Blog

KHAZANAH ETNOGRAFI PENDIDIKAN (3)

Selain isinya yang memberi gambaran cukup lengkap dan menyeluruh tentang landasan pemikiran, acuan dasar, cara, media, tata laksana, suasana, dan capaian kegiatan pendidikan di SALAM, buku “Sekolah Tanpa Jurusan” ini menjadi lebih menarik karena merupakan kumpulan catatan harian salah seorang fasilitator di sekolah di pinggiran Kota Yogyakarta.

Jadi, isi buku ini bukan lagi sekadar pengandaian-pengandaian teoritik niskala, tetapi memang merupakan rekaman pengalaman nyata dan tindakan lang­sung dari salah seorang pelakunya. Catatan-catatan harian itu memberi kita penggambaran tentang cara pandang dan tindakan seseorang atau sekelompok orang—dalam hal ini adalah para pembelajar muda di SALAM, para orang tua dan para fasilitator mereka melakukan serangkaian kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan, lalu mengolahnya lebih lanjut menjadi pandangan dan sikap bersama, dan akhirnya mereka laksanakan dalam perilaku dan kebiasaan keseharian sebagai suatu perkauman.

Catatan-catatan harian serupa itu biasanya dirujuk sebagai ‘etnografi [tentang] proses-proses belajar’ (ethnography of learning processes) atau, oleh seorang pakar arkeologi dan antropologi, mantan Ketua Perhimpunan Penelitian Pendidikan Britania (British Educational Research Association, BERA), Sara Delamont, disebut ringkas sebagai ‘etnografi pendidikan’ (ethnography of education). Perkembangan pemikiran dan praktik pendidikan berutang banyak pada para penulis etnografi yang menyumbangkan bahan-bahan dasar sangat kaya dan informasi tangan pertama tentang bagaimana proses pembelajaran berlangsung di satu tempat, waktu, dan kelompok masyarakat tertentu.

Salah satu yang paling sohor—antara lain, karena menimbulkan perdebatan panjang—adalah catatan-catatan harian Margaret Mead yang terhimpun dalam Coming of Age in Samoa (1928) dan Growing Up in New Guinea (1930). Terlepas dari pertentangan pendapat (kontroversi) yang menyertainya, catatan harian peneliti antropologi budaya asal Amerika Serikat itu memberi kita gambaran rinci tentang bagaimana proses sosialisasi dan pendewasaan berlangsung di beberapa suku pribumi di wilayah Samudra Teduh (Pasifik): anutan nilai dan kepercayaan yang melatarinya, praktik-praktik pelaksanaannya, suasana dan lingkungan yang mewarnainya, serta pranata proses pewarisan dan pelanggengannya. Bukan cuma dalam ranah pendidikan (persisnya: antropologi pendidikan), catatan-catatan harian juga menjadi salah satu bahan etnografis penting yang memperkaya khazanah perkembangan pemikiran dan pengetahuan di banyak bidang lain. Kajian tentang alam (natural studies) adalah salah satu bidang yang banyak sekali menghasilkan catatan harian atau catatan lapangan oleh para penjelajah sekaligus peneliti hebat, antara lain, dua nama masyhur: Alfred Russell Wallace dan Charles Robert Darwin. Catatan-catatan harian Wallace yang paling terkenal adalah saat bertualang selama delapan tahun (1854-1862) di kepulauan Nusantara yang menghasilkan karya legendaris, The Malay Archipelago (1869). Rekannya, Charles Darwin, lebih sohor lagi karena teori evolusi dalam karya puncaknya, On the Origin of Species (1859). Sebelum dicetak dan diterbitkan sebagai buku, rumusan-rumusan dasar teori tentang asal muasal dan perkembangan ragawi dan hayati jenis-jenis makhluk hidup (termasuk manusia) itu sudah memenuhi buku catatan harian Wallace dan Darwin.

Salah satu teori besa (grand theory) yang pernah menggemparkan dunia itu dibangun berlandas teori awal Wallace tentang ‘penyaringan alami’ (natural selection) dan teori awal Darwin sendiri tentang ‘daya bertahan pihak terkuat’ (survival of the fittest). Dalam catatan hariannya, Darwin mengakui bahwa kelahiran teori itu, antara lain, diilhami oleh hasil pengamatan dan kekagumannya pada keterampilan dan ketelatenan para petani melakukan ‘pemilahan buatan’ (artificial selection) yang menghasilkan banyak hal luar biasa bagus justru dari bahan-bahan yang sangat jelek. “Keterampilan itu,” tulis Darwin, “selalu mereka gunakan saat menanam jenis tanaman terbaik, menyemai benihnya dan, ketika mulai tumbuh jenis tanaman yang lebih baik, mereka pun memilahnya, dan seterusnya.” Sama seperti Wallace, Darwin memang dikenal sangat tekun membuat catatan-catatan harian, lengkap dengan keterangan dan komentar, juga gambar corat-coret (sketsa). Wujud (asli maupun tiruan) buku catatannya yang berukuran 7×10 cm sampai kini masih tersimpan dan dapat dilihat di beberapa museum di Inggris, juga dalam bentuk 20.000-an keping mikro atau rekaman gambar elektronik di laman darwin-online.org.uk. Bernasib tidak seberuntung catatan-catatan Darwin yang terkumpul lengkap dan terawat rapi, catatan-catatan harian Ahmad Ibnu Fadhlan nyaris terlupakan sama sekali. Untung ada Zeki Velidi Togan, pemimpin revolusioner suku Bashkir di Rusia. Orang yang pernah mengajar sejarah di Universitas Istanbul di Turki dan beberapa universitas di Jerman (Bonn dan Göttingen) itu, pada tahun 1923, menemukan kumpulan lengkap catatan-catatan harian Ibnu Fadhlan di satu museum tua di Masshad, Iran. Temuan Togan melengkapi temuan persis seabad sebelumnya, pada tahun 1823, yang tidak utuh (hanya beberapa bagian) oleh sejarawan RusiaJerman, Christian Martin Frähn. Berkat catatan-catatan perjalanan (al-rihla) Ibnu Fadhlan itu, dunia pun mengenal lebih baik tentang kawasan daerah aliran Sungai Volga, sungai terpanjang dan terbesar di Eropa, dan suku-suku yang hidup di sana yang disebut oleh Ibnu Fadhlan sebagai ‘orang Rüssiyah’. Catatan-catatan perjalanannya sangat rinci menguraikan ciri ragawi, busana, makanan, peralatan, pencaharian, kekerabatan dan kebiasaan (termasuk berbagai upacara pemujaan yang mencengangkan) dari suku-suku asli Slavic dan turunan Viking Volgar tersebut. Ibnu Fadhlan lah yang membuat dunia tahu bahwa bangsa Viking kuno sebenarnya tidak hanya bergerak ke arah barat menaklukkan Eropa Barat dan Kepulauan Britania, tapi juga ke arah timur menjelajahi dan meninggalkan jejak di banyak negeri Eropa Timur sampai Asia Tengah. Catatan-catatan perjalanan Ibnu Fadhlan sampai sekarang menjadi rujukan klasik dalam kajian geografi, sejarah, dan budaya masyarakat perlintasan Eurasia. Catatan-catatannya itu juga mengilhami Michael Crichton menulis novel terkenal, Eaters of the Dead (1976), kemudian difilmkan dalam The 13th Warrior (1999) dengan dua aktor kawakan sebagai bin­tang utama: Antonio Banderas sebagai Ibnu Fadhlan dan Omar Sharif sebagai Melchisidek. Pernah dengar nama Ammana Gappa (bapaknya Si Gappa)? Itu nama seorang tetua orang-orang Bugis asal Wajo yang bertebaran sebagai saudagar sekaligus pelayar antarberbagai labuhan besar Nusantara, dari Amboina hingga Malaka. Dalam pertemuan para tetua Wajo yang berkumpul di Makassar pada 1676, Ammana Gappa diminta menuliskan beberapa peraturan pokok dan tata tertib dalam pelayaran dan perdagangan.

Memanfaatkan catatan-catatan harian (jurnal, kronik) yang ditulisnya selama ini tentang pengelolaan kegiatan perdagangan dan pelayaran di pelabuhan Makassar, juga informasi dari para saudagar dan pelayar yang berlabuh di bandar laut terbesar dan paling sibuk di bagian timur Nusantara itu, Ammana Gappa akhirnya merampungkan risalah lontar: Ade’ allopi-loping bicaranna pa’balu-balue (Adat Pelayaran menurut para Pedagang). Risalah itu berisi 21 pasal yang, antara lain, mengatur kepemilikan dan birokrasi kepengurusan kapal dagang, tata krama dan perizinan berlabuh di dermaga, penentuan biaya sewa angkut dan harga barang muatan (kargo) kapal, dan etika pelayaran di laut lepas atau perairan internasional. Lontar klasik itu menganut asas ‘siapa pun boleh berlayar di mana saja, boleh berlabuh di semua dermaga di seluruh dunia, tapi harus dengan etika.’Asas itu persis senapas dengan asas ‘laut bebas’ (mare liberum) yang dicetuskan oleh filsuf, hakim, pakar hukum sekaligus xvi diplomat Belanda, Huig de Groot (lebih dikenal luas dengan lafaz Latinnya: Hugo Grotius). Asas itu—sebagai tandingan terhadap konsep ‘laut tertutup’ (mare clausum)—tercantum dalam catatan-catatan hariannya saat diminta oleh Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) menyusun pembelaan terhadap tuntutan Portugis kepada Belanda untuk mengembalikan semua muatan kapal dagang Portugis, Santa Catarina, yang disergap dan dirampas oleh armada Belanda di lepas pantai Singapura pada tahun 1603. Catatan-catatan itu lalu diterbitkan pada tahun 1609, sebagai pamflet kampanye pendapat umum dalam bentuk buku saku kecil bertajuk lengkap: Mare Liberum sive De iure quod Batavis competit ad Indicana commercia dissertatio (Laut Bebas, atau, Hak Belanda untuk Menjadi Bagian dalam Perdagangan di Hindia Timur). [] bersambung…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *