku, bedah buku SALAM ke beberapa daerah wilayah Indonesia. Memfasilitasi kunjungan studi banding dari guru-guru, pemerhati pendidikan, mahasiswa, pemerintah dan masyarakat umum. Memfasilitasi mahasiswa yang melakukan penelitian, dan diskusi pendidikan.

SALAM terbuka untuk semua kalangan, sekolah untuk semua.

Orang memilih sekolah di SALAM karena sadar bahwa setiap anak mempunyai talenta/potensi yang berbeda-beda. Di Salam sangat menghargai dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap anak untuk mengembangkan potensinya, belajar sesuai dengan minatnya, sehingga setiap anak mempunyai kesempatan untuk menemukan jati dirinya.

Untuk anak-anak yang melanjutkan belajar di sekolah formal untuk jenjang yang lebih tinggi sampai hari ini tidak mengalami kendala. Mereka mudah menyesuaikan diri karena sudah menemukan cara belajarnya sendiri.

Untuk memperoleh dana operasional sekolah yang utama berasal dari orang tua murid, tetapi karena rasio fasilitator dengan anak 1:5 maka biaya operasional menjadi tinggi dan tidak mungkin dibebankan ke orang tua. Untuk mengurangi beban orang tua SALAM mendirikan usaha dagang sekaligus untuk memasarkan hasil riset anak-anak seperti sabun mandi, sabun cuci, sampo, hasil kerajinan tangan, dan produk-produk lokal yang sehat produksi orang tua murid dan kerabat SALAM.

Pemerintah mulai memberi apresiasi terhadap upaya-upaya yang dilakukan SALAM, dan itu diwujudkan dengan memberi bantuan dana operasional mulai tahun 2018.

Untuk menyiapkan fasilitator SALAM, kami menyelenggarakan latihan secara periodik setiap semester. Kemudian belajar bersama mingguan, bedah buku, diskusi, konsultasi sesuai keperluan. Basis untuk menjadi fasilitator adalah kerelaan untuk memberikan diri, mencintai anak-anak, mempunyai kemauan belajar yang tinggi dan bisa bekerja sama.

Kendala yang dihadapi SALAM tidak terlalu berarti, yang paling terasa pada menjaringan fasilitator.

kawan-kawan dari Landshut Germany memberikan kenang-kenangan

Mendengar penjelasan kami dan menyaksikan video rekaman proses belajar SALAM, para mahasiswa dan dosen sangat menghargai dan memberi apresiasi. Mereka mengatakan sekolah seperti ini di Jerman dikategorikan sebagai sekolah progresif dan mahal biayanya.

Mereka sangat kagum dengan upaya-upaya yang dilakukan SALAM. Mereka juga sangat menghargai SALAM yang tidak menjadikan sekolah komersil sekalipun sangat diminati oleh masyarakat.

Mereka sangat berharap universitasnya bisa mengundang SALAM ke sana. Semoga bisa menjadi kenyataan untuk refreshing ya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *