Inisiasi. Pada suatu Senin siang yang panas, saat di halaman Sanggar Anak Alam (SALAM) sedang berlangsung Pasar Senin Legi, saya dan beberapa siswa SMA tertangkap basah sedang gabut oleh Bu Wahya. Bagaimana tidak tertangkap basah, lhawong kami nggabutnya di ruang tamu rumah Bu Wahya. Bersama Bu Wahya, kami kemudian mengupas mengapa setiap Pasar Senin Legi berlangsung, teman-teman yang duduk di bangku SMA SALAM ini ‘bingung mau ngapain’.
Temuan dari diskusi kami siang itu, Pasar Senin Legi sudah tidak cukup relevan menjadi peristiwa belajar untuk teman-teman SMA. Bu Wahya kemudian mendorong kami untuk menciptakan peristiwa belajar baru. “Mbok Sersi itu aja dibikin lagi, trus SMP dan SMA kolaborasi,” begitu usul Bu Wahya.
Senja Ekspresi (Sersi) adalah sebuah acara yang diinisiasi oleh teman-teman SMP SALAM tahun lalu. Menurut Lekha, siswi kelas 9 SMP SALAM, ide Sersi terpantik karena kondisi pandemi yang membatasi berkumpulnya banyak orang dalam sebuah acara.
Wong SALAM nggak boleh kumpul? Itu berat. Itu sebabnya, ketika kondisi sudah cukup memungkinkan, Sersi#1 kala itu digelar dengan pilihan waktu sore hari agar massa yang hadir tidak terlalu membludag.
Singkat cerita, setelah saya berkoordinasi dengan Bu Dian, fasilitator jenjang SMP, gagasan untuk kembali menyelenggarakan Sersi dalam format kolaborasi SMP-SMA mulai digaungkan. Untuk memudahkan pembentukan panitia, saya berkonsultasi dengan Bu Dian untuk membuat form pendaftaran panitia. Form itu kemudian kami sebarkan ke grup Whatsapp jenjang SMP dan SMA. Agar kepanitiaan yang terbentuk partisipatif, anak diminta untuk mendaftar secara mandiri sesuai pos di mana ia ingin bekerja dengan menghubungi saya.
Begitu form pendaftaran tersebar, mulai banyak pesan masuk. Selanjutnya, saya menjadi semacam ‘pialang’ panitia. “Bu, aku daftar perkap,” “Bu, aku pengen di usaha dana. Kerjaannya ngapain ya kira-kira?”
Hanya dalam waktu 2 hari, kepanitiaan terbentuk. Bintang, siswa SMA SALAM kelas 11 yang mengajukan diri menjadi koordinator, membentuk grup Whatsapp untuk mempermudah koordinasi pada 1 April 2023.
Memfasilitasi teman-teman panitia ini tidak sulit sama sekali karena mereka telah sarat pengalaman. Sebagian besar dari mereka pernah terlibat kepanitiaan Pasar Ekspresi dan Sersi#1. Seringkali saya yang justru bertanya, “Emang kalau sound tu sewa di mana?” “Btw, nek panggung kita biasanya pinjam siapa?”
Jadi pada rapat perdana, diskusi kami lebih banyak tentang apa ide-ide yang ingin diaktualisasi lewat Sersi, bagaimana mengemas Sersi agar berbeda dengan Pasar Ekspresi, dan kapan waktu penyelenggaraan yang paling memungkinkan. Karena format kepanitiaan belum lengkap, kami juga menyesuaikan ulang susunan kepanitiaan. Beberapa anak bersedia untuk bekerja dobel di dua divisi. Selain itu, Lekha juga mengusulkan agar Sersi kali ini diberi tajuk ‘kolaborasi’ karena dibesut bersama teman-teman SMA.
Hadap Masalah
“Niatnya kan memang membuat peristiwa belajar yang lebih menantang dari Pasar Senin Legi, to? jadi ya bagus to kalau diberi hadiah hujan berkah. Harus gimana, harus apa…Belajar tenanan,” ujar Bu Wahya dengan tenang di hari pertama penyelenggaraan acara yang diguyur hujan petir.
Benar juga. Bukan hanya soal hujan. Beberapa minggu sebelum hari-H, kami pernah berkumpul mendadak karena persoalan anggaran yang membengkak. Berbeda dengan Pasar Ekspresi (PE) yang sudah cukup punya gaung di SALAM, Sersi dalam perspektif anggota komunitas SALAM mungkin hanya ‘sekadar’ kegiatannya anak-anak SMP. Hal itu membuat akses terhadap fasilitas-fasilitas acara jadi tidak semulus dibanding Pasar Ekspresi. Begitu juga antusiasme pendaftaran di panggung dan lapak.
“Beda, Bu. Nek buat PE itu kayak gampang gitu pinjem apa-apa,” begitu keluh beberapa anak di rapat dadakan yang berlangsung 13 April 2023. “Soale ini tuh dua hari je, Bu. Jadi budget juga butuh lebih banyak juga,” celetuk yang lain. “Bu, yang daftar lapak kok dikit ya?”
“Ya tantangannya berarti di situ. Gimana bikin Sersi ini menarik, beda dengan PE, dan pengeluaran lebih ekonomis. Lhaopo meh digawe sedino?”
“Ojo, Bu. Ora gayeng!”
Begitulah. Kami kemudian berpikir keras bagaimana mengangkat ‘senja’ sebagai tema menarik. Mulai dari bentuk tenda, pencahayaan, hingga sound system dirancang ‘sesenja mungkin’. Tim acara dan lapak juga mulai membuat daftar siapa saja yang ingin diajak bergabung, lalu secara aktif menghubungi untuk mengajak berpentas dan membuka lapak.
Tidak cukup hanya menarik. Kami juga menghadapi masalah di anggaran yang, sampai rapat itu berlangsung, terbaca pasak masih lebih besar daripada tiang. Febe, siswi SMP kelas 8 yang bekerja di divisi usaha dana, melapor dengan suara lirih, “Bu, gimana ya, yang pesan tas cuma dikit je.”
Tim usaha dana memang berencana menjual merchandise selain kaos, mengingat PE yang baru saja berlangsung Maret lalu juga membuat kaos sebagai penggalang dana. “Lha gimana, bikin kaos aja po?”
“Kayaknya iya aja, Bu. Soale kalo kaos, 1 keluarga gitu bisa pesen semua kalau bagus,” sahut Febe.
Kami lalu berdiskusi bersama Banyu, siswa kelas 9 SMP SALAM, yang dalam kepanitiaan kali ini bekerja di dua divisi, ya konsumsi ya desainer, membahas tentang desain seperti apa yang ingin diusung. Hanya dalam hitungan jam, Banyu yang satset sudah berhasil membuat desain kaos yang sangat catchy. Malam itu, grup ramai dengan polling untuk menentukan di mana sablon akan diletakkan.
Untuk alasan penghematan pula, kami mengganti format acara yang sebelumnya dibuat 1 hari akustik, 1 hari full set band menjadi 2 hari akustik. Jadi kalau kemarin ada yang berkomentar pada saya, “Asik nih, dua hari full akustikan,” ketahuilah, Saudaraku. Itu adalah sebuah bentuk penghematan.
Menggalang Sponsor
Pada rapat ketiga, Bintang mendapat masukan dari Farid, siswa kelas 12 SMA SALAM yang akan berperan sebagai soundman selama Sersi#2 Kolaborasi berlangsung, tentang kualitas sound system yang ada di SALAM, yang rencananya akan kami gunakan selama acara. Setelah berdiskusi dengan tim perkap, kami sepakat untuk tetap menyewa sound system agar kualitas acara tetap terjaga. Farid juga sekaligus memberi rekomendasi tempat penyewaan yang lebih ekonomis.
Namun lagi-lagi, teman-teman berhadapan dengan persoalan anggaran yang belum berimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Saya kemudian memunculkan ide untuk mencari sponsor. Diskusi seputar sponsor ini cukup gayeng dan lucu. Tapi kalau saya tulis semua, reportase ini nggak selesai-selesai.
Jadi singkat cerita, dalam penyelenggaraan Sersi#2 Kolaborasi ini teman-teman panitia memberanikan diri untuk bernegosiasi dengan penyedia sound system dan alat musik untuk menjadi sponsor acara.
Kabar yang membahagiakan, Pak Alam, penyedia sound system, dan Pak Alex, penyedia alat musik, keduanya setuju untuk menjadi sponsor. Yang lebih seru lagi, Pak Alex bersedia menjadi sponsor selama ada proposal.
Meski sering terlibat dalam penyelenggaraan acara, teman-teman yang bekerja di kepanitiaan Sersi#2 Kolaborasi ini tidak pernah benar-benar tahu apa itu proposal. Maka ketika syarat itu datang dari Pak Alex, bahagia betul saya. Tantra, siswa kelas 10 SMA SALAM yang berperan sebagai humas, bertanya tentang siapa yang bertugas membuat proposal. Dia lantas segera menghubungi Cita, siswi kelas 9 SMP SALAM yang pada kepanitiaan kali ini menjadi sekretaris. Kami juga membahas poin-poin yang akan ditawarkan sebagai kontraprestasi sponsor.
Karena poster acara telah terpublikasi, sementara kami juga memiliki kebutuhan media placement untuk sponsor, saya mengusulkan agar Banyu membuat poster susulan sekaligus sebagai media untuk menyosialisasikan pengisi acara dan lapak.
Lagi-lagi, malam harinya grup Whatsapp penuh dengan alternatif desain poster, revisi poster, revisi lagi, dan seterusnya. Selain kagum dengan antusiasme teman-teman ini dalam bekerja, saya juga heran dengan kemampuan saya melakukan penyesuaian jam tidur. Bagaimana tidak, jika sedang ada perkara yang perlu disepakati bersama, grup Whatsapp bakal tetap ramai hingga jam 12 malam. Sementara saya, jam 10 malam biasanya sudah dipeluk selimut.
Bintang memang tidak mengagendakan banyak rapat untuk persiapan Sersi#2 Kolaborasi kali ini mengingat ada Idul Fitri yang terhimpit di tengahnya. Hampir semua koordinasi dilakukan secara daring. Namun, saya salut dengan integritas teman-teman dalam bekerja. Satu hari sebelum lebaran, Cita masih kontinyu berkirim pesan dengan saya lewat jalur pribadi untuk keperluan penyusunan proposal. Febe dan Avid bahkan rela membuka pre-order pemesanan kaos hingga H+2 lebaran dengan harapan teman-teman mereka akan memesan setelah mengantongi angpau hari raya. Sementara Tantra mengirim proposal kepada sponsor tepat di hari lebaran. Libur? Apa itu libur?
Hujan
H-1, semesta telah mengirim kami hujan. Saya sempat membuka prakiraan cuaca lewat beberapa aplikasi, dan semua memperkirakan besok sore hujan. “Nanti mau bobok berdoa semua ya. Semoga besok cerah. Senjanya 3 warna,” begitu pesan saya malam itu. Berharap prakiraan cuaca bisa ditangkis dengan doa.
Namun, esok harinya, saat panggung telah tergelar, lampu dan tenda terpasang menghias pasar, hujan datang tepat waktu. Bahkan tepat setelah Bilal dan Hesa yang sore itu berperan sebagai MC, membuka acara. Tidak hanya hujan, petir bahkan ikut menyambar-nyambar.
Tidak banyak yang bisa saya lakukan selain stand by di belakang panggung sebagai bentuk dukungan untuk teman-teman panitia. Di situ saya mengamati semua panitia berseliweran. Ada yang mengangkat alat musik, mencari pengisi acara, bahkan memasang tenda di atas panggung. Betul. Memasang tenda saat hujan sedang deras-derasnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jalu dan Sadat, duo anak kelas 9 SMP yang langganan menjadi perkap di semua kepanitiaan acara. Dibantu beberapa orang dewasa, seperti Pak Yulex, Pak Dimas, Kang Waryo, dan Dab Nono, tenda berhasil terpasang.
Sementara kami yang takut basah hanya bisa ndepipis di belakang panggung sembari membuka prakiraan cuaca. “Nanti jam 5 terang kok, Bu,” celetuk Geo yang meski tidak bergabung jadi panitia tapi ikut panik. Tampaknya dia sedang membuka aplikasi Accu Wheather. “Duh, molor berapa jam ini?” keluh Bilal dengan menatap nanar ke dinding kamar Kang Waryo.
“Trus gimana nih, Bu, kita mulai jam berapa?” tanya Ellen, siswi kelas 8 SMP SALAM yang menggawangi divisi acara. Tangannya tak lepas dari gawai karena harus menjawab pesan dari para pengisi acara yang belum mendarat di SALAM. Saya menoleh ke Bintang.
“Pie, Bin?”
“Tunggu reda wae, Bu. Lha koyo ngene derese, ora iso dipeksakne.”
“Redanya jam berapa, Bu?” tanya beberapa panitia yang lain.
Daripada sibuk bertanya-tanya tentang sesuatu yang kita pun tak tahu jawabannya, saya mengusulkan agar panitia membuat rapat darurat sembari minum wedang telang. Tim acara melaporkan belum semua pengisi acara bisa hadir. Tim lapak juga melaporkan beberapa pelapak batal hadir karena terjebak hujan.
Saya kemudian meminta teman-teman panitia membuka aplikasi prakiraan cuaca di gawai masing-masing untuk melihat prakiraan hari ini dan esok.
“Ini di hapeku katanya jam 7 udah hujan ringan, Bu.”
“Kalo di hapeku jam 3 pagi baru terang je, Bu. Pie ikii?”
Menegangkan sih. Tapi lucu.
“Besok malah jam 1 siang udah hujan, Bu.”
“Kalau di hapeku jam 2 siang.”
Kami kemudian memutuskan untuk tetap melanjutkan acara begitu hujan reda, dan menggeser agenda hari kedua ke pagi hari untuk menghindari terjadi peristiwa yang sama.
Seusai rapat, suasana belakang panggung menjadi serupa panic room. Ellen segera membuat daftar penampil yang batal tampil malam itu. Dibantu Avid, Febe, dan Cita, kwartet itu sibuk menghubungi para pengisi acara untuk konfirmasi perubahan jadwal serta membuat rundown baru untuk hari kedua.
Sementara Cahya, siswa kelas 9 SMP SALAM yang menjadi penanggung jawab lapak, tampak termenung. “Bu, aku kasihan sama pelapak yang malem ini jualan je, Bu. Kalau misal kita kasih diskon atau gratiskan aja sewa lapaknya gimana?”
“Boleh. Bisa gratis atau seikhlasnya saja gitu,” usul saya.
“Oke, Bu. Tak bikin kata-katanya ya?”
‘Kata-kata’ kalau dalam kepanitiaan ini maksudnya ‘narasi’. Setiap kali ada divisi yang perlu membuat pengumuman untuk disebarkan, pasti mereka akan sibuk bertanya satu sama lain, “Kata-katane pie, Ghaess?”
Singkat cerita, malam itu hujan akhirnya sedikit reda. Kami memutuskan tetap melanjutkan acara di tengah gerimis. Lalu keesokan harinya, saat semua acara telah digeser ke pagi hari, hujan tak setitik pun turun di bumi Nitiprayan. Begitulah peristiwa belajar. Sarat dengan kejutan.
Sersi#2 Kolaborasi hari kedua berjalan baik. Meski tidak terselenggara di senja hari seperti tajuknya, namun suasana santai yang ingin kami bangun cukup terasa. Selain itu, tim usaha dana juga berhasil membuat kemasan baru dari tradisi doorprize Pasar Ekspresi. Doorprize yang biasanya dikumpulkan panitia dalam bentuk donasi untuk diundi dengan kupon undian, kali ini diperebutkan lewat lapak game. Tatto, siswa kelas 8 SMP SALAM yang selain bekerja di divisi konsumsi juga menjadi penanggung jawab lapak game, tampak sangat bangga dengan keberhasilan game rancangannya meraup rupiah. “Bu, lihat ni, Bu. Dapet segini lho. Lumayan to?” ujarnya sembari memamerkan toples berisi uang hasil penjualan lapak.
Beberapa hari usai acara, dari bendahara dan tim usaha dana, saya juga mendapat laporan bahwa keuangan Sersi#2 Kolaborasi kali ini aman. Selain mampu mengembalikan modal awal sisa kas Sersi#1, kepanitiaan kali ini juga mampu menambah kas untuk penyelenggaraan Sersi berikutnya.
Meski hati saya sempat dibuat kacau oleh cuaca dan segala metode prakiraannya, namun saya bangga bisa menjadi rekan belajar teman-teman panitia Sersi#2 Kolaborasi kali ini. Dengan begitu saya mendapat previledge untuk bisa melihat lebih dekat resiliensi para remaja ini dalam menghadapi masalah. Sersi#2 Kolaborasi membuat saya makin yakin bahwa untuk membaca kreatifitas, ketekunan, kedisiplinan, dan spontanitas tidak melulu membutuhkan bangku dan ruang kelas. Sebuah peristiwa belajar yang dirancang di luar jam belajar pun bisa menjadi mikroskop untuk mengamati nilai-nilai baik yang tumbuh dalam diri anak. []
#SenjaEkspresi #2
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply